Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pesona Toraja dalam Empat Babak

24 April 2019   14:53 Diperbarui: 25 April 2019   04:50 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 17 April malam saya berangkat menuju Tana Toraja dengan menggunakan bus yang saya pesan dari travel*ka. Setelah kurang lebih 7 jam di perjalanan, akhirnya saya sampai di Makale sekitar jam 05.00 subuh. Nampak beberapa orang pulang sembahyang dari Masjid, juga sayup-sayup saya mendengar lagu rohani memecah keheningan pagi yang dingin. Saya merasa agak meriang karena mungkin perbedaan cuaca di Makassar dengan Tana Toraja yang lumayan jauh beda.

Babak Pertama

Saya menginap di rumah temannya teman saya. Melihat kasur, saya rebahan sebentar dan tertidur sampai jam 09.00 pagi. Setelah mandi dan sarapan, saya ditemani kawan menuju Rantepao. 

Kete Kesu (Dokumentasi pribadi)
Kete Kesu (Dokumentasi pribadi)
FYI, Kabupaten Tana Toraja beribu kota di Makale, kemudian mengalami pemekaran yakni Kabupaten Toraja Utara yang beribu kota di Rantepao. Kete Kesu adalah tempat yang pertama saya kunjungi. Melihat rumah adat khas Toraja yaitu Tongkonan.

Saya melihat tulang kerbau tertata rapi di Tongkonan. Ada tanduk kerbau juga ditata rapi sedemikian rupa. Tanduk kerbau yang disusun tersebut menurut informasi yang saya dapat menggambarkan jumlah orang mati yang sudah diperingati dengan upacara kematian. Satu tanduk kerbau mewakili satu orang.

Rumah adat Toraja atau Tongkonan terkadang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang dibuat dengan manual. Setiap ukuran mempunyai arti tertentu dan hanya bangsawan atau tokoh adat saja yang boleh membubuhkan ukiran pada tongkonan.


Kete Kesu (Dokumentasi pribadi)
Kete Kesu (Dokumentasi pribadi)
Selain itu di Kete Kesu juga terdapat makam bangsawan Tana Toraja. Sayangnya, pas saya ke sini, gua yang dijadikan pemakaman masih dalam tahap renovasi. Sehingga saya hanya bisa menyaksikan makam bangsawan yang ada di luar gua.

Tengkorang kepala yang tergeletek (Dokumentasi pribadi)
Tengkorang kepala yang tergeletek (Dokumentasi pribadi)
Saya melihat tengkorak kepala tergeletak manja begitu saja beserta tulang-belulang manusia yang lain. Nampak ada beberapa patung di dinding tebing. Kata salah satu guide yang saya dengar, untuk membuat patung orang yang sudah meninggal (tau-tau), keluarga harus menyembelih 24 kerbau biasa campur kerbau belang (tedong bonga).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Setelah puas berkeliling Kete Kesu, selanjutnya kami menuju ke Kalimbuang Bori, Kecamatan Sesehan, Toraja Utara, untuk melihat batu megalitikum peninggalan zaman dahulu. Batu-batu di sini diambil dari suatu tempat dengan cara ditarik dengan tenaga manusia. Kemudian batu ditancapkan kedalam tanah sekitar 1 meter dalamnya, sehingga bisa untuk mengikat kerbau yang akan digunakan untuk pesta. 

Saya jadi teringat makam batu di Sumba yang dahulu batunya ditarik dengan tenaga manusia dari pegunungan dan merupakan batu pilihan. Batu di sini tidak semuanya peninggalan zaman dahulu, ada yang baru dibuat juga, namun tentu proses dan caranya tidak sama dengan dahulu.

Batu Megalitikum (Dokumentasi pribadi)
Batu Megalitikum (Dokumentasi pribadi)
Sekeliling batu megalitikum nampak juga makam para bangsawan. Ada juga makam bayi di pohon besar jika kita mau naik ke atas sekitar 100 meter lebih. Hitam-hitam yang menempel di pohon tersebut adalah makam bayi.

Makam bayi di pohon besar (Dokumentasi pribadi)
Makam bayi di pohon besar (Dokumentasi pribadi)
Tidak banyak pengunjung di Bori saat kami datang. Kami melanjutkan perjalanan menuju makam yang lain, ialah Londa. Seperti yang tertulis, Londa merupakan pemakaman yang terletak di dalam gua alam yang berumur ratusan tahun. 

Nampak di dinding gua bagian luar, saya melihat kuburan yang unik. Peti mati ditata sedemikian rupa berkelompok berdasarkan keluarga. Gua alam ini khusus untuk makam bagi marga To Lengke’ saja.

Gua alam ini khusus untuk makam khusus bagi marga To Lengke’ saja. (Dokumentasi pribadi)
Gua alam ini khusus untuk makam khusus bagi marga To Lengke’ saja. (Dokumentasi pribadi)
Peti ada yang ditaruh di bagian atas karena katanya zaman dulu masih banyak binatang buas, sehingga dikhawatirkan mayat akan rusak atau bahkan dimakan oleh binatang buas.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jika ingin masuk gua, kita harus menyewa pelita seharga 50 ribu dan guide akan menuntun kita menjelajahi gua. Suasana dalam gua sungguh gelap dan lembab. Tetes-tetes air dari bagian atas gua membuat jalan di dalam menjadi licin.

Saya melihat tengkorak dan tulang manusia berceceran manja. Beberapa peti mati terkumpul setiap keluarga. ada peti yang sudah lama dan ada pula yang baru. Keluarga hanya boleh merapikan tulang atau tengkorak juga peti mati saat upacara Ma’nene saja. Selain saat upacara Ma’nene dilarang merapikan makam seburuk apapun kondisinya.

Gua (Dokumentasi pribadi)
Gua (Dokumentasi pribadi)
Biasanya keluarga dari orang yang meninggal akan memberikan sesajen berupa sirih, pinang, uang, air mineral, rokok, atau barang kesukaan selama masih hidup. 

Beberapa masyarakat percaya orang yang sudah meninggal akan mengalami reinkarnasi, sehingga sesajen uang yang diberikan bagi orang yang meninggal diharapkan bisa untuk bekal kehidupan selanjutnya. 

Sesajen rokok sebenarnya sudah dilarang karena bisa mengotori mayat, tapi beberapa orang masih saja memberikan sesajen berupa rokok.

Gua (Dokumentasi pribadi)
Gua (Dokumentasi pribadi)
Menurut babang guide yang menerangi jalan saya (soalnya dia bawa pelita), anak yang belum tumbuh gigi jika meninggal tidak boleh dimakamkan di dalam gua karena pamali. Anak tersebut bisa dimakamkan di pohon. Mereka percaya jika getah dari pohon bisa menjadi ASI bagi anak tersebut sehingga mereka bisa meneruskan pertumbuhan.

Saat menelusuri gua saya juga melihat 2 tengkorak manusia yang konon merupakan Romeo dan Juliet versi Toraja. Pasangan tersebut gantung diri setelah dilarang menjalin hubungan karena masih merupakan kerabat dekat.

Gua (Dokumentasi pribadi)
Gua (Dokumentasi pribadi)
Babak Kedua

Setelah cukup puas melihat pemakaman ala Toraja, hari ini saya ingin melihat Makale dari atas bukit. Pergilah saya ditemani kawan menuju Buntu Burake. Sekitar jam 11.00 kami berangkat menuju bukit yang jalannya sudah mulus dan berkelok-kelok seperti spiral. Buntu berarti bukit. Sampainya di lokasi nampak pengunjung sudah mulai berdatangan. Hari itu bertepatan dengan Jum’at Agung, sehingga pengunjung agak ramai. Saya melihat patung Yesus tegap berdiri. Saya bisa melihat Makale dari atas bukit.

Buntu Burake (Dokumentasi pribadi)
Buntu Burake (Dokumentasi pribadi)
Setelah saya ambil beberapa foto, saya mencoba jembatan kaca yang baru dibangun. Tiket untuk masuk jembatan kaca harganya 50 ribu. Saya diminta memakai semacam sandal agar tidak licin dan sebagai tanda kalau saya sudah membayar tiket masuk. 

Pertama menginjakkan kaki di jembatan kaca rasanya dag-dig-dug, apalagi kalau melihat ke bawah. Namun, setelah saya menarik napas dalam, kaki melangkah dengan normal seperti di jalanan biasa.

Buntu Burake (Dokumentasi pribadi)
Buntu Burake (Dokumentasi pribadi)
Saya berkeliling bukit melihat Buntu Burake dari segala arah. “Toraya Maelo”, tulisan itu bermakna Toraja Bagus. Bagi saya, Toraja itu indah, unik, dan menenangkan dengan hawa dinginnya.

“Toraya Maelo”, tulisan itu bermakna Toraja Bagus (Dokumentasi pribadi)
“Toraya Maelo”, tulisan itu bermakna Toraja Bagus (Dokumentasi pribadi)
Setelah berkeliling Buntu Burake dengan setengah berlari karena kawan mau pergi sembahyang Jum’at, saya memutuskan untuk turun bukit.

Destinasi selanjutnya adalah agrowisata Pango-Pango. Jalanan menuju ke Pango-Pango berkelok-kelok bak spiral yang sungguh bikin mules. Kami naik menggunakan motor matic. Saya sudah khawatir motor tidak akan kuat menanjak. Ada beberapa titik jalanan belum mulus. Jalanan masih bebatuan apalagi sehabis longsor. Setelah menahan mules, akhirnya sampailah di bumi Pango-Pango di atas langit Toraja.

Bumi Pango-Pango di atas langit Toraja (Dokumentasi pribadi)
Bumi Pango-Pango di atas langit Toraja (Dokumentasi pribadi)
Udara di sini sangat dingin, apalagi saya tidak memakai baju tebal. Nampak di beberapa sudut ada tenda yang didirikan oleh sekelompok orang. Pango-Pango memang biasa dipakai untuk berkemah ria. Listrik dan toilet juga sudah tersedia buat para pengunjung. Beberapa villa di sekitar Pango-Pango juga disewakan untuk pengunjung. Agrowisata ini sangat cocok untuk sejenak melarikan diri dari kebisingan dan polusi udara.

Villa di Pango-pango yang disewakan untuk pengunjung (Dokumentasi pribadi)
Villa di Pango-pango yang disewakan untuk pengunjung (Dokumentasi pribadi)
Sayangnya, saya masih melihat pengunjung membuang sampah tidak pada tempatnya. Sampah berserakan mengurangi keindahan bagi mata yang memandang.

Babak Ketiga

Sabtu merupakan hari pasar di pasar Bolu. Pagi itu saya ditemani kawan naik angkot menuju Rantepao untuk melihat pasar hewan. Saya penasaran dengan tedong bonga (kerbau bule) yang harganya fantastis mencapai ratusan juta rupiah. Angkot di Toraja ada yang memakai mobil macam Toyota, dan sebagainya, tapi sudah berplat kuning. Naik angkot berasa naik mobil pribadi. Harganya juga sangat terjangkau menurut saya (dari Makale ke pasar Bolu saya membayar 15 ribu rupiah saja). FYI, layanan ojek online sudah ada juga di Toraja.

Pasar hewan nampak sudah ramai. Kerbau sudah berjejer rapi. Saya takjub ketika melihat kerbau bule yang gagah nan bersih. Pengen saya sentuh tapi takut ditendang. Saya sempat mengobrol dengan bapak yang sedang menjajakan kerbaunya. 

Konon kerbau Toraja mempunyai ciri khas tersendiri yang berbeda dengan kerbau dari luar Toraja. Kerbau hitam biasa harganya sekitar 23 juta, sedangkan kerbau bule ada yang 230 – 400 juta tergantung dengan coraknya. Seperti kerbau bule ini dibanderol dengan harga 230 juta.

Kerbau Toraja (Dokumentasi pribadi)
Kerbau Toraja (Dokumentasi pribadi)
Kerbau hitam biasa seperti ini harganya mulai 23 juta. Kalau di Jawa, kerbau diikat dengan meletakkan tali di bagian leher, di Toraja tali buat mengikat kerbau diletakkan di bagian hidung.

Kerbau Toraja (Dokumentasi pribadi)
Kerbau Toraja (Dokumentasi pribadi)
Sedangkan untuk kerbau dengan corak seperti gambar di bawah ini dibanderol mulai 400 juta rupiah. Sisi proletar saya hanya bisa membayangkan rasa dari daging kerbau bule ini.

Kerbau Toraja (Dokumentasi pribadi)
Kerbau Toraja (Dokumentasi pribadi)
Puas melihat kerbau, saya pindah melihat pasar babi. Karung putih tersebut berisi babi yang akan dijual. Saya tanya harganya ada yang 500 ribu dan 750 ribu tergantung ukurannya.

Pasar Bolu (Dokumentasi pribadi)
Pasar Bolu (Dokumentasi pribadi)
Setelah puas melihat pasar hewan, saya diajak melihat pasar Bolu yang bagian menjual kebutuhan sehari-hari. Pasar tradisional ini sederhana bangunannya. Lantai sudah diplester dan beratap terpal, namun pasar nampak bersih. Aroma kopi Toraja menguar di udara menciptakan harmoni tersendiri.

Pedagang di pasar Bolu (Dokumentasi pribadi)
Pedagang di pasar Bolu (Dokumentasi pribadi)
Beberapa pedagang menjual pinang dan daun tembakau yang sudah dikeringkan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Saya juga melihat keluwak versi Toraja. Keluak di sini sudah dikeluarkan dari kulitnya untuk kemudian digiling, dijemur dan setelah itu dibentuk bulat seperti dalam foto ini.

Keluwak versi Toraja (Dokumentasi pribadi)
Keluwak versi Toraja (Dokumentasi pribadi)
Babak Keempat

Setelah subuh, induk semang saya mengajak pergi melihat negeri di atas awan di Lolai. Kami baru berangkat jam 5 lebih dari Makale. Suhu dingin menyengat tubuh. Jalanan ke Lolai sudah lumayan mulus. Katanya berkah dari presiden yang sempat mengunjungi Lolai. Saya sudah khawatir tidak dapat melihat awan karena semalam hujan deras. Akhirnya sampai To’tombi, awan masih sangat bagus terlihat. Tapi kami naik ke Lolai lebih dahulu. 

Sesampainya di Lolai, saya melihat awan yang indah. Pengunjung nampak seperti cendol di lautan gula merah sampai sulit menemukan spot buat foto. Saya pernah mengunjungi negeri di atas awan versi Jawa, yakni B29 di Lumajang. Tapi, atmosfernya tentu beda dengan negeri di atas awan versi Celebes.

To’tombi (Dokumentasi pribadi)
To’tombi (Dokumentasi pribadi)
Kami berencana mampir To’tombi, tapi awan sudah menjelma menjadi kabut. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Makale.

Tana Toraja dan Toraja Utara sungguh memikat. Sangat cocok untuk sejenak melarikan diri dari kebisingan dan polusi di kota. 

Bagi yang muslim tidak perlu khawatir akan sulit mencari makanan halal. Masjid juga mudah ditemui. Indahnya toleransi terasa hangat di Toraja. Ketika mau meninggalkan Toraja, rasanya sangat berat. Ingin berlama-lama tapi masa libur sudah harus diakhiri. Pesona Indonesia memang luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun