Puisi memang hanyalah sekumpulan diksi. Tapi kau tahu, yang awalnya membenci kini terikat dalam ikatan suci. Ya, sesederhana itu puisi.
Chairil anwar, Widji dan juga Sapardi, mungkin kita tak memiliki kesempatan melihat mereka beratraksi. Tapi dengan puisi, mereka hidup lebih lama di penanggalan masehi. Menjadikan mereka kami cintai. Membuat nama mereka abadi di hati dan ingatan kami. Ya, sesederhana itu puisi.
Kita hidup di sebuah negeri dimana kekerasan menjadi tontonan sehari-hari. Korupsi menjadi gaya hidup yang diperlihatkan televisi. Kau tahu, Bunda Theresa mengatakan, mereka hanya perlu dikasihi. Dan kita hanya butuh menyuapinya dengan puisi.
Hanya puisi. Mungkin bagi kalian tidak cukup membawa arti. Tapi kau tahu, puisi melatihku banyak bertasbih. Melembutkan hatiku yang besi. Menemaniku bermain dengan matahari. Mentadabburi bulan gemintang malam hari. Mengajariku kata-kata hikmah bijak bestari. Berharap kelak, aku bisa hidup meniti jalan Nabi.
Puisi benarkah hanya untuk orang-orang yang sepi ?. Memang mereka banyak mendampingi orang-orang yang menanti. Menghibur mereka yang sedang sedih. Menemani mereka yang sendiri. Tapi tahukah kau, puisi selalu bertindak seperti sufi. Menerangi jalan mereka yang perih. Hingga mengerti hakikinya kalimat Tuhan di Kitab Suci.
Tapi kini tahukah kau nasib puisi ?.Di zaman ini, mereka terlihat semakin ringkih. Merintih tak mendapat peduli. Tergilas oleh nyanyi-nyanyi yang tak memiliki arti kecuali, untuk nafas sebuah industri. Tapi ngerinya, mereka masih menamakan itu adalah seni. Puisi kini tak lagi menjadi opsi. Oleh generasi yang tak tahu lagi cara berkomunikasi dan tak merasa perlu bersosialisasi. Mereka membatasi diri hanya pada layar lima senti. Lalu tertawa menikmati, seolah mereka telah terkenal layaknya selebriti. Duh, inilah generasi yang dihujat oleh puisi.
Puisi mungkin kebanyakan hidup di ruang fiksi. Tapi tahukah kau, inspirasi selalu lahir dari tempat ini. Menjembatani ide dan realiti. Menjadi energi bagi para penakluk mimpi. Menjadi penguat iman bagi mereka yang mempercayai. Bahwa fiksi lebih kuat dari senjata api.
Hanya puisi. Kumpulan perasaan yang disari. Digali dari kejauhan nalar yang tak bertepi. Diketinggian logika yang tak bisa dibatasi. Lalu diformulasi, pada sebuah bentuk yang membumi, padat berisi, dan juga bisa menari. Membuat makna lebih indah dan berarti. Dibalik kata-kata yang pedih mengkritisi, romantis mempengaruhi, dan tajam mengajari. Selalu kita temukan sudut-sudut bernuansa pelangi. Yah, sesederhana itu puisi.
Lalu bisakah kau mengerti bahwa puisi tak sekedar hanya kumpulan diksi ?
Selamat Beribadah Puisi.
Selamat Hari Puisi.
-----------------------
Toyama, 26/7/2013