Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Durhaka dari Jember

1 April 2013   18:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:53 1800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa hari ini saya tidak menulis di Kompasiana dikarenakan kesibukan yang cukup melelahkan. Sore ini disela menonton berita di Televisi ingatan saya kembali ke berita Selasa lalu di SCTV tentang berita seorang anak memperkarakan ibu kandungnya yang sudah renta dan si ibu terancam penjara 7 tahun penjara. Saat itu mata saya sempat berkaca-kaca dan sangat marah dengan ulah si anak tersebut.

Sore ini kembali saya mencari-cari berita tersebut.  Bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Di lama sebuah media online saya menemukan berita tersebut dan membacanya tuntas hingga ke komentar-komentar di bawah artikel tersebut. Saya menangis. Mengapa begitu tega? Penulis sendiri merasa betapa pedihnya ketika sudah tidak punya orangtua lagi. Ayah pergi ketika penulis berumur 7 tahun, sedang ibu meninggalkan penulis Agustus lalu. Entah kemana lagi akan menjemput kasih sayang yang indahnya tiada terbilang. Entah kemana lagi untuk sejenak merasakan belai dan peluk cium kasih sayang seorang ibu. Ah....Ini Ibu masih ada malah dibeginikan.

Adalah Artija (70) tahun bersama anak tertuanya Ismail serta cucunya Syafi’i dilaporkan anak keduanya Manisah ke polisi atas penebangan pohon diatas tanah yang menurut Manisah miliknya yang dibelinya ke tetangga Rp 5 juta pada tahun 2002.  Pohon tersebut direncanakan Artija untuk memperbaiki rumahnya. Atas laporan tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU)  Pengadilan Jember, Jawa timur mendakwa  Artija dengan Pasal 363 ayat (1) junto Pasal 367 ayat (2) KUHP, dan bila dinyatakan bersalah, Artija bisa mendekam di dalam penjara hingga 7 tahun lamanya. Upaya damai yang disarankan majelis hakim dijelaskan hakim tidak akan mengesampingkan perkara ini karena kasusnya pidana. Jika nanti dalam persidangan Artija yang sudah sepuh tersebut terbukti tidak bersalah, kami akan memvonis bebas. Tetapi jika terbukti bersalah, ada unsur yang meringankan yaitu perdamaian.

Proses hukum perkara ini seharusnya tidak perlu terjadi bila mereka yang masih satu keluarga ini menyelesaikannya secara damai. Artija sendiri sangat terpukul atas laporan anak keduanya Manisah tersebut. Artija mengaku bahwa dialah yang menyuruh anak tertuanya Ismail dan cucunya Syafi'i menebang empat pohon tersebut untuk keperluan memperbaiki rumah. Artijapun yakin keempat pohon itu berada ditanahnya, dan dialah yang menanamnya bersama ayah anak-anaknya tersebut beberapa tahun yang lalu.  Artijapun memberi kesaksian bahwa anak pertama Ismail dan keduanya Manisah memang sudah lama berselisih mengenai warisan, padahal dia sendiri sebagai ibu kandung mereka belumlah meninggal. Kuasa hukum Artija; Abdul Haris Afianto  juga meminta majelis hakim untuk mensurvey dulu lokasi keempat pohon tersebut sebelum memberikan putusan.

Dalam sidang Artija dalam derai airmatanya hanya berharap kedua anaknya bisa hidup rukun, diapun juga ingin hidup damai dimasa tuanya. Mareh lah, tanah pakarangan la ebagi duwek. Engkok terro damai, sang anak kappi jek sampek atokaran. (Sudah, tanah itu dibagi dua saja. Saya ingin damai dan anak saya jangan bertengkar),” kata Artija dalam bahasa dan logat Madura yang kental di hadapan majelis hakim.

Seandainya nanti putusan Hakim menjatuhkan hukuman penjara kepada Artija yang sudah tua renta tersebut, maka si anak yang bernama Manisah  yang bersikukuh tidak akan mencabut laporannya tentu akan menjadi anak durhaka. Dosa yang akan ditanggungnya tentu sangat besar. Sedang berkata "Ah" saja kepada sosok ibu sudah diganjar dosa, apalagi dengan memenjarakan si ibu dibalik teruji besi yang pengap dan bau diusia tuanya. Ah, dimanakah hatimu wahai Manisah?!

Mengapa hanya kecemburuanmu kepada saudara Ismail yang kemungkinan besar akan mendapatkan rumah tinggal ketika kamu kecil dahulu bersama ayah ibumu itu harus membuatmu gelap mata seperti itu. Manisah, istigfarlah! Upayakan jalan damai untuk ibumu. Ibu  yang sudah mengandung dan melahirkanmu bersusah payah. Membesarkanmu hingga berumah tangga dengan penuh penderitaan. Oh, manisah....Istigfarlah! Tidak ingatkah kau pesan Rasululullah bahwa kepada siapakah kita mengabdi sesudah Allah sWT adalah ibumu! ibumu! ibumu! Tiga kali Rasulullah mengatakan itu baru setelah itu Ayahmu! Akankah engkau tetap berpaling!

Pembaca, Mari kita sama berdoa semoga dibukakan hati Manisah ini. Aamiin.....

sumber. disini

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun