Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelita Karat Buatan Mama

4 Juni 2019   00:38 Diperbarui: 4 Juni 2019   01:00 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duniaku tidak seindah yang engkau bayangkan. Miris dan tak seindah sendal jepitmu. Mungkin jika engkau hadir saat itu, hanya ada penolakan di pusaran kata hatimu. Dalam bingkisan memori masa lalu, ingin rasanya menyulam selumbar kenangan yang tercecer di atas debu-debu kuno. 

Malam ini, saat belajar, aku terlempar ke masa lalu. Masa-masa silam saat ayam kampung enggan berkokok di pagi  buta. Sebuah lampu belajar keluaran terbaru menerangi semua meja belajar. Tak ada kegelapan dalam terang yang begitu benderang. Aku tersenyum namun airmata menetes dalam kenangan. 

Aku bisa duduk di meja belajar yang begitu terang berkat lampu pelita karat buatan Mama. Masih terngiang di benak, kisah indah masa silam saat sore mulai merekah. Gelap seakan tak bersahabat ketika aku belum menyiapkan lampu pelita untuk malam ini. 

Dalam kegelapan dengan sedikit cahaya daun kelapa, aku mengisi minyak tanah di pelita karat dari kaleng susu. Sebagian tertumpah ditelan tanah. Sumbu kompor di besi payung, kian mengikis. Beberapa putaran dengan beberapa ketukan di ujung sumbu sedikit membuat cahaya malam bergemilang. 

Saat makan bersama, cahaya pelita menerangi seluruh ruangan. Tidak terlalu terang namun samar-samar. Nasi dan sayur tidak terlihat jelas. Satu hal yang pasti cahaya pelita mampu mengarahkan tangan demi sesuap nasi  ke mulut anak kampung ini. Aku tetap bersyukur pada malam saat itu dengan penuh sukacita. 

Saat belajar, aku hanya menggunakan satu lampu pelita. Aroma minyak tanah menyelimuti hidung mungilku. Asap hitam mengepul masuk ke paru-paru, mata, telinga, hidung bahkan ke pori-pori kulitku. Otakku berburu dengan cahaya pelita. Waktu belajarku dibatasi oleh minyak dalam pelita. Ketika minyak habis aku harus berhenti belajar. 

Kenangan itu berlanjut saat tidur malam. Aku paling takut dengan gelapnya malam. Demi menghemat minyak tanah, Mama mematikan lampu pelita di sudut dekat pintu masuk. Hanya ada satu pelita besar yang ditempatkan di tengah rumah. Meski demikian cahayanya  tak mampu menghilangkan rasa takut dalam hatiku. Kegelapan selalu memantik rasa benci pada Mama yang selalu mematikan pelita di malam hari. 

Aku boleh membenci kegelapan yang hilang di ujung pelita pada penghujung malam. Namun, berkat pelita aku mampu melawan kegelapan di setiap jejak langkahku. Pelitaku memang karat dan tak terlalu bercahaya. Lantas, semangatku tak pernah hilang termakan waktu. Malam tidak lagi menjadi neraka bagiku. Malam justru mengingatkanku pada surga kecil di bilik indah bernama Waelengga.

Ada sejuta anak pelita yang akan menerangi Waelengga tercinta dengan segala karisma dan talenta yang mereka miliki. Saya hanya mengingatkan bahwa kita pernah menjadi anak pelita yang mengais masa depan di balik cinta pelita karat buatan Mama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun