Pengantar
Tema yang diajukan kepada saya adalah “Perda Syari’ah dan Pluralisme Hukum di Era Otonomi Daerah.” Istilah Perda Syari’ah sebenarnya tidak dikenal di dalam hukum positif di Indonesia. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Selanjutnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga tidak mengenal istilah Perda Syari’ah, melainkan hanya peraturan daerah (Perda). Istilah lain dari peraturan perundang-undangan setingkat Perda yang dimuat di dalam undang-undang adalah Qanun (UU No. 17 Tahun 2001), Perdasus dan Perdasi (UU No. 21 Tahun 2001).
Dengan demikian, Perda Syari’ah sebenarnya tidak dikenal di dalam hukum positif kita. Penggunaan istilah Perda Syari’ah bisa menyesatkan atau misleading, karena dapat muncul pemahaman seolah-olah Perda tersebut adalah syariat (Islam). Padahal yang dimaksud adalah Perda biasa yang materi muatannya mengandung unsur-unsur atau nilai-nilai agama tertentu. Hal ini harus dibedakan mengingat Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan negara, sedangkan syariat merupakan ajaran (hukum) agama.
Pertanyaannya adalah apakah salah apabila suatu peraturan, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah, mengakomodasi nilai-nilai tertentu? Apakah tidak dimungkinkan suatu nilai-nilai dalam ajaran keagamaan menjadi materi muatan suatu peraturan perundang-undangan?
Agama dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia
Sejak awal masa kemerdekaan telah terlihat bahwa agama selalu mengiringi dan diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun Republik Indonesia bukan negara yang berdasarkan pada agama, namun ajaran-ajaran agama memiliki tempat dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peraturan di tingkat yang paling tinggi sampai ke tingkat yang paling rendah.
Pada tingkatan yang tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar, terlihat jelas bahwa masalah agama sangat diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari Pembukaan UUD itu yang menyebutkan “...Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa ....” Ini menunjukkan kesadaran para pendiri bangsa bahwa kemerdekaan yang dicapai bukan semata-mata hasil perjuangan manusia, melainkan juga karena rahmat Allah. Pada alenea IV juga menyebutkan: “....Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa...” Pancasila secara resmi dan sah adalah yang tercantum dalam alenea ke IV Pembukaan UUD 1945 itu. Penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan yang pertama menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan menjadi dasar dan menjiwai sila-sila berikutnya dari Pancasila. Dalam batang tubuh UUD itu juga banyak pasal yang menunjukkan bahwa ajaran agama menjadi bagian dalam sistem ketatanegaraan kita, antara lain:
- Pasal 9 mengenai Lafaz sumpah Presiden dan Wakil Presiden yang menyebutkan “Demi Allah .... (untuk yang beragama Islam)”
- Pasal 28 E mengenai kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agamanya.
- Pasal 29 yang menyebutkan ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
- Pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, terdapat peradilan agama.
Justru negara tidak menghendaki warga negaranya tidak beragama. Hal ini dapat dilihat dari rumusan ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya ...” Artinya, ada jaminan kebebasan untuk memeluk agama, namun tidak ada jaminan dari negara atau hak warga negara untuk tidak beragama.
Pada tingkatan undang-undang, sudah banyak undang-undang yang mengakomodasi nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama, seperti:
- Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk (UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 34 Tahun 1954)
- UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (masalah sahnya perkawinan)
- Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (mengenai pengadilan agama)
- Undang-Undang Pengelolaan Zakat
- Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
- Undang-Undang Pengadilan Agama
- Undang-Undang Perbankan (mengenai perbankan syariah)
Masih banyak lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang meskipun judulnya bersifat umum, namun di dalamnya mengandung nilai-nilai ajaran agama, misalnya sertifikasi halal untuk suatu produk dan sebagainya.
Pada tingkat Perda-pun apabila kita ambil contoh Perda Kebersihan, maka ada nafas keagamaan di dalamnya, karena menurut agama kebersihan adalah bagian dari iman.
Berdasarkan hal tersebut terlihat jelas bahwa substansi peraturan perundang-undangan kita dari awal masa kemerdekaan sampai dengan saat ini, tidak dipisahkan sama sekali dengan hal-hal terkait dengan agama.
Materi Muatan Peraturan Daerah
Berdasarkan UUD 1945, Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah masing-masing. Sementara berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah, serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan rumusan di atas, jelas bahwa masing-masing daerah dapat menyusun Perda yang materi muatannya selain dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah tertentu atau ciri khas masing-masing daerah. Hal ini menunjukan bahwa wajarlah jika local content menjadi materi muatan sebuah Perda. Materi muatan lokal itu bisa saja diangkat dari adat istiadat masyarakat setempat dan nilai-nilai yang menonjol di daerah tersebut.
Banyak yang beranggapan bahwa Perda-Perda yang terkait dengan antimiras, perjudian, dan prostitusi yang dianggap tidak seharusnya diatur di dalam Perda, karena sudah diatur dalam KUHP. Namun harus diingat bahwa KUHP merupakan warisan peninggalan Belanda sehingga ada kemungkinan untuk beberapa hal tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Apalagi telah kita sadari bahwa minuman keras (khamr) merupakan induk dari kejahatan. Jadi antara KUHP dengan Perda tersebut tidak saling bertentangan bahkan melalui Perda dapat diselaraskan dengan nilai-nilai setempat. Justru pihak-pihak yang menolak tersebut perlu dipertanyakan apakah ada pihak yang kepentingan bisnisnya terganggu, kemudian menggunakan issu agama.
Perda-Perda lainnya, seperti memakai busana muslim/muslimah dan membaca Al-Qur’an, seharusnya dapat kita ambil hikmah dari segi positifnya. Apabila di dalam pelaksanaannya terdapat permasalahan, maka perlu ditelusuri apakah permasalahannya terletak pada aparat penegaknya atau dari aturan di dalam Perda tersebut. Apabila secara formil dan materiil Perda tersebut telah memenuhi ketentuan, maka tidak ada alasan untuk menyatakan Perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Secara formil, artinya pembahasannya berdasarkan ketentuan yang berlaku dan Perda tersebut telah disampaikan kepada Pemerintah dalam jangka waktu 7 hari setelah ditetapkan dan apabila Pemerintah tidak mengeluarkan keputusan tentang pembatalan Perda tersebut dalam jangka waktu 60 hari, maka tidak ada permasalahan dengan Perda tersebut. Pemerintah sendiri, melalui pernyataan Wakil Presiden dan Mendagri telah menyatakan bahwa Perda-Perda tersebut masih wajar dan masih dalam lingkup pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004. (Media Indonesia online, 16 Juni 2006 dan Kompas Cyber media, 23 Agustus 2006).
Pluralisme Hukum di Indonesia
Pluralisme hukum di Indonesia telah ada sejak jaman Hindia Belanda. Namun demikian harus dipahami adanya perbedaan antara konteks pluralisme pada masa kolonial dengan konteks pluralisme pada era otonomi daerah seperti sekarang ini. Pluralisme pada masa kolonial Hindia Belanda didasarkan pada masalah kelas atau golongan. Penduduk Hindia Belanda dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu bangsa Eropa, Timur Asing, dan Pribumi/Bumiputera. Masing-masing kelas tunduk pada hukum yang berlaku bagi setiap golongan. Sedangkan konteks pluralisme pada era otonomi daerah dimaksudkan untuk menghindari kesalahan masa lalu, dimana Pemerintah melakukan penyeragaman baik struktur pemerintahan maupun peraturan-peraturan yang dipersamakan dengan kondisi di Jawa. Kesalahan tersebut kemudian dikoreksi dengan adanya era otonomi daerah. Jadi di dalam era otonomi daerah, masing-masing daerah berhak menetapkan Perda yang tidak harus sama antara satu daerah dengan daerah lain, dengan catatan masih di dalam bingkai NKRI dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Implementasi Syari’ah
Dalam konteks implementasi Syari’ah (yang diartikan sebagai ajaran/hukum) Islam yang tertuang dalam beberapa Perda, sesungguhnya merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Artinya bahwa selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan diatasnya, maka substansi Perda yang bernuansa Syari’ah tidaklah menjadi hal yang berbahaya. Terdapat kesalahan pemahaman pada sementara orang menyangkut istilah “Perda Syari’ah” yang dianggap sebagai aturanhukum yang akan membelenggu masyarakat.Seperti yang sudah dikemukakan diawal tadi, bahwa sudah lama Indonesia mengadop beberapa Syari’ah yang diangkat menjadi hukum positif nasional. Syari’ah disini diartikan sebagai ajaran/jalan yang tidak selalu berkaitan dengan hukum pidana semata, tetapi terdapat juga masalah ekonomi, sosial kemasyarakatan, masalah keamanan dan ketertiban, dan lain-lain yang ditransformasikan ke dalam sistem hukum nasional, termasuk Perda. Hal ini perlu diluruskan karena terdapat penggiringan opini seolah-olah Perda yang bersumber dari Syari’ah itu dapat membatasi gerak langkah masyarakat dalam beraktivitas.
Beberapa waktu lalu sejumlah 56 anggota DPR RI mengajukan semacam petisi (menolak) terhadap keberadaan Perda yang bernuansa Syari’ah yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945[1]. Di pihak lain, ada 134 anggota DPR RI yang menyatakan mendukung Perda yang bernuansa Syari’ah[2]. Kedua kelompok ini merasa bahwa keberadaan Perda bernuansa Syari’ah memiliki kekurangan dan kelebihan. Bagi kelompok yang mengkritisi Perda bernuansa Syari’ah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara plural sehingga tidak bisa hanya didekati oleh satu ajaran agama saja karena bisa jadi kelompok agama lain menjadi tidak bebas melakukan ritual agamanya atau budayanya. Bagi kelompok yang mendukung Perda Syari’ah menyatakan bahwa Perda-Perda tersebut sesungguhnya sebuah aturan moral yang melekat pada diri setiap manusia yang kemudian diangkat ke dalam sistem hukum nasional sebagai hukum positif sehingga tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Dari perdebatan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Perda yang bernuansa Syari’ah bukanlah sebuah pembelengguan bagi masyarakat. Justru untuk memberikan koridor secara moral bagi masyarakat dalam melakukan aktivitasnya yang sarat dengan berbagai godaan dunia, sehingga alasan bahwa Syari’ah akan membawa masyarakat ke dalam situasi yang chaos adalah sangat tidak masuk akal. Kalaupun Syari’ah yang dimaksud adalah ajaran Islam, hal itu karena Indonesia berpenduduk mayoritas agama Islam yang moderat.Perlu dipahami bahwa Islam itu bersifat rahmatan lil ‘alamin yang berarti rahmat bagi semesta alam merupakan garansi bahwa ajaran Islam khususnya yang bersifat sosial kemasyarakatan adalah berlaku bagi seluruh umat manusia tanpa membedakan agama mereka.
Penutup
Adanya Perda yang bernuansa Syari’ah tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, justru malah memberikan penguatan tentang pentingnya menjaga moralitas masyarakat. Bahwa terdapat ajaran Islam yang menjadi substansi dari Perda-Perda tersebut adalah bagian dari transformasi dari ajaran kemaslahatan ke dalam sistem hukum nasional berupa hukum positif. Sebab, saya yakin bahwa Syari’ah Islam yang menjadi substansi dalam hukum positif di Indonesia akan mampu membawa kemaslahatan bagi bangsa secara keseluruhan. Tanpa aturan moral yang ketat, sangat sulit bangsa ini akan lepas dari proses pengikisan moral bagi generasi mendatang yang pada gilirannya akan menghancurkan bangsa ini yang dibangun atas dasar ajaran agama (religius) dan diamantkan oleh konstitusi.
*) Makalah disampaikan pada forum Interdisciplinary sharing yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu, 2 September 2006.
[1] Yang menolak Perda Syari’ah adalah dari F-PDIP 26 orang; F-Demokrat 5 orang; F-PDS 12 orang; F-Golkar 7 orang; F-PKB 4 orang; F-BPD 1orang; dan F-PPP 1 orang.
[2] Yang mendukung Perda Syari’ah adalah dari F-PKS 29 orang; F-Golkar 6 orang; F-PAN 31 orang; F-PPP 41 orang; F-Demokrat 5 orang; F-BPD 10 orang; F-PKB 3 orang; dan F-PBR 7 orang.