Mohon tunggu...
Pendidikan

Teknologi Semakin Maju, Hoaks Merajalela?

5 Desember 2018   23:26 Diperbarui: 5 Desember 2018   23:47 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan teknologi berkembang pesat. Daerah-daerah terpencil yang dulu tak terjangkau teknologi, kini telah dapat merasakan mudahnya berbagi informasi dengan teknologi. Jika dulu berbagi pesan hanya melalui surat, kini hanya dengan satu aplikasi dapat bertukar kabar dengan sangat cepat

Teknologi yang kian maju mempermudah segalanya. Teknologi mempermudah sistem ekonomi, pemerintahan, transportasi, dan pendidikan. Salah satu manfaat teknologi digunakan pada bidang pendidikan. Hal ini selayaknya pidato yang disampaikan Mendikbud dalam rangka menyambut Hari Guru Nasional adalah memanfaatkan teknologi bagi pemajuan pendidikan nasional. Selain pendidikan, teknologi juga sangat mempermudah dan mempercepat penyampaian informasi. Teknologi informasi pemanfaatannya secara umum, yakni terbukanya peluang bisnis baru secara alami, terciptanya suatu lapangan kerja baru, dan terciptanya peningkatan suatu pelayanan informasi dari jarak  jauh dalam hal bidang kesehatan.

Teknologi  jaringan komunikasi berlaku baik antar individu maupun kepada khalayak. Teknologi mengubah segala keperluan menjadi serba "instan". Sebagaimana yang dikatakan oleh Wiliams dan Sawyer (2003) teknologi informasi adalah teknologi yang menggabungkan komputer dengan jalur komunikasi yang berkecepatan tinggi yang dapat membawa data, suara, dan video. Hal ini membuka peluang generasi milenial mendapatkan semua informasi hanya dengan satu barang saja: smartphone. Dengan kemunculan smartphone, media membuat website online yang memuat artikel. Hal tersebut membuat penyebaran berita menjadi kian cepat dalam hitungan detik.

Terlepas dari semua manfaat dan dampak positif yang diberikan teknologi di atas, teknologi juga membawa pengaruh buruk. Dengan kemajuan teknologi informasi, membuka platform media sosial. Generasi milenial dalam kegiatan sehari-hari tidak terlepas dari media sosial. Dalam bermedia sosial, semua 'orang' menjadi media. Setiap orang dapat mengunggah informasi pada akunnya. Hal tersebut  menyebabkan pengaruh buruk pada teknologi, yakni kurangnya kevalidasian informasi yang tersebar melalui media sosial. Informasi dapat saja disalahgunakan oleh sejumlah pihak untuk melakukan kegiatan yang merugikan, seperti penipuan, cyber bullying, hingga penyebaran hoaks.

Sebetulnya apa arti dari hoaks itu sendiri? 'Hoaks' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah berita bohong. Dalam Oxford English Dictionary, 'hoax' adalah kebohongan dengan tujuan jahat. Muhammad Alwi Dahlan seorang Ahli Komunikasi menjelaskan hoaks merupakan manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.

Dalam bermedia sosial, hoaks mudah sekali menyebar. Dalam hitungan detik, informasi yang salah tersebut dapat dibaca oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Hoaks terbagi menjadi beberapa jenis. Yang pertama, hoaks yang dibuat secara sengaja dan benar-benar menyesatkan. Dalam hal ini, si pembuat hoaks mempunyai tujuan menipu dan memiliki maksud tertentu. Kemudian, terdapat pula hoaks yang berupa judul yang heboh tetapi tidak selaras dengan isi berita. Banyak artikel berita yang diberi judul provokatif dan heboh agar menarik minat baca terutama pada media online. Tidak sedikit dari pengguna media sosial yang hanya membaca judul berita tanpa membaca isi berita. Lalu, terdapat hoaks yang berupa berita benar tetapi konteks yang menyesatkan. Terdapat berita lama yang kembali dipublikasikan kemudian berita tersebut beredar di sosial media. Hal ini dapat membuat kesan bahwa berita ini baru saja terjadi dan bisa menyesatkan jika pembaca tidak membaca kembali tanggalnya.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh DailySocial.id bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, terdapat tiga aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan sebagai media penyebar hoaks, yaitu Facebook 82,25%, WhatsApp 56,55%, dan Instagram 29,48%.  Riset ini juga menghasilkan bahwa 44,19% responden mengaku tidak yakin mempunyai kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks. Sebesar 51,03%, memilih berdiam diri (dan tidak percaya) ketika menemui konten hoaks. Dalam riset ini mencatat terdapat 77% responden yang membaca seluruh informasi secara utuh tetapi hanya 55% yang selalu melakukan verifikasi atas keakuratan informasi yang dibaca.

Menurut Komarudin, Duta Anti Hoaks, hoaks merupakan hal yang berbahaya dan dapat merugikan masyarakat. Hoaks merupakan pembunuhan karakter yang berbeda dengan kritik. Hoaks juga berbahaya karena memanipulasi, kecurangan dan dapat menjatuhkan orang lain. Hoaks merupakan tindakan kriminal di wilayah cyber. Kemudian menurutnya, hoaks hadir dari sikap mental yang mengesampingkan integritas, terutama hoaks yang muncul mengatasnamakan agama.

Dampak dari hoaks dapat membuat masyarakat menjadi mudah curiga dan bahkan membenci kelompok tertentu. Kemudian hoaks dapat menyusahkan atau menyakiti secara fisik orang yang tidak bersalah karena berita yang dimunculkan itu bohong. Hoaks juga dapat memberikan informasi yang salah kepada pembuat kebijaksanaan sehingga keputusan yang diambil dapat merugikan.

Lalu bagaimana caranya menghindari percaya terhadap berita hoaks? Menurut Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoaks Septiaji Eko Nugroho terdapat langkah-langkah yang dapat diambil. Yang pertama ialah masyarakat harus berhati-hati terhadap judul yang provokatif. Berita hoaks seringkali menggunakan judul yang provokatif atau sensasional. Biasanya isi berita diambil dari situs laman resmi tetapi judulnya diubah menggunakan kata-kata yang biasanya menuding pihak tertentu.

Kemudian, masyarakat harus mencermati alamat situs. Jika berita dimuat tidak pada situs laman resmi, biasanya domain blog, maka bisa saja berita tersebut mengandung hoaks. Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 yang mengaku sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs laman resmi tak sampai 300. Hal ini berarti ribuan situs dapat saja mengunggah berita hoaks.

Lalu, masyarakat perlu memeriksa fakta tersebut apakah benar atau tidak. Perhatikan sumber yang tercantum. Jika hanya bersumber dari pengamat, atau tokoh politik sebaiknya jangan cepat percaya. Pertimbangkan pula keberimbangan berita. Jika hanya berasal dari satu sumber, maka gambaran yang didapat tidaklah utuh. Hal yang perlu diamati ialah perbedaan berita yang dibuat antara fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti sedangkan opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan bersifat subjektif.

Masyarakat juga perlu memeriksa keaslian foto. Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.     

Masyarakat juga dapat mengikuti grup diskusi anti-hoax. Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.

Teknologi akan terus berkembang dan hal tersebut tidak bisa dihindari. Dengan teknologi yang berkembang dengan sangat cepat, hoax dengan mudahnya muncul dan mencakup masyarakat yang luas. Masyarakat perlu menjadi pengguna media sosial yang bijak sehingga dapat membantu mengurangi penyebaran hoaks yang merajalela dengan tidak membaca artikel hoaks.

Referensi:

Hikmawan, Iwan. (2017, September 15). Sketsatorial: Apa Itu Hoax dan Bagaimana Cara Kita Menyikapinya?. Rappler.com. Retrieved from https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/181912-sketsatorial-apa-itu-hoax

Yunita. (2017, January 9). Bahaya Hoax Bisa Berujung Pada Pembunuhan Karakter. Kominfo.go.id. Retrieved from https://kominfo.go.id/content/detail/8716/bahaya-hoax-bisa-berujung-pada-pembunuhan-karakter/0/sorotan-media

Yunita. (2017, January 19). Ini Cara Mengatasi Berita "Hoax" di Dunia Maya. Kominfo.go.id. Retrieved from https://kominfo.go.id/content/detail/8949/ini-cara-mengatasi-berita-hoax-di-dunia-maya/0/sorotan_media

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun