Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berlindung di Balik Puisi

12 Februari 2019   07:27 Diperbarui: 12 Februari 2019   08:02 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi memanglah ruang paling aman untuk mengumbar kebencian dan sumpah serapah, juga makian. Hanya bermodalkan bahasa simbolik, rangkai kata nan Indah, caci maki pun terkemas dengan indah.

Tapi sejatinya, puisi adalah ruang sakral tempat melantunkan berbagai imaji, penuh metapora dengan multitafsir, yang tidak mudah difahami. Puisi ditulis penuh Rasa dan pertimbangan akal, agar bisa dirasakan tanpa perlu memaknai.

Memang tidak bisa dipungkiri, lewat puisilah sesuatu bisa disampaikan tanpa menyakiti. Lewat puisilah kata-kata disampaikan untuk menggugah perasaan. Lewat puisi pula pemberontakan bisa disuarakan secara lebih beradab, maka lewat puisi juga para penyair menyuarakan kemarahannya.

Memang beda puisi dan caci maki hanyalah setipis kulit Ari. Ketajaman puisi bisa lebih tajam dari pedang. Puisi bisa melukai tanpa berdarah. Puisi bisa menghujam tanpa rasa perih. Tapi lewat puisilah kita disadarkan, bahwa penyair itu memang ada.

Seorang Jalaludin Rumi bisa membuat orang begitu dekat dengan Tuhan, seperti juga Rabiah Al Adawiyah, yang mampu meluluhkan kesombongan dengan mengenalkan kita kepada keberadaan Tuhan, menjadi serasa dekat Tuhan dengan meniadakan diri.

Lewat puisilah seorang Chairil Anwar menggelorakan semangat juang dan rasa cinta. Begitu WS Rendra, lewat puisilah dia meluapkan kemarahannya terhadap ketidakadilan penguasa, bahkan karena Puisinya dia harus dipenjara.

Puisi itu seperti pisau, bisa disalahgunakan, ditangan pelaknat, maka puisi isinya penuh laknat. Ditangan politisi, isi puisi lain lagi, bisa ditulis sesuka hati, bahkan digunakan untuk mencaci maki lawan politiknya. Ditangan para Ulama, menjadi lantunan penuh doa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun