Mohon tunggu...
Arief Sofyan Ardiansyah
Arief Sofyan Ardiansyah Mohon Tunggu... wiraswasta -

Hiduplah dengan senyuman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kenapa Takut Mencari Kebenaran Sejati?

15 Juni 2013   22:44 Diperbarui: 4 April 2017   17:23 2209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tak ada yang boleh mendaku dirinya paling benar. Tak boleh ada agama yang mengakui bahwa ajarannya adalah paling benar. Karena dengan mengakui ajaran agamanya sebagai yang paling benar, maka otomatis ia menyalahkan ajaran agama lainnya. Itu adalah hal paling buruk. Karena akan mendatangkan perselisihan dan kekerasan antar agama yang akan mengancam toleransi dan merusak kerukunan antar agama. Benarkah hal ini? Mari kita pikirkan bersama.

Bagaimana kita bisa mengetahui kesalahan? Kita hanya bisa tahu kesalahan bila kita tahu kebenarannya. Benar itu artinya tidak salah, salah itu artinya tidak benar. Bagaimana bila kita tak tahu mana yang benar? Maka otomatis kita tak akan tahu mana yang salah. Bila semua kebenaran adalah relatif, maka begitu juga dengan kesalahan. Lalu, semua nilai akan menjadi relatif. Kebenaran bisa berubah menjadi kesalahan, begitu sebaliknya. Kita hanya akan mengambang dalam ketidak pastian.

Kita juga tak bisa mengatakan bahwa semua agama itu benar, karena bukankah masing-masing agama itu berbeda? Perbedaan ini bahkan sangat besar dan tergambar dari ajaran-ajaran masing-masing agama, semuanya berbeda. Islam berbeda dengan Kristen, Yudaisme beda dengan Hindu, dan lainnya.

Dalam Islam babi haram, sedangkan dalam Kristen babi boleh-boleh saja dimakan. Agama yang berbeda ini, memiliki ajaran berbeda, apakah memiliki Tuhan yang sama? Tuhan itu Maha Sempurna, kalau Tuhan sendiri galau seperti ini (kemaren haram sekarang halal) maka Ia bukanlah Tuhan. Hari ini alkohol haram, lalu besok muncul ayat baru bahwa alkohol halal. tuhan seperti ini tentu bukan Tuhan yang Maha Sempurna.

Bila "A" berbeda dengan "B", maka kita tak bisa mengatakan bahwa "A" adalah "B". Segitiga bukanlah persegi. Kapal bukahlah mobil.

Perbedaan ini membuat agama satu dan yang lain tak bisa menyatu. Dalam arti, tak bisa menyatu dalam ibadah. Ibadah Kristen tak bisa digabungkan dengan Islam. Pada dasarnya masing-masing agama memiliki jalan yang berbeda. Bahkan, bukan hanya jalan yang berbeda namun bentuk jalannya juga berbeda.

Lalu, mungkinkah semua agama itu benar? Mungkinkah ada banyak kebenaran sejati yang berbeda? Itu tak mungkin, karena kebenaran sejati hanyalah satu. Bila ada banyak versi kebenaran maka itu bukanlah kebenaran sejati.

Agama bukan Dogma

Bila kita tak boleh mendaku agama kita merupakan agama paling benar, maka bukankah kita merupakan pemeluk agama yang tak baik? Karena semua agama menuntut keyakinan penuh terhadap ajaran. Bila kita meragukan kebenaran agama kita, maka kita tidak beriman. Umat Kristen tak percaya 100% pada Injil. Islam tak percaya 100% pada Al Quran, maka apakah kita masih disebut umat yang meyakini Tuhan? Tentu tidak karena itu artinya kita tak percaya pada Tuhan. Maka, bukankah sebuah hal yang sangat logis bila kita meyakini hanya agama kita yang paling benar?

Hanya ada satu kebenaran sejati, maka hanya ada satu agama yang benar. Sebuah penilaian yang sangat logis. Pertanyaannya adalah agama mana yang paling benar. Dalam menentukan hal itu tentu harus melalui serangkaian tes. Agama yang benar harus mampu menjawab berbagai permasalahan dunia dengan logis dan masuk akal serta mengajarkan keadilan yang nilainya merupakan nilai keadilan universal. Sebuah nilai keadilan yang pada dasarnya dapat diterima semua orang. Ibadah dalam agama ini juga tak bertentangan dengan kesehatan. Setelah kita mengetes agama kita, dan hasilnya ternyata menyenangkan, maka tak ada salahnya bila kita meneriakkan dengan lantang bahwa agama kita yang paling benar dan berusaha menyebarkannya pada orang lain lewat dialog yang dinamis dan menjauhi kekerasan.

Bila kita telah menemukan kebenaran sejati, maka otomatis kita menyatakan agama lain telah salah. Namun, bisa juga sebaliknya, kita justru menemukan bahwa agama kitalah yang salah. Apa yang harus kita lakukan? Lakukan penyelidikan lebih mendalam lagi, terus ajukan pertanyaan pada keyakinan kita. Bila ternyata agama kita tetap tak mampu menjawabnya, maka tak ada salahnya kita keluar dan masuk agama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun