Mohon tunggu...
Yulianto
Yulianto Mohon Tunggu... Penerjemah - Menulis saja

Menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Polemik Warung oleh Dua Kubu

25 Mei 2018   16:19 Diperbarui: 25 Mei 2018   16:28 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: waspada.co.id

Warung yang buka di bulan Ramadan selalu menjadi topik yang tak pernah habis dibicarakan di Indonesia. Toleransi selalu dikaitkan dengan pembahasan ini. Bicara tentang toleransi, tentu akan membicarakan mengenai dua kepentingan dari dua kubu yang berlatarbelakang perbedaan.

Di bulan Ramadan, warung dianggap sebagai salah satu simbol toleransi di antara dua pihak, oleh karena itu, topik ini perlu diributkan, tapi benarkah demikian?

Tentang dua pihak

Selama bulan Ramadan, warung seolah dianggap sebagai simbol yang dapat memicu konflik antara dua pihak di Indonesia. Tentang pihak mana yang sedang dibicarakan, masyarakat pun berbeda paham.

Kubu pertama, ada yang menganggap dua pihak yang dimaksud ketika kita bicara tentang warung adalah tentang penganut agama mayoritas dan penganut agama minoritas di Indonesia. Oleh karena itu, bagi mereka sangat penting membicarakan perihal warung setiap tahun di bulan Ramadan karena tempat itu merupakan simbol kerukunan umat beragama di Indonesia.

Kubu kedua menganggap polemik tentang warung itu hanya sekadar pembicaraan tentang kepentingan antara mereka yang sedang berpuasa dan mereka yang tidak berpuasa. Orang-orang ini, terutama yang tidak berpuasa tidak melulu merepresentasikan penganut agama selai Islam, tapi umat muslim pun juga ada yang tidak berpuasa di bulan Ramadan.

Oleh karena itu, ketika dibahas tentang warung, pihak ini tak menganggap buka tutupnya warung di bulan Ramadan sebagai sesuatu yang urgen untuk dibicarakan.

Bagi mereka yang menganggap warung sebagai simbol kerukunan umat beragama pasti akan merasa sangat sensitif ketika topik ini dibicarakan. Bagi mereka, membiarkan warung tetap buka di bulan Ramadan adalah salah satu bentuk tindakan intoleran dan sangat menyinggung perasaan umat muslim.

Sedangkan bagi masyarakat yang beranggapan warung hanya tentang orang yang berpuasa dan yang tidak, jawaban sederhana seperti "warung itu soal kuat-kuatan iman saja" mungkin akan terlontar.

Tentang warung

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, kata "warung" sering diidentikkan dengan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sehingga ketika di tahun 2016, saat beberapa pemerintah daerah mengeluarkan perda tentang larangan warung makan buka di bulan Ramadan membuat banyak masyarakat yang ramai berkomentar. Pemerintah dianggap tak berpihak kepada rakyat kecil.

Di luar tema tentang toleransi yang selalu dikaitkan dengan polemik warung. Sebenarnya ada tujuan baik yang ingin dicapai melalui perda penutupan warung makan selama Ramadan, yaitu menciptakan suasana yang dapat mendukung umat muslim berpuasa dengan lancar. Sederhananya meminimalisir godaan bagi yang sedang berpuasa.

Namun, jika sasaran kebijakan perda ini hanya ditujukan kepada warung-warung kecil di pinggir jalan saja dan tetap membiarkan warung makan raksasa cepat saji dibiarkan tetap terbuka, rasanya sungguh tak berkeadilan. Lagipula, godaan terbesar bagi orang yang berpuasa tak hanya datang dari warung makan saja.

Tayangan-tayangan televisi yang tak bermanfaat juga dapat mengganggu kenyamanan orang yang berpuasa. Mengapa tak sekalian saja, pemerintah menertibkan segala hal-hal yang dapat mengganggu kenyamanan orang yang berpuasa. Jangan sampai kebijakan pemerintah mengenai warung hanya diannggap sebagai alat untuk mendongkrak popularitas semata. Agar pemerintah dianggap mendukung masyarakat mayoritas.

Terakhir, sebelum membicarakan tentang boleh tidaknya warung buka saat Ramadan apalagi menerbitkan peraturan tentangnya. Penting rasanya untuk melihat polemik ini sesuai pada tempatnya, yaitu tentang warung, masyarakat dan puasa.

Oleh karena itu, kajian empiris mengenai apakah warung berasosiasi dengan kualitas puasa masyarakat yang tiba-tiba menjadi rendah mungkin perlu dilakukan. Juga apakah beroperasinya warung di siang hari berpotensi menimbulkan masalah bagi orang yang berpuasa juga perlu dibuktikan.

Dan juga  dampak ekonomi pemilik warung jika mereka dilarang berjualan juga perlu dipertimbangkan agar pemerintah sebagai pengayom masyarakat dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.   .

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun