Pernah suatu ketika,  usia saya  masih dua puluh tahunan lebih sedikit, saya menghentikan tukang ketoprak yang lewat depan tongkrongan. Tepatnya di depan sebuah hotel di kampung asal saya. Tempat saya biasa nongkrong. Waktu itu selepas Isya. Saya pesan satu piring. Cacing di dalam perut menggeliat-geliat sudah tak sabar.
Tak lama berselang datang pembeli lain. Â Usianya, saya kira, Â tak terpaut jauh . Badannya lebih besar . Dengan kulit agak hitam.
Tukang ketoprak pun kemudian membuat ketopraknya. Saya melihat dari jarak sekitar delapan meter-an. Karena tempat duduk buat nongkrong dengan posisi gerobak tukang ketoprak itu agak jauh. Saya menunggu di tempat nongkrong .
Beberapa menit berlalu. Saya perhatikan tukang ketoprak sudah membuka kaleng krupuk. Dan itu bagi saya adalah sebuah pertanda. Â Pertanda ketoprak yang dibikin sudah mau selesai. Saya pun segera menghampiri. Baru pada langkah kelima, piring ketoprak yang baru selesai dibikin itu, oleh tukang ketoprak diserahkan ke: orang yang baru datang tadi.
Darah muda adalah darahnya para remaja. Darah muda, konon, maunya menang sendiri. Begitu kata Bung Haji Rhoma Irama. Dan Darah yang bergolak. Darah yang berapi-api.
Entah karena pengaruh darah muda, entah itu bawaan perut lapar. Saya lebih curiga pada pengaruh yang belakangan disebut. Tanpa ba bi bu lagi, sambil meloncat, saya melayangkan pukulan tepat pada rahang kiri ke: pembeli ketoprak yang baru datang tadi! Â Kontan saja orang itu terjengkang. Ketoprak yang baru saja dipegangnya ikut terpental juga. Orang itu dengan muka ketakutan melangkah pergi dengan tergesa. Meninggalkan saya dan tukang ketoprak.
"Mang, saya yang duluan mesan, kenapa orang itu yang dikasih duluan?" protes saya pada tukang ketoprak.
"Ooh. Maaf. Maaf. Ya, mamang hilap. Soalnya dia kan dekat lagian dia tadi bilang buru-buru katanya. Lagi ditungguin saudaranya," tukang ketoprak itu meminta maaf sambil ketakutan juga.
"Lagian itu si mamang kenapa engga langsung dua piring ketopraknya?' tanya saya masih dengan nada protes.
"Nguleg-nya susah, A., Ini mamang mau bikin lagi,"
Tukang ketoprak kemudian membuat lagi ketopraknya buat saya.
Itu cerita dulu. Cerita waktu saya masih bandel-bandelnya. Dari pengalaman itu, saya bisa ikut meng-amin-kan apa yang orang pernah katakan bahwa: perut tidak bisa menunggu. Ya, perut tidak bisa menunggu. Jangan main-main dengan urusan perut. Buktinya saya bisa melakukan hal seperti itu. Atau itu karena kebandelan saya. Entahlah. Yang pasti seperti itu kejadiannya.
Banyak kejahatan-kejahatan yang terjadi akibat persoalan perut. Bahkan revolusi-revolusi dunia pun banyak yang dipicu oleh persoalan perut. Persoalan dimana kaum tertindas yang kelaparan kemudian menuntut haknya untuk mendapatkan makan.
Pada tulisan saya yang berjudul: Jenjang kebutuhan hal ini pernah saya bahas juga. Jadi, orang tak akan berpikir hal-hal  lain sebelum perutnya terisi. Dan orang akan bisa berbuat apa saja demi mengisi kantong perutnya.
Jangan main-main dengan urusan perut. Karena perut tidak bisa menunggu. Kita bisa buka-buka lagi lembar sejarah dunia, banyak raja-raja yang jatuh, pemerintah berganti akibat: perut rakyat tidak bisa menunggu. Dan bukankah kita tahu juga bahwa penghisapan manusia atas manusia lainnya juga berasal dari urusan perut? Yang satu: perutnya di laparkan. Dan yang lain: perutnya dikenyangkan.
Salam Dari Benteng Betawi