Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Meta Semiotika Pertemuan Presiden dengan Sultan HB X

9 Juni 2019   10:25 Diperbarui: 9 Juni 2019   10:53 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meta_Semotika  Perjumpaan Bapak  Presiden Joko Widodo Dengan Radja Jawa Sultan HB X

Yogyakarta; Jumat 07 Juni 2019, 13:00 WIB detikNews :30 Menit Bertemu, Apa yang Dibicarakan Jokowi dan Sultan HB. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan tertutup dengan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sekitar 30 menit. 

Jokowi bertemu dengan Sultan ditemani Ibu Negara Iriana dan cucunya Jan Ethes. Pantauan detikcom, Jokowi keluar dari Regol Keben pukul 11.12 WIB. 

Mengenakan kemeja lengan panjang bermotif batik, Jokowi keluar dari Regol Keben sembari menggandeng cucunya Jan Ethes. Selain itu, tampak Sri Sultan HB X bersama keluarganya mengantar Jokowi sampai ke depan Regol Keben, kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

sumber: dokpri
sumber: dokpri


Tulisan ini supaya jelas maka saya sampaikan sebuah Dalil  Prof. Apollo Daito [2012] berbunyi: "Umat manusia yang paling tahu tentang apa itu kebenaran tidak mungkin menulis kebenaran itu sendiri, melainkan ia akan menempuh cara abstraksi melalui metafora".

Hakekat "high order thinking", secara umum dapat saya jelaskan tugas   filsafat bukan hanya mencari kebenaran, tetapi tugas utama filsafat bersifat ["beyond"] mempertanyakan kebenaran atau menggugat kebenaran yang sudah mampan sekalipun, karena kebenaran itu belum ada, dia terus bergerak dipertanyakan disangkal, digeser,  dibatalkan, kalaupun ada kebenaran itupun hanya bersifat sementara, dan kebenaran itu ada di masa depan, dia terus berproses menjadi.

Analisis dan tulisan pada kompasiana ini adalah sebuah rangkaian benang merah satu kesinambungan dengan tulisan [1] pada bagian sebelumnya. Karena memahami kebudayaan atau Jawa Kuna sulit dan rumit misalnya cara pemahaman pada cara pandang tafsir Jawa memiliki [dasanama]. 

Kesulitan ini saya tempuh untuk bisa dicek dan dibaca pada tulisan ke [1] saya meminjam teori semiotika seperti Charles Sander Pierce (1839- 1914), Ferdinan de Saussure (1857-1913), Roman Jakobson (1896-1982), Ogden, Richards (1923), maka pada bagian ke [2] tulisan ini saya juga meminjam pemikiran cara memahami atau cara interprestasi hermeneutika pemikiran Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Rudolf Bultmann, Paul Ricoeur, Jacques Derrida. Jadi tafsir ini memiliki alat akademik yang bisa dicek dengan validitas pengetahuan menjadi panduan menulis di Kompasiana ini.

Maka disamping kemampuan kebatinan metafisik saya rasa tafsir semacam ini dapat di diskusikan dengan pendasaran yang bukan gampangan atau murahan. 

Saya berharap tulisan ini dapat memperluas cara pandang original versi Kearifan local  pada upaya mengali gagasan   menghasilkan kompetensi metafisika makna paling dalam terma "weruh sak durunge winarah" disejajarkan dengan ["mengetahui memahami segala sesuatu sebelum waktunya terjadi"].  Dan kemampuan memahami dengan cara ini sangat unik di Indonesia. 

Mungkin kita membencinya, sekaligus mencintainya; tetapi saya berharap ada cara membaca yang cerdas, kemampuan melampaui teks literasi, melampaui ruang dan waktu teks itulah modal utama dalam cara kerja memahami lebih baik, dan bervariasi untuk menghasilkan orginalitas atau novelty pemikiran. 

Pemikiran yang bisa-bisa akan menghasilkan hal-hal yang bisa, tetapi pemikiran yang beyond misalnya dengan dekonstruksi, posmodernisme,  melampaui kebenaran akan menghasilkan dalil-dail baru dalam berpikir secara akademik yang bertanggungjawab dalam diskursus public;

Maka pada awal analysis dan tulisan ke [2] saya berikan penjelasan logic mengapa kata yang saya pakai secara semiotika judul tulisan  menggunakan kata [Perjumpaan] dan Bukan pakai kata [Pertemuan].

Pendasaran logic ini adalah tranposisi pemikiran Martin Buber (1878-1965) membedakan dua kata ini. Kata  [Pertemuan] vs  [Perjumpaan] menjelaskan ontologis fenomena (encounter). 

Hubungan interaksi atau mekanisme pola komunikasi itu bisa dilakukan dengan kesengajaan atau kesadaran, atau tidak disadari. Gagasan Bubber ini upaya untuk  mengembangkan ide dialog dan eksistensi sebagai pertemuan. 

Semacam cara memahami dengan menggunakan perjumpaan pada batin manusia. Interaksi Aku-Engkau (I-Thou) sebagai seluruh kehidupan adalah pertemuan (all actual life is encounter). Secara khusus Buber menyebut interaksi [Aku dan Engkau atau  I-You] sebagai pertemuan (encounter).

Maka  Meta_Semotika  [4] Perjumpaan Bapak  Presiden Joko Widodo Dengan Radja Jawa Sultan HB X wujud kehendak buta alam semesta pada  Metode dialog eksitensial dengan pendekatan {Aku-Engkau} atau (I-Thou) yaitu perjumpan [dua tokoh bapak Presiden dengan Raja Jawa Sultan HB X] dengan seluruh realitas pada tatanan ilmu sosial dan kemanusiaan, korelasi dengan non manusia.

Makudnya bagimana, jika interaksi [Aku dan Engkau atau  I-You] sebagai pertemuan (encounter) bersifat lahiriah. Maka Metode Dialog atau disebut {"Ich-Du"}; dan (b) perjumpaan dialog antara Aku-Engkau (I-Thou) berbentuk;  Metode monologdisebut {"Ich-Es"}. Metode monolog disebut {"Ich-Es"}  atau (I-It atau Aku-Dia) bahwa kedua pihak sama sekali tidak berjumpa.

Dikaitkan dengan episteme Jawa Kuna atau Indonesia lama khususnya dikaitkan dengan 3 [tiga] Garis imajiner alam madyo [alam kekinian]: Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak; atau  3 [tiga] Garis Imajiner lurus Gunung Merapi, Keraton, Laut Selatan atau Parangtritis, Atau  3 [tiga] metafora pada yaitu Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Laut Selatan. 

Jelas Tranposisi Martin Bubber dapat dipakai menjadi 3 [tiga] bentuk komunikasi perjumpaan sebagai metode trikotomi {Antara Aku, Kau, dan Dia}. Aku-Kau ("I-You") vs Aku-Dia ("I-It") dan Menurut saya ini dapat dipakai pada worldview (atau cara pandang dunia) seseorang dalam menentukan relasi dengan manusia dan non manusia, bahkan Tuhan (jika mau) menjadi mungkin. 

Satu entitas bernama manusia tokoh Indonesia [Me] subjek menjadi menemui {Bapak Presiden RI], kemudian tokoh yang {Di} sebagai objek  ditemui {Raja Jawa Sultan HB X]; adalah bentuk dualitas subjek objek  Aku-Kau ("I-You"); kemudian menjadi Aku-Dia ("I-It") menghasilkan kehadarian yang lain diluar diri subjek objek. 

Atau dengan kata lain bentuk itu menajdi [Aku, Kita, dan Kami] atau aku berarti diri sendiri, kita menjadi berdua [subjek objek]; maka penyatuan subjek objek disebut "perjumpaan (encounter)" menghasilkan sekaligus menghadirkan [unsur X] menjadi sesuatu diluar subjek objek ketiga menjadi {kami]. 

Perjumpaan adalah kondisi yang tidak mengubah subjek objek pada dirinya masing-masing; sedangakn pertemuan adalah kondisi yang menghasilkan sesuatu diluar dirinya sendiri dalam hal ini adalah telos atau tujuan hidup umat manusia pada kebaikan berkeutamaan. Bagimana posisi ini dijelaskan. Maka pada meta semiotika ke [5] saya jelaskan;

Meta Semiotika [5]  Dokrin MKG ['Manunggaling Kawulo Gusti} Jawa Kuna atau Indonesia Lama. Meta Semiotika  MKG ini  sepadan dengan pengertian  episteme Jawa Kuna pada "perjumpaan (encounter)"  diwujudkan pada Dalil (Golong); dan (Gilig).  

Hakekatnya adalah bersatunya antara dua Pungawa Negara Presiden dan Sultan HB X (Golong); dan umat manusia atau masyarakat Indonesia rakyat (Gilig). Simbol ini ditengah kota Jogja disebut  Tugu Golong-Gilig.  Simbol semangat persatuan antara umat manusia rakyat dan 2 pemimpin Budaya, dan pemerintahan {Pak Sultan HB X, dan Bapak Presiden].

Pertanyaan berikutnya jika Dalil (Golong); dan (Gilig) hanya bersifat "perjumpaan (encounter) dualitas, Pemimpin dan yang dipimpin, Teks dan cara baca lain  bisa memakai dokrin dalam {"Serat Wedha Tama"} bisa secara sederhana dipahami bahwa etimologi 3 kata : Serat adalah Buku, (2) Wedha berarti Pengetahuan, (3) Tama ialah Keutamaan sebagai syarat yang memimpin, dan yang dipimpin;

Maka bagimana hakekat yang ideal menjadi pemimpin.  Jawabannya ada pada pada meta semiotika ke [6] saya jelaskan;

Meta semiotika ke [6] Ilmu Kebatinan atau [Geisteswissenschaften]; atau saya sebut ["innenleben"] atau penghayatan batin disertai mendamaikan diri sendiri [ingsun sejati] kemudian menyatukan semua unsur-unsur 4 anasir alam [api, air, tanah, angin atau 4 posisi arah; Ngalor (utara), Kidul (selatan), Kulon (barat), Wetan atau Wiwitan Permulaan (timur);] atau saya pakai saja istilah status nama menjadi episteme  "Mangku Alam, Mangku Bumi.

Pada tulisan sebelumya saya sudah menjelaskan ada   3 [tiga] memiliki kedalaman batin luar bisa dalam filologi metafisik Jawa Kuna, seperti proses manusia dari menuju ketujuannya. Didunia ini pada 3 [tiga] siklus Alam purwo [asal usul], alam madyo [alam kekinian], dan alam wasono [alam telos manusia]. 

Perjalanan manusia ini disimbolkan pada [1] Alam purwo [asal usul] dimetafora Gunung Merapi; [2]  Alam madyo [alam kekinian], dimetafora Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak; [3] alam wasono [alam telos manusia] dimetaforakan dengan Laut Selatan atau Parangtritis.

Lalu jika tulisan dan judul berita DetikNews dengan judul : {"Apa yang Dibicarakan Jokowi dan Sultan HB. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan tertutup dengan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X sekitar 30 menit"].

Dengan hasil penelitian dan pengalaman saya bidang metafisika jawabanya   sulit sekali diperoleh dijawab secara lahiriah, maka wajar wartawan tidak menemukan jawaban. 

Ini dialog menggunakan semacam dua Punggawa Negara itu sama dengan teori hermeneutika Wilhelm Dilthey (1833-1911), sebagai cara  [Geisteswissenschaften], artinya semua ilmu social dan kemanusian, semua ilmu yang menginterprestasikan ekspresi-ekspresi atau "kehidupan batin manusia" baik dalam bentuk ekspresi (afeksi), perilaku historis, tradisi, metafisik,  kodifikasi hukum, karya seni atau sastra. Atau pertemuan dua Punggawa Negara itu  lebih banyak bersifat "dialog batin manusia".

Atau supaya lebih ada penjelasan alat akademis lain yang menunjang adalah interpretive theory of culture yang dilakukan oleh peneliti Clifford Geertz, pada riset etnografi The Religion of Java (atau agama manusia Jawa) dalam sisi kejawen (Jawa Kuna). 

Atau cara membaca lain dengan meminjam pemikiran diskursus public dalam {"Serat Wedha Tama"} bagi saya wajib diminati, untuk mendidik jiwa rasional dalam keutamaan manusia atau virtue yang melampaui.

Pertanyaan nya adalah apa  isi "dialog batin manusia" kedua punggawa Negara ini.  Jawabannya ada pada pada meta semiotika ke [7] saya jelaskan.

Meta semiotika [7] Konteks Isi "dialog batin manusia" kedua punggawa Negara ini. Arah konteks dipastikan menuju gagasan Metafora Pantai Selatan atau, Laut Selatan  atau Parangtritis dimetaforakan representasi alam wasono [alam telos manusia] atau final cause umat manusia.

Apa makna metafora Pantai Selatan atau, Laut Selatan  atau Parangtritis. Orang mungkin menyatakan kerjaan laut selatan disebut Kerajan Bunda Ratu Kidul yang menjadi legenda kebudayaan itu. Bisa saja jawaban seperti itu dan saya bisa mengikuti cara ini. 

Namun tulisan ini saya tidak lakukan.  Lebih kurang Konteks Isi "dialog batin manusia" kedua punggawa Negara bapak Presiden Joko Widodo dengan Raja Jawa Sultan HB X,  saya tafsir dengan Metafora Pantai Selatan atau, Laut Selatan  atau Parangtritis sebagai masa depan bangsa dan Negara Indonesia. 

Saya pinjam dan trans substansikan pemikiran filsuf Friedrich Nietzsche [1844-1900] tentang "Minum Air Laut" atau paling dikenal itu. Nietzsche  bertanya bagaimana  bisa minum air laut; Siapa yang memberi kami spons untuk menghapus seluruh cakrawala; Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan bumi dan matahari;

Dengan kerangka metaforis ini, betapa menjengkelkannya tentang "minum air lautan" Jika laut mewakili tempat tinggal umat manusia, berbagai kemungkinan bisa dilakukan, maka sebelumnya manusia ada dikelilingi oleh tanah air kaya raya Indonesia seperti dalam tahap teologis dan supernatural dokrin Jawa Kuna.

Dengan "meminum air lautan," manusia berdiri, tidak hanya di hamparan samudera yang tidak terbatas, tetapi tanpa laut itu sendiri. Dengan krisis keprihatian Indonesia secara batiniah seolah-olah  baik laut dan pantai dilenyapkan Indonesia. Umat manusia tidak memiliki apa-apa untuk berlayar di dalam. Tidak ada pantai daratan umum untuk perjalanan manusia.  

Demokrasi dan kondisi Indonesia memasuki kehilangan matahari cahaya kebenaran. "Minum air  laut atau  Pantai Selatan atau, Laut Selatan  atau Parangtritis " dengan demikian dapat dijelaskan dalam pencirian berikut:

 [a] Indonesia pada kondisi   Kesadaran yang Tidak Bahagia: Umat manusia menempatkan nilai-nilainya di alam yang sangat masuk akal dan abadi. "Pantai" ini memberi kompas ke kehidupan fana yang terbatas. [b] Indonesia pada kondisi   Nihilisme: "Nilai-nilai tertinggi mendevaluasi diri mereka sendiri." Dunia abadi yang super masuk akal kehilangan kekuatan pengikatnya di atas panggung manusia dan lenyap. 

Sopan santuan, saling menghormati, sikap tenggang rasa pada martabat manusia telah teralienasi. Keberadaan manusia kehilangan nilainya dan menjadi putus asa. "Celakalah, ketika umat  merasa rindu tanah seolah-olah itu telah menawarkan lebih banyak kebebasan  dan sekarang tidak ada lagi 'tanah'" tempat mencari pijakan kebenaran;  

[c] metarafora Minum air  laut Pantai Selatan atau, Laut Selatan  atau Parangtritis " dimakni tanpa pantai abadi, manusia juga kehilangan dunia terbatas. Batas benar salah, batas menang kalah, batas etis tidak etik semuanya telah hilang. Keberadaan manusia tidak lagi terjadi dalam ruang yang dibingkai oleh Manuggaling Kawula Gusti. 

Ruang {MKG} ini telah digunakan kepentingan politik merusak tatanan kebangsaan dan telah dikeringkan. [d] Pantai Selatan atau, Laut Selatan  atau Parangtritis sebagai upaya mencari menemukan " Laut Baru. 

Bahwa  pencarian nilai-nilai baru, atas kebijaksanaan individu, tetapi selalu dengan mata ketiadaan yang tak terbatas dalam pandangan.  Nilai-nilai martabat manusia kering dan layu; manusia tidak lagi bertindak di atas panggung kosmik. Namun, mungkinkah kita menemukan lautan baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun