Mohon tunggu...
Archangela Y. A.
Archangela Y. A. Mohon Tunggu... Administrasi - Arkeolog - Museolog

Lulusan Arkeologi Universitas Indonesia. Bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar tentang Cokelat di Museum Chocolate Monggo

14 Februari 2020   15:58 Diperbarui: 14 Februari 2020   16:00 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Valentine's Day, semua orang pasti tau produk apa yang terpajang secara spesial di supermarket, toko makanan, dan restoran. Iya...tentu saja COKELAT. Siapa sih yang tidak suka cokelat. Cokelat tidak mengenal usia, latar belakang, maupun status sosial. Cokelat juga hadir dalam berbagai bentuk, baik yang berupa cokelat batang, bubuk, minuman, hingga menjadi dekorasi untuk mempercantik berbagai jenis makanan lainnya. Cokelatpun dihubungkan sebagai lambang kasih sayang.

Di balik kenikmatan dan kehebatan cokelat, ternyata masih banyak hal yang bisa kita pelajari tentang cokelat. Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa untuk belajar cokelat, di Bantul, Yogyakarta, sudah ada Museum Chocolate Monggo. Museum yang didirikan untuk melengkapi pengetahuan para pecinta cokelat tentang seluk beluk cokelat ini berlokasi di Jl. Tugu Gentong RT.03 Sribitan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Lokasi yang jauh dari kepadatan dan kemacetan lalu lintas pusat kota Yogyakarta menjadikan museum ini sebuah alternatif wisata edukasi.

Berawal dari sebuah kekecewaan Thierry Detournay, seorang Belgia yang sedang jalan-jalan di Yogyakarta, karena tidak menemukan cokelat yang berkualitas di Indonesia. Pendiri Cokelat Monggo ini mulai membuat cokelat sendiri dan menjualnya dengan vespa pinknya. Hingga selanjutnya menjadi perjalanan besar Cokelat Monggo.

Vespa Pink | Dokpri
Vespa Pink | Dokpri
Perjalanan Cokelat Monggo tidak saja berhenti pada bisnis untuk mencari keuntungan semata, tetapi juga berupaya untuk mengedukasi para petani cokelat dan masyarakat agar mengenal cokelat lebih baik. Indonesia merupakan negara ketiga penghasil biji kakao di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Tingginya hasil produksi biji kakao yang tidak kalah dengan kopi ini tidak berbanding lurus dengan produksi cokelat olahan.

Sebagian besar biji cokelat yang dihasilkan diekspor ke luar negeri. Industri cokelat di Indonesia tidaklah berkembang. Harga jual biji kakao di pasaranpun rendah karena biji kakao yang dijual belum difermentasi. Kurangnya pengetahuan petani Indonesia menjadi kendala utama. Di sisi lain, pabrik cokelat membutuhkan cokelat yang sudah difermentasi, dan itu merupakan tugas petani cokelat. Oleh karena itu, Cokelat Monggo juga mengedukasi para petani cokelat untuk memfermentasi biji cokelat sebelum dijual.

Contoh proses fermentasi biji kakao | Dok. pribadi
Contoh proses fermentasi biji kakao | Dok. pribadi

Di dalam Museum juga dijelaskan sejarah manusia mulai mengkonsumsi cokelat. Ditemani pemandu yang sangat cakap bercerita, Tri Widiantoro, cerita tentang cokelat berawal dari Meksiko, khususnya Suku Olmec (1900 -- 300 SM) yang mengunakan cokelat sebagai minuman. Cokelat terus menjadi minuman primadona di wilayah tersebut di masa selanjutnya oleh Suku Maya (100 -- 900 M) yang percaya bahwa cokelat adalah makanan dewa, tanaman kakao adalah jembatan antara bumi dengan dunia dewa.

Nama ilmiah pohon kakao adalah Theobroma Cocoa yang berarti 'makanan dewa'. Kakao masih menjadi barang berharga hingga Suku Aztec (1200 -- 1500 M), sehingga biji cokelat juga menjadi salah satu alat pembayaran pada masa itu. Cokelat bisa sampai ke Eropa sejak wilayah Amerika dikuasai oleh orang Eropa. Tanaman cokelat juga mulai ditanam di wilayah-wilayah koloni, salah satunya adalah Indonesia.

Bagi Bangsa Eropa, cokelat merupakan minuman yang sangat berkelas. Pada masa itu pula produksi cokelat berkembang bukan hanya sebagai minuman, tetapi diproses hingga menjadi padat dan menjadi makanan.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Pada ruangan selanjutnya dijelaskan tentang proses pembuatan cokelat mulai dari biji kokoa. Biji kokoa harus difermentasi terlebih dahulu, kemudian dikeringkan dan disangrai untuk memperoleh aroma cokelat yang nikmat. Biji kakao kering yang dihasilkan dari satu buah kakao rata-rata kurang dari 55g, sehingga dibutuhkan 115 biji kakao untuk membuat 100g dark chocolate. Proses selanjutnya dilakukan di pabrik dan untuk lebih jelasnya para pengunjung dapat melihat pabrik Cokelat Monggo yang berada di belakang museum secara langsung.

Pabrik Cokelat Monggo | Dok. pribadi
Pabrik Cokelat Monggo | Dok. pribadi
Pengetahuan baru yang didapat adalah hasil pemrosesan biji kakao menghasilkan cocoa mass, cocoa butter, dan cocoa powder. Cocoa mass kemudian ditambah gula akan diproses menjadi cokelat hitam/dark chocolate. Cocoa mass yang ditambah gula dan susu menjadi cokelat susu/milk chocolate. Cocoa butter yang ditambah gula dan susu akan menjadi cokelat putih/ white chocolate.

Cokelat Monggo menggunakan bahan berkualitas dan sehat dalam memproduksi cokelat, tidak menggunakan minyak nabati sebagai bahan tambahan. Sementara itu cocoa powder atau cokelat bubuk yang seringkali menjadi bahan makanan dan minuman yang laris di pasaran, tidak digunakan dalam produksi Cokelat Monggo, karena cokelat bubuk ini hanyalah ampas dari pemrosesan biji kakao. Bubuk kakao yang dihasilkan di pabrik hanya digunakan untuk hiasan dekorasi beberapa jenis makanan dan sisanya dijadikan karya seni seperti miniatur becak, rumah joglo, dan bahkan Tugu Jogja yang berukuran cukup besar ditepatkan di tengah ruangan museum.

Miniatur Tugu Jogja dari cokelat bubuk | Dok. pribadi
Miniatur Tugu Jogja dari cokelat bubuk | Dok. pribadi

Setelah mendapat pengetahuan yang sangat menarik tentang cokelat, tak lengkap kalau kita tidak membawa buah tangan berupa cokelat batangan. Ada berbagai jenis cokelat batang dengan berbagai rasa dan komposisi yang dapat menjadi pilihan. Selain itu juga pengunjung dapat bersantai sejenak di cafe untuk menikmati secangkir cokelat panas, minuman para dewa yang terkenal di dunia dan sangat berkelas ini. Ke museum yuk...

Dok. pribadi
Dok. pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun