Banyak negara terguncang akibat menguatnya mata uang dollar Amerika. Tak terkecuali Indonesia. Perlahan tapi pasti, dampak penguatan dollar Amerika terhadap rupiah makin meluas, mulai dari individu, pelaku usaha, hingga keberlangsungan perekonomian negara. Semua berharap rupiah dapat kembali menguat, agar negeri ini bisa segera keluar dari kesulitan ekonomi terutama bayang-bayang krisis pangan akibat melonjaknya harga.
Pertumbuhan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia, telah mengubah pola konsumsi penduduknya menjadi lebih beragam dan seimbang kandungan gizinya. Hal tersebut membawa implikasi bahwa bahan pangan yang diproduksi perlu disesuaikan dengan tuntutan pasar, sehingga mampu memenuhi konsumsi penduduk.
Kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia mengalami pola yang beragam dan mengandung gizi seimbang. Jenis bahan pangan yang sudah menjadi kebutuhan pokok ini antara lain kelompok padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, rempah-rempah, buah dan sayur-mayur, serta bahan pangan hewani. Terkait dengan pola konsumsi itu, maka kebutuhan bahan pangan tersebut akan terus meningkat, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, urbanisasi, serta besaran pendapatan.
Pemenuhan kebutuhan ini sudah barang tentu bersinggungan langsung dengan harga setiap komoditasnya. Adalah tugas Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan di setiap negaran agar kondisi perekonomian tetap stabil sehingga rakyat pun menjadi terjamin kesejahteraannya. Namun, situasi perekonomian kekinian, negara justru seolah tak berdaya menghadapi dampak melemahnya rupiah terhadap stabilitas harga pangan dalam negeri.
Saat mata uang dollar Amerika mengalami penguatan Agustus lalu, muncul kekhawatiran akan terjadi krisis pangan, karena harga bahan pangan khususnya yang bersumber dari impor akan mengalami lonjakan. Berdasarkan data statistik Badan Pusat Statistik, ketergantungan produk pangan impor antara lain terdapat pada gandum sebesar 100%, kedelai 60%, 70% susu, 54% kebutuhan gula, dan sekitar 30% kebutuhan daging sapi. Untuk mencukupi permintaan dalam negeri, produk pangan tersebut sebagian besar dikirim dari negara-negara penghasil terbesar di dunia.
Kedelai yang Digemari
Dari komoditas produk pangan yang pengadaan untuk konsumsi nasionalnya bergantung pada impor seperti disebutkan di atas, kedelai menduduki posisi ketiga jumlah impor terbesar. Padahal, kebutuhan masyarakat atas bahan pangan tersebut sangat tinggi. Bahkan muncul anggapan bahwa “makanan orang Indonesia kurang lengkap tanpa tahu dan tempe”. Dari mana lagi asal bahan baku tahu tempe tersebut jika bukan dari kedelai.
Di antara jenis bahan pangan kacang-kacangan, kedelai adalah salah satu komoditas sumber protein nabati yang telah lama dikenal penduduk Indonesia. Sejalan dengan perkembangan tersebut, industri pangan berbahan baku kedelai pun terus berkembang. Di lain pihak, kebutuhan akan protein hewani yang juga tinggi, telah mendorong perkembangan industri peternakan, sehingga memacu pertumbuhan industri pakan ternak, di mana bungkil kedelai (biji kedelai yang telah diambil minyaknya) merupakan komponen terpenting kedua setelah jagung. Perkembangan industri pangan dan pakan itulah yang menyebabkan permintaan kedelai terus meningkat melampaui produksi dalam negeri.
Lebih dari 90% kedelai di Indonesia digunakan sebagai bahan pangan olahan yaitu sekitar 88% untuk tahu dan tempe, 10% untuk pangan olahan lain, dan 2% untuk benih. Total kebutuhan kedelai dalam negeri pertahun mencapai 2,4 juta ton, sementara produksi kedelai lokal hanya 900 ribu ton. Artinya, produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan untuk bahan baku pangan dan pakan. Ketidakmampuan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri telah menyebabkan impor kedelai terus meningkat setiap tahunnya.
Dalam kelompok tanaman pangan, kedelai merupakan komoditas terpenting ketiga setelah padi dan jagung, sehingga produksinya pun juga meningkat. Pemerintah menargetkan produksi 1,56 juta ton pada 2011, berikutnya 1,9 juta (2012), 2,25 juta ton (2013) dan 2,7 juta ton di tahun 2014. Namun kenyataannya produksi nasional pada tahun 2011 masih di bawah 1 juta ton, yang berarti masih jauh dari swasembada. Padahal, untuk bisa mencapai kemandirian pangan nasional, dibutuhkan swasembada berkelanjutan, dinamis dan berdasar kekuatan, daya saing perdagangan komoditas, serta diversifikasi pangan berdasar sumber daya lokal.
Kedelai merupakan sumber protein nabati yang umumnya dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, seperti tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai makanan ringan. Keanekaragaman pemanfaatan kedelai ini berdampak positif pada pemenuhan gizi masyarakat, terlebih di era modern sekarang ini di mana terjadi peningkatan pendidikan dan pendapatan masyarakat. Contohnya, produk susu kedelai yang kini sudah semakin banyak penggemarnya.