Mohon tunggu...
Ali Ridho
Ali Ridho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku menyayangimu karena kau manusia kunjungi Blog Ane : www.cerahsekali.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Analisa Wacana (Diskursus Teks)

20 April 2012   11:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:22 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Analisa Wacana

Oleh Ali Arrida

Al-Zastrouw menuturkan, apapun penafsiran orang atas sebuah teks dapat dibenarkan. Penafsiran jadi hak dari tiap individu sesuai dengan perspektif dan kepentingannya sendiri-sendiri, tanpa harus terikat pada pemikiran dan kemauan penggagasnya. Masalah kebenaran atau kesesuaian tafsirpun dengan maksud dan makna yang terkandung dari teks yang ditafsirkan bisa diabaikan. Dalam hal ini seorang penafsir (interpreter) memiliki kebebasan dan otonomi penuh untuk menafsirkan atas sebuah teks. Yang menjadi masalah bukan benar tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam memberikan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan teks tersebut (dalam Bungin, 2010: 163).

Dalam sebuah karyanya Muhammad Bagir Shadr buku “Our Philosophy” (terjemahan dari Falsafatuna) menyatakan akan pentingnya bahasa. Beliau sering merujuk ke berbagai mazhab pemikiran Barat, sebagian berkenaan dengan filsafat, psikologi, dan sebagian ilmu-ilmu alam. Lanjutnya beliau meneruskan “jika didapati kelemahan tertentu dalam menginterpretasikan sumber-sumber Barat, hal ini tidak lain karena kurangnya akses langsung ke sumber-sumber tersebut dan tak sempurnanya terjemahan-terjemahan yang ada dalam bahasa Arab dan Persia. Perlu diterbitkan terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa-bahasa Barat terhadap Islam sebelum diharapkan adanya pemahaman yang benar terhadap pemikiran Islami di Barat. Begitu pula, perlu adanya terjemahan-terjemahan akurat dan handal terhadap karya-karya Barat sebelum sarjana Islam dapat menguasai sepenuhnya pemikiran Barat supaya dapat menanggapi sepenuhnya. Betapapun, otentisitas pengetahuan teologis dan filosofis penulis lebih dari sekedar dapat menutupi kekurangan di atas (Sayyed Hossein Nashr, 1991: 16).

Sehingga apa yang dikatakan oleh Zastrouw tentang otonomi pemaknaan setiap individu memang dibenarkan. Namun, jika dilihat kausalitas tentang artikulasi seperti yang disebutkan oleh Sayyed Nashr tentang bahasa terjemahan atau memaknai tentang artitekstual dari sebuah tulisan perlu adanya akses langsung ke sumber. Begitu pula sebaliknya untuk mempublikasikan atau menginterpretasikan sebuah makna perlu diketahui sebelumnya secara filosofis terhadap maksud-maksud dalam sebuah tulisan. Jika kita berpegang pada Zastrouw tanpa memandang apa yang ditakutkan oleh Sayyed Nashr maka akan menjadi problema untuk masa depan. Maka dari itu Zostrouw melanjutkan argumentasi yang dijadikan landasan dalam memberikan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan teks tersebut. Artinya tidak semena-mena kita menyimpulkan sesuatu berdasarkan kemauan atau otonomi pembaca sekaligus penafsir.

Husein Ja’far al-Hadar pernah menguraikan tentang bahasa dalam (Majalah Tempo 7 Maret 2011)  berlandaskan buku Falsafatuna tentang apa yang diungkapkan Nashr merupakan problema dasar (yaitu problema penerjemahan) yang menjadikan diskursus dalam ranah filsafat, khususnya filsafat Islam Vis a Vis Barat, relatif terganggu. Gangguan tersebut disebabkan oleh kesalahan pemahaman pembaca saat membaca sebuah teks filsafat terjemahan. Bukan bahasa asli dari teks tersebut. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam memahami maksud sebuah teks yang telah diterjemahkan. Karena kesalahanpahaman ini, tanggapan atau kritik yang dilayangkan terhadap pemikiran filsafat kerap tidak tepat, sehingga diskursus dalam ranah filsafat menjadi timpang.

Sehubungan dengan itu maka kami menyimpulkan tentang penafsiran teks, baik teks yang sudah kita mengerti tulisannya ataupun terjemahan, pada dasarnya mencakup tentang isi pesan dan makna dari teks tersebut secara konkrit paling tidak mampu menampung isi pesan tersebut. Semisal pesan teks media massa, tentu inti dari maknanya berkaitan komunikasi yang disampaikan. Maka metode penelitiannya berkaitan pula dengan makna-makna dalam komunikasi. Jika berkaitan dengan budaya, atau filsafat begitu juga, maka materi isi pesan dan makna bermuatan dengan budaya atau filsafat. Sedari itu kami ingin lebih spesifik tentang makna pesan dalam teks dengan memaparkan tentang analisa wacana atau discourse analysis.

Fokus dari analisis wacana sebenarnya adalah setiap bentuk tertulis atau bahasa lisan, seperti percakapan atau artikel atau poini di koran. Topik utama yang menjadi pokok dalam analisis wacana adalah struktur sosial yang mendasarinya, yang dapat diasumsikan atau dimainkan dalam percakapan atau teks. Ini menyangkut alat dan strategi yang dipakai orang ketika terlibat dalam komunikasi, seperti memperlambat suatu pidato untuk penekanan, penggunaan metafora, pilihan kata-kata tertentu untuk menampilkan mempengaruhi dan sebagainya.

Dapat dilihat bahwa analisa wacana sebagai alternatif seseorang menginterpretasikan sebuah pesan atau makna, baik secara lisan atau teks. Analisis sebagai alternatif justru berpretensi memfokuskan pada pesan yang tersembunyi. Yang menjadi titik perhatian bukan hanya pesan tetapi juga makna (Bungin, 2010: 165).

Berbeda ketika kita menggunakan analisa isi, yang hanya mempertimbangkan apa yang diakatakan atau dituliskan tetapi tidak menyelidiki siapa yang mengatakan atau menuliskan. Ketika penggunaan analisa wacana, maka kita bukan hanya fokus pada apa yang dikatakan atau dituliskan tetapi juga meneliti siapa orang yang mengatakan atau menuliskan, karena isi yang dimuat menjadi satu kesatuan dengan komunikator atau penulis.

Sehingga bisa analisa wacana lebih banyak digunakan dan sedikit meninggalkan analisa isi kurang memadai untuk mengukur makna. Dari sebagian ciri-ciri analisa makna di atas analisis wacana dapat dikategorikan sebagai kelompok metode beraliran kritis dalam penelitian komunikasi. Pertama, aliran kritis lebih menekankan  pada unsur-unsur fiosofis komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan yang sering dikemukakan oleh kaum kritis adalah, siapa yang mengontrol arus komunikasi; ideologi apa yang ada dibalik media? (Bungin, 2010: 166).

Jika dalam penerjemahan teks atau pemaknaan, didahulukan apa yang dikatakan Burhan Bungin di atas, maka otonomi yang disahkan oleh Zastrouw tepat sasaran dan Nashr tidak perlu takut lagi berkaitan dengan terjemahan-terjemahan tersebut seperti yang diungkapkan pula dengan memahami sumber-sumber dari barat menurut Nashr. Akan tetapi otonomi dan ketakutan tersebut patut dijadikan acuan setiap pemaknaan dan penerjemahan ketika yang juga dipusatkan oleh aliran kritis lebih memusatkan perhatiannya pada siapa yang mengendalikan komunikasi. Aliran ini beranggapan bahwa komunikasi hanya dimanfaatkan oleh kelas berkuasa, baik untuk mempertahankan kekuasaanya maupun merepresi pihak-pihak penentangnya.

Justru yang ada adalah diskursus dalam ranah makna dan pesan menjadi timpang. Sangat sempit arti dan makna yang memberi sekat, oleh kepentingan-kepentingan para pemakna dan menginterpretasikan, serta masyarakat luas diwajibkan mengimplementasikan tentang makna atau pesan dijadikan sebagai simbol dari pengejawantahan makna dan pesan tersebut. Walaupun makna dan pesan tersebut disalahartikan oleh pihak yang menggunakan otonom pemaknaan namun salah karena argumentasinya berlandaskan individual. Sehingga ada baiknya jika dalam analisa wacana bukan hanya memusatkan pada teori komunikasi saja. Perlu adanya penggabungan atau kolaborasi dengan teori-teori sosial (menurut Abar dalam Bungin, 2010:167).

Kesimpulan dari pemaknaan teks yang menjadi alternatif menginterpretasikan teks terdapat juga analisa wacana untuk penelitian makna untuk mengungkapkan makna. Perlu dibedakan beberapa pengertian antara;

1.Terjemah atau translation

2.Tafsir atau interpretasi

3.Ekstrapolasi

4.Pemaknaan atau meaning

Menurut Muhadjir dalam (Bungin, 2010: 173), terjemah merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda; media tersebut mungkin berupa bahasa yang satu ke bahasa yang lain (seperti yang diungkapkan oleh Nashr dalam Our Philosophy atau terjemahannya Falsafatuna), atau dari verbal ke gambar dan sebagainya. Pada penafsiran tetap berpegang pada materi yang ada, dicari latar belakangnya, konteksnya agar dapat dikemukakan konsep atau gagasan lebih jelas. Ekstrapolasi lebih menekankan pada kemampuan daya pikir manusia untuk menangkap hal di balik yang tersajikan. Sedang memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran, dan mempunyai kesejajaran dengan ekstraprolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan kemampuan integratif manusia: inderawinya, daya pikirnya, dan akal budinya. Materi yang disajikan, seperti juga ekstrapolasi dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh. Hanya saja ekstrapolasi terbatas dalam arti empirik logik, sedang pada pemaknaan dapat menjangkau yang etik ataupun transendental.

Rujukan :

(Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). Hal 163

Merujuk ke edisi bahasa Inggris (Our Philosophy),(Falsafatuna—Indonesia),karya Sayyed Muhammad Baqir Ash-Sadhr). Penerjemah : M. Nur Mufid bin Ali. Penerbit Mizan Bandung. Februari 1991.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/03/07/BHS/mbm.20110307.BHS136085.id.html pada 13 Maret 2012 pukul 20.46 wib

http://nunonugroz.wordpress.com/2010/12/30/analisis-wacana-sebuah-metode/ pada 12 Maret 2012 pukul 14.12 wib

(Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). Hal 165

(Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). Hal 167

(Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). Hal 173

(Bungin, Burhan. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada). Hal 173

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun