Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Penanti Senja

4 Mei 2019   07:59 Diperbarui: 4 Mei 2019   11:56 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay

"Aku tidak ingin berharap lebih pada Mas Faris atau pun kamu. Siapa yang lebih dulu datang melamar ke kedua orang tuaku dia yang insya Allah akan aku terima," balasku sambil meyakinkan diri bahwa ini adalah jawaban yang paling adil.

Aku limbung. Mendadak pikiranku menjadi kacau. Apa yang kuharap sebenarnya. Aku tak mengerti apa yang kuinginkan. Di sisi lain aku merasa aku lebih menyukai Mas Faris, tapi di sisi lain aku merasa lelaki di hadapanku ini juga lelaki baik yang tak pantas kutolak.

Gerimis turun. Aku mempercepat langkahku. Dengan hati yang masih menyisakan gundah. Aku kalang kabut.


"Kamu masih menyukainya?" tanyaku pada wanita cantik di hadapanku, Alya.

"Hilmi? Seperti yang kamu tahu, aku menyukainya. Juga hingga saat ini," balas Alya.


Aku khawatir Alya menganggapku pengkhianat. Aku harus bisa mengambil keputusan yang tidak merugikan atau menyakiti hati siapa pun. Harus.


"Aku tidak ingin mengumbar perasaanku, Nad. Kalau Hilmi jodohku kelak dia juga akan datang padaku. Yang bisa kulakukan hanya menunggu. Bukan menunggu Hilmi. Tapi menunggu siapa pun dia, laki-laki sholeh yang lebih dulu berani melamarku secara resmi."

Aku menyeruput teh yang sudah Alya sajikan untukku. Mencoba menghilangkan segala kekhawatiran. Menghilangkan kegundahan. Alya tidak tahu. Dia tidak mengerti tentang perasaan suka Hilmi padaku. Dan dia tidak boleh tahu. Biarkan saja Hilmi pergi. Meninggalkan hati yang masih belum mampu ia beri pasti.

"Kamu benar Al. Memang seharusnya begitu. Tidak perlu kita mengharap lebih pada siapa pun. Ada Allah, Dia tempat berharap paling baik. Bukan manusia," balasku.

Aku menanti senja di pelataran rumah Alya. Menatap lekat mentari yang tersembunyi di balik dedaunan. Berdua kami menanti hingga kumandang suara adzan menggugah lamunan kami.
Lima bulan yang lalu Hilmi meninggalkan bumi pertiwi untuk melanjutkan study. Meninggalkan hati yang tak diberi pasti.

Aku duduk di bibir pantai menikmati sepoi angin. Menatap ombak. Menatap mentari yang perlahan menghilang. Menampakkan pesona senja nan merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun