Mohon tunggu...
Money Pilihan

Tahun Baru, Saatnya Ekonomi Pancasila jadi Pembaharu

1 Januari 2019   06:25 Diperbarui: 1 Januari 2019   10:41 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sudah 73 tahun Indonesia merdeka, dan sudah selama itu pula kemakmuran secara merata dikalangan rakyat Indonesia selalu didamba-dambakan, bahkan mungkin bisa lebih lama lagi. Berbicara tentang kemakmuran, apabila menggunakan konsep ekonomi liberal, maka kemakmuran Indonesia terus mengalami lonjakan yang signifikan di tiap dekadenya. Ukuran kemakmuran ala "Liberal" tersebut adalah Produk Domestik Bruto per Kapita atau lazim kita kenal dengan PDB perkapita.

Pada awalnya, "PDB lahir" dari Down Survey oleh William petty asal Irlandia pada tahun 1652, yang menjadi prakarsa dalam mengukur tingkat kekayaan suatu Negara secara sistematis. Kemudian, Simon Kuznet melanjutkan "penyempurnaan PDB" ini bersama ekonom lainnya saat 1930-an untuk mengukur dampak kebijakan Pemerintah AS dalam mengatasi Great Depression, yang dulu dikenal dengan Sistem Neraca Nasional (SNA) atau disebut juga Produk Nasional Bruto(PNB). Barulah, pada tahun 1991 PNB digantikan focus penekanan penghitungannya dalam cakupan wilayah(domestik), maka disebutlah Produk Domestik Bruto(PDB)

 ( Fiaramonti, 2017)1.

Pertanyaannya, apakah benar kekayaan Negara yang dihitung melalui PDB dapat mencerminkan kemakmuran suatu Negara, khususnya Indonesia? Sayangnya, belum sepenuhnya dapat mencerminkan.  Ada beberapa alasan yang telah didekati dengan beberapa data, yang membuktikan bahwa PDB belum mencerminkan "kemakmuran masyarakat "ala Indonesia, namun hanya akan saya lampirkan satu mengingat kita akan lebih membahas Ekonomi Pancasilanya.  

Cara menghitung PDB perkapita yang menjumlahkan seluruh transaksi di wilayah Indonesia, lalu dibagi dengan seluruh penduduk tidak dapat menunjukkan peningkatan kemakmuran orang-per orang secara inheren. Bisa saja, pendapatan para penduduk kelas menengah dan atas yang naik, tetapi penduduk kelas bawah pendapatannya tetap. 

Metode ini dapat menjadi "bias" bila kita melihat realita hari ini. Data dari ASEAN Statistical Year Book 2017 menunjukkan bahwa GDP(PDB) perkapita Indonesia meningkat dari 1900 an USD perkapita pertahun pada 2007 menjadi 3600 USD perkapita pertahun pada 2016, namun Koefisien Gini yang menunjukkan ketimpangan pendapatan antar masyarakat juga meningkat dari 0.3 pada tahun 2005 menjadi 0.41 pada tahun 2016.( Feriyansyah, 2018)2

 Lantas, apakah Ekonomi Pancasila bisa menjadi solusi dalam memakmurkan rakyat Indonesia dibanding Ekonomi Kapitalis-Demokrasi yang diukur melalui PDB sepertihalnya diatas? Bisa jadi, mari kita ulas bersama.

Pada Dasarnya, Ekonomi Pancasila merupakan Heterodoks, Aliran Ekonomi Indie yang Khusus dapat diterapkan di Indonesia, sesuai dengan Ideologi Pancasila, ini versi "Japan Model Value- nya Indonesia" jika ingin diambil permisalan. Kesesuaian ini secara kualitatif dapat dijabarkan kegiatan

ekonomi yang dalam prakteknya menerapkan kelima sila yang ada. Ketuhanan yang Maha Esa, artinya dalam kegiatan ekonomi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Agama yang dianut seperti jujur(tidak korupsi) dan tidak menipu, berniat mengentaskan kemiskinan, untuk menolong sesama dan sejenisnya.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, berarti kegiatan ekonomi dan sosial penuh dengan keadilan seperti tidak ada yang kebal hukum (dalam ekonomi,contoh: anti kartel dan monopoli), adab dijunjung tinggi degan tidak ada saling tindas. 

Persatuan Indonesia, dalam hal ini seluruh Masyarakat-Swasta-Peneliti-Pemerintah bersatu dalam menyusun perekonomian Indonesia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera, dalam hal perencanaan maupun pengaplikasian dalam kegiatan keseharian. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dalam hal ini Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan pemimpin masyarakat semestinya selalu Bijaksana dalam mengambil keputusan ataupun menerapkan kebijakan, dalam hal ini selalu mengutamakan kepentingan nasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun