Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejengkel Apapun, Jangan Sampai Mengumpat pada Anak!

11 September 2019   06:45 Diperbarui: 11 September 2019   16:57 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Getty Images

"Dasaar, Beg*. Buruan nyebrang, mumpung lagi macet!!" suara ibu, setengah teriak mehanan emosi.

Pagi, di perjalanan pulang setelah mengantar anak ke sekolah. Selepas pertigaan yang lumayan padat, saya mendengar kalimat tidak enak di kuping.

Seorang ibu menggendong anak kecil (2 th-an), kemudian satu anak lainnya (sekira kelas 2 SD) berjalan di sampingnya. Melihat situasi ini, saya menyimpulkan bahwa ibu ini hendak mengantar si kakak ke sekolah, sekalian membawa serta adiknya yang masih kecil.

Pagi bertepatan jam berangkat sekolah dan berangkat kantor, seperti biasa terjadi peningkatan jumlah kendaraan. Beberapa titik simpul jalan stuck, terutama pertigaan atau perempatan tempat pertemuan aneka kendaraan.

Menilik intonasi si ibu, saya menangkap kesan, ibu ini sedang menahan emosi, karena anak yang besar ragu-ragu untuk menyeberang jalan. Ibu yang sudah dua tiga langkah lebih dulu, sementara anak yang besar tak juga bergerak mengikuti.

Nada gemas itu jelas mengemuka, berucap dengan bibir terbuka tetapi menahan rahang atas dan rahang bawah beradu dengan kuat --silakan dipraktekkan, hehehe.

Jujur, sebagai seorang ayah saya prihatin, masa anak sendiri diumpat seperti itu. Sungguh, bukan kalimat yang tepat apalagi ditujukan kepada buah hati. Terbayang, bagaimana wajah polos itu, menanggapi ulah sang ibu.

-----

Seorang anak sedang bermain tanah, sementara sang ibu sibuk menyediakan jamuan untuk tamu sang ayah yang hendak datang. Belum jenak si ibu beristirahat, capek melekat di badan belum juga lenyap, tiba-tiba dikejutkan situasi menjengkelkan.

Sebelum tamu dinanti tiba, putra kesayangan mendadak masuk ke ruang makan, kemudian dari dua tangan mungil itu menyebarkan tanah yang ada digenggaman. "Pergi kamu! Biar kamu jadi imam di Haramain," ujar si ibu menahan emosi bergolak. (Note, Haramain adalah kata lain untuk penyebutan dua kota suci Mekkah dan Madinah)

Anak kecil yang beruntung dan teristimewa itu, adalah Abdurrahman bin Abdul Aziz as Sudais an Nadji, lahir di Arab Saudi tahun 1961. Setelah dewasa, beliau menjadi imam besar Masjidil Haram di Kota Mekkah.

Ucapan ibu yang sedang kesal dan menahan emosi kala itu, rupanya menjelma doa mustajab dan di kemudian hari dijawab oleh semesta. Sang ibu pasti bukan sembarang ibu, kemampuan mengelola emosi patut diteladani semua orangtua.

Masjidil Haram di Mekkah-dokpri
Masjidil Haram di Mekkah-dokpri
Kompasianers, Menjadi orangtua memang penuh tantangan. Ada saja keadaan yang memancing emosi dan meletupkan kemarahan, salah satunya berasal dari anak kita. Tidak peduli masa lalu atau masa sekarang, namanya marah ya sama saja beban perasaan yang ditanggung.

Seperti dua kisah di atas, dua orang ibu dan dua orang anak di ruang dan waktu yang berbeda, tetapi (bisa jadi) berada dalam dua situasi perasaan yang sama. Si anak dengan tingkah lugu dan kepolosannya, si ibu berada pada situasi genting dan dipancing amarahnya.

Yang membuat berbeda, adalah bagaimana masing-masing ibu mengelola rasa marahnya itu. Yang satu melampiaskan dengan kalimat "Dasar Beg*", sementara satu ibu (tetap ada nada marah) melampiaskan dengan kalimat "Biar kamu jadi imam di Haramain."

Semarah Apapun Jangan Mengumpat pada Anak

Sekarang saya ingin bertanya, orangtua mana pengin punya anak yang nakal. Setiap ayah dan atau ibu pasti ingin, punya anak soleh, sehat, cerdas, berperilaku sopan dan penurut. Tidak suka membantah kalau dinasehati, cepat sadar dan mau merubah sikap ketika mendapati dirinya salah.

Masalahnya, hidup tidak seideal yang diharapkan, banyak kejadian atau peristiwa yang terjadi, justru diluar kontrol dan jauh dari kemauan diri sendiri. Contohnya seperti kisah di atas, anak dengan tingkahnya yang membuat jengkel, kesal, marah dan memancing emosi.

Ilustrasi-dokpri
Ilustrasi-dokpri
Tugas orangtua tidak ada selesainya, kita musti belajar dan terus belajar membenahi diri agar menjadi lebih arif dan bijaksana. Bukankah anak baik, lahir dan tumbuh dari ayah dan ibu yang baik. Pengaruh orang tua relatif besar, terutama pada masa tumbuh kembang anak anak.

Terutama Ibu. -- Saya ingat kisah seorang sahabat nabi, yang bertanya tentang siapa orang yang harus dihormati, maka Baginda Nabi menjawab ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu. Ya, kedudukan ibu adalah tiga kali lebih utama, baru kemudian menyusul ayah.

Rasanya tidak berlebihan, apabila saya menyimpulkan, bahwa apa yang keluar dari mulut ibu untuk anaknya, bisa berubah menjelma menjadi doa. Apalagi, kalau kalimat diucapkan sang ibu dari lubuk hati paling dalam, sangat mungkin menjadi doa mustajab.

Semarah apapun kepada anak, tahan sekuat tenaga, jangan sampai sembarangan mengucapkan kalimat umpatan. Jangan sampai, kita orangtua menyesal di kemudian hari atas kemarahan pernah diucapkan.

Pada satu waktu, ketika mendapati anak yang membangkang perintah, anak protes dan berontak, perlu kita orangtua marah. Karena marah adalah hal yang wajar dan manusiawi, tetapi ingat pilih kalimat yang tepat dan marah seperlunya saja dan jangan sampai keluar umpatan.

 -- semoga bermanfaat-

illustrasi-dokpri
illustrasi-dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun