Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Harusnya Menang Piro, Bukan Menang Sopo

16 Oktober 2019   15:26 Diperbarui: 16 Oktober 2019   19:42 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duh, saya tergoda juga berkomentar soal Timnas Indonesia. Setelah Selasa Malam (15/10/2019), nonton dengan geregetan. Melihat para pemain timnas dipecundangi Vietnam (1-3) di Stadion I Wayan Dipta Gianyar, Bali.  

Empat kali kelalahan beruntun. Setelah sebelumnya dikalahkan dari Malaysia (2-3), Thailand (0-3), dan UEA (0-5). Harapan melihat ada perubahan radikal dalam bermain ternyata gak terbukti. Kini, Timnas Indonesia terpuruk di dasar klasmen Kualifikasi Piala Dunia 2022.

Prestasi terburuk sepanjang sejarah perjalanan Timnas Indonesia. Yang membuat kekecewaan mendalam semua pendukung tim Garuda. Tak terkecuali saya.

Komentar pertama saya, semua lawan yang dihadapi Timnas Indonesia levelnya tak kelewat jauh. Bisa dibilang hampir sama. Artinya, Timnas Indonesia pernah mengalahkan mereka di ajang kompetisi level Asia Tenggara maupun Asia. Oke..?!!

Kedua, Timnas Indonesia kini bermaterikan pemain kelas A. Beberapa di antaranya bermain di luar negeri. Sebut saja Saddil Ramdani. Sekarang bermain di Liga Super Malaysia, memperkuat klub Pahang FA. Yanto Basna yang bergabung di Klub Sukhotai dan melakoni kompetisi di Liga Thailand. Ditambah deretan pemain naturalisasi yang punya kualitas baik, seperi Alberto Goncalves (Beto), Otavio Dutra, Stefano Lilipaly, dan Irfan Bachdim. Jangan lupa juga, timnas juga diperkuat dua gelandang jebolan Persebaya yang pernah merumput di Malaysia, Andik Vermansyah dan Evan Dimas.

Ketiga, pelatih timnas Simon McMenemy sudah lama berada melatih klub di Indonesia, Bhayangkara FC. Keberhasilan Simon McMenemy membawa Bhayangkara FC menjadi juara Liga 1 musim 2017 merupakan pencapaian yang luar biasa . Sepantasnya, Simon paham karakter permainan dan pemain yang dipilihnya. Bila dibandingkan Luis Milla yang juga pernah menukangi Timnas Indonesia. Lalu, kenapa di bawah asuhan Luis Milla, Timnas Indonesia dianggap memiliki pola dan strategi bermain yang leboh clear? (detailnya sudah banyak diulas pengamat-pengamat bola, hehe.he..)

Keempat, menilik sejarah, Timnas Indonesia sejatinya bisa lolos ke Piala Dunia. Pada Kualifikasi Piala Dunia 1958 Zona Asia. Hanya faktor politis, lantaran tak bersedia meladeni Israel, Indonesia memilih mundur. Pun saat Kualifikasi Piala Dunia 1986 di Meksiko. Timnas yang dilatih Sinyo Aliandoe sudah masuk empat besar negara yang melangkah menuju putaran final. Namun sayangnya, timnas kalah dari Korsel, (0-2) dan (1-4). Kala itu, Asia hanya mendapat dua tiket ke Piala Dunia 1986. Bukan seperti sekarang, jatah tiket Asia 4 atau 5 + 1. Di mana, 4 tiket lolos langsung dan bertambah menjadi 5 bila memenangkan play-off antarkonfederasi.    

Kelima, dukungan suporter fanatik Timnas Garuda. Meski kuantitasnya tak sebesar pertandingan awal melawan Malaysia, namun suporter masih tetap membanjiri stadion setiap Timnas bermain. Bisa dibilang, suporter Timnas Indonesia merupakan yang terbesar dan paling berisik di Asia. Bukan hanya di level senior, gemuruh dukungan juga terlihat atraktif ketika Timnas U-16, Timnas U-19, dan Timnas U-22 bertanding.

***

Saya banyak berteman dengan mantan pemain Timnas Indonesia. Sebelum menjadi jurnalis, saya pernah membantu official Putra Samarinda, klub sepak bola asal Kalimantan Timur milik Harbiansyah Hanafiah. Putra Samarinda (kalau gak salah) kemudian "dilebur" menjadi Bali United.

Putra Samarinda pernah dilatih Bambang Nurdiansyah, mantan pemain timnas Pra Piala Dunia 1989. Di klub tersebut juga ada nama-nama pemain langganan Timnas, seperti Peri Sandria, Hendri Susilo, Rehmalem Parangin-angin, Yusuf Mardani, dan beberapa namain lainnya.

Ketika aktif menjadi jurnalis, saya sempat ikut dua kali Pekana Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) cabang sepak bola. Yakni, Porwanas di Pekanbaru (2005) dan Porwanas di Samarinda (2007). Di sana, sejumlah mantan pemain timnas juga ikut dalam tim official. Di antaranya ada Muhammad Zein Alhadad, Mustaqim, Yusuf Ekodono, dan I Made Pasek Wijaya.

Saya acap kali kerap memanfaatkan berdiskusi dengan mereka. Tak terkecuali kenangan mereka membela timnas maupun klub. Ada satu pesan yang saya ingat, bermain di kandang adalah segalanya. Haram hukumnnya kalah. Apalagi kalah telak. Sehingga, kala itu, suporter yang gak sempat menyaksikan pertandingan selalu bertanya, "Menang piro, duduk menang sopo" (Menang berapa, bukan menang siapa, red).

Saya menulis artikel ini sambil ngopi di warkop. Bareng beberapa bonek, julukan suporter Persebaya. Ketika saya tanya soal pertandingan Timnas Indonesia, ucapan pertama yang terlontar adalah misuh-misuh (sumpah serapah).  

Saya tentu sedih. Karena yang saya tahu, sepak bola adalah kebanggaan mereka. Mendukung klub bisa saja suporter berseteru. Namun, ketika mendukung Timnas Indonesia, mereka bisa bersatu. Bisa berhimpun dalam lingkaran yang saya. Menyanyikan lagu yang sama. Sayang, harapan itu musnah akibat buruknya prestasi Timnas Indonesia sekarang. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun