Mohon tunggu...
Aridha Prassetya
Aridha Prassetya Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati Masalah Ketidakbahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Galau Pangkal "Kaya"

14 Juni 2012   00:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kaya", maksudnya "kaya ide".

“Mengapa sepertinya berhenti menulis?” Demikian tiga pertanyaan ditujukan pada saya dalam omong-omong di balik Kompasiana. Saya katakan pada mereka, saya tak pernah berhenti menulis, sebab menulis adalah pekerjaan yang saya cintai. Hanya saja tulisan saya tidak selalu harus meuncul di Kompasiana. Seperti juga Anda kan?

Apa yang membuat saya mundur sejenak dari Kompasiana adalah saya menderita over informed. Kompasiana memberitahu saya begitu banyak informasi setiap menit, setiap jam, setiap hari. Memang saya boleh memilih berdasar kesukaan saya. Namun informasi yang saya gemari itu pun disajikan secara berlimpah-limpah.

Saya merasakan berada dalam sebuah forum dalam satu ruangan besar, yang semuanya “bicara”, semuanya berpendapat dan semuanya berargumen. Sehingga saya yang punya keterbatasan kapasitas ini, harus melakukan sesuatu agar saya tidak kebingungan diantara begitu banyaknya gelimang ide.

Tidak sedikit pula yang “bertengkar-tengkar”, saling mempertahankan pendapatnya, bahkan ketika yang lain sudah meninggalkan forum, mereka masih bersitegang. Tak sadar bahwa ruang diskusi sudah sepi ditinggalkan peserta.

Datanglah saya pada dua “guru”. Dua-duanya kompasianer yang gemar menulis soal-soal spiritualitas. Saya berkata kepada beliau, “Maaf guru…, jujur saja saya sedang bingung mengikuti diskusi-diskusi heboh yang ada di sini. Mengapa tidak satu pun berani mengalah? Saya tak mengerti apa dan siapa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan.”

Guru Y menjawab, “dalam mempertahankan pendapat, begitulah seharusnya. Jangan pernah menyerah. Berjuanglah terus untuk mempertahankan pendapatmu, jika kamu yakini itu benar. Tak usah engkau peduli, meski orang lain berteriak dashboardnya akan kebakaran. Bila berani menulis, maka harus berani bertanggung jawab…saya pun akan melakukan itu. Berjuang mempertahankan pendapat, harus saya lakukan, sejauh saya yakin itu benar”. Guru Y, mencontohkan bagaimana cara dirinya memperjuangkan pendapatnya yang benar.

Guru X sangat berbeda. Beliau menjawab singkat, “Bila engkau bertemu orang buta, maka engkau yang berpenglihatan sehat, harus mengalah untuk minggir. Menepilah. Beri jalan supaya dia bisa lewat. Sebab jika engkau tidak mengalah, maka engkau tak ada bedanya. Engkau sama butanya dengan dia…”.

Guru-guru memang banyak jumlahnya. Guru-guru pun beragam wujudnya. Tugas murid adalah mencerna ajarannya. Termasuk berpikir ulang, advis guru manakah yang akan dipilih untuk dianut ajarannya.

Itulah sebabnya, sempat saya diam istirahat menulis. Sebab ternyata, diam itu penting untuk refreshing. Sesekali perlu nge_rem nafsu bicara saya. Menulis tak beda dengan bicara. Menulis hanyalah cara lain untuk bicara. Terus menerus menulis, sama saja dengan terus menerus bicara. Tak ada salahnya untuk berhenti atau diam sejenak. Rasanya kok, perlu juga saya untuk belajar mendengarkan dan memberi kesempatan yang lain untuk “bicara”.

Dari berdiam, saya mendapat pengalaman yang sangat menyenangkan. Ketika saya menarik diri, sejenak meninggalkan “podium/panggung bicara”, saya berkesempatan lebih banyak mendengarkan/membaca/mengamati tulisan kawan-kawan. Tidak jarang juga mengikuti kawan-kawan sedang berdiskusi “mati-matian”. Saya seperti melihat diri saya sendiri. “Ohh…begitu lucunya saya kalau sedang ingin mempertahankan pendapat…ohh…begitu baiknya saya kalau menyambut pengunjung lapak yang setuju dengan ide saya.… ohh…begitu jeleknya saya kalau sedang tidak mau dikritisi….ohh…begitu karakter saya kalau sedang keras hati dan tidak mau mengalah…”. Membaca saja pun memberi banyak hikmah atau pelajaran.

Akhirnya, jika tadi saya tulis bahwa menulis itu sama dengan bicara dan membaca sama dengan mendengarkan, maka saya rasa saatnya saya harus berterima kasih. Sebab Anda telah bersedia mendengarkan saya. Terima kasih telah mendengarkan saya. Maaf bila isi tak sesuai judul. Soal ini, saya berguru pada idola saya, kompasiner pak De Sakimun. Pis pak De, bila hadir.

Salam bahagia penuh karya!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun