Mohon tunggu...
Achmad Ridwan Sholeh
Achmad Ridwan Sholeh Mohon Tunggu... Akuntan - Pegawai

Ayah dari Achmad Ibrahim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saling Curiga di Tengah Wabah, "Kamu Corona, Ya?"

26 Maret 2020   11:10 Diperbarui: 27 Maret 2020   14:53 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang dicek suhu tubuh menggunakan senjata termometer saat memasuki supermarket di Shanghai, China. (AFP via KOMPAS.com)

Ya ampun sungguh wabah Corona ini membuat kita su'udzon (berburuk sangka) terhadap siapa saja. 

Ada orang bersin sedikit. Akal kita langsung men-judge "Corona pasti nih". Langsung buru-buru cari masker.

Ada orang badannya meriang. "Kena Corona nih, mati gue kalau deket-deket". Kabur jauh-jauh.

Orang ngajak salaman. "wah bisa Corona nih". langsung salaman jarak jauh mode bertapa.

Makan mie ayam di pinggir jalan, tangan abang yang jualan dipelototin, "Corona nih, pasti Corona". Karena terlanjur bayar, akhirnya dimakan juga tuh mie ayam sampe habis. Dasar kelakuan "kaum rebahan".


Mungkin kalau ada orang yang kena kadas, kurap, kutu air dikira tertular Corona juga. Kemudian dilaporkan ke pihak berwenang dan statusnya meningkat sebagai ODP (Orang Dalam Pemantauan). Yaa Tuhan, Ampuni hambamu bukan maksud kami berpikiran seperti ini. Itu hanya bisikan Iblis yang terkutuk.

Pikiran-pikiran parno (paranoid) semacam ini timbul dengan sendirinya ditengah hantaman pemberitaan Corona yang masif. Seakan-akan otak kita didoktrin melalui media massa bahwa hanya kita saja yang sehat lainnya kena Corona. 

Hal ini sangat maklum di tengah wabah yang tidak kelihatan gejala-gejalanya. Ada pula kasus Corona di mana secara tiba-tiba korban meninggal di atas motor. Ada yang sehat-sehat saja, sehari setelahnya meninggal di dalam kamar.

Bila gejalanya tampak seperti zombie layaknya film Resident Evil yang terkena dampak "T Virus" tentu kita-kita tidak akan saling curiga antara satu dengan yang lain. Solusi terbaik dari penanganan wabah T Virus di film Resident Evil adalah ambil kampak daripada suudzon. 

Mungkin Korea Utara mengambil referensi dari film Resident Evil untuk menangani wabah virus Corona. Selain hemat anggaran juga mempersingkat waktu penanganan. Mantul sekali kan, "Tembak aja semua Lord Kim, biar cepet beres".

Kembali kepersoalan saling curiga, ini merupakan hal wajar di lingkungan kita saat ini. Tapi hendaknya sifat saling curiga perlu diminimalisasi dan tak perlu dilebih-lebihkan.

Memiliki pikiran positif sangat diperlukan agar tidak berlaku paranoid. Pikiran positif akan mendukung tubuh untuk memberikan daya tahan yang lebih baik. 

Selain sifat curigaan, masyarakat kita itu latah. latah pada apa saja yang menurut mereka lagi viral di media.

"Pah tetangga sudah beli masker 5 box, kita beli juga ya persiapan," curhatan seorang istri.

Akhirnya suami beli masker tidak kalah banyak dari si tetangga. Habislah masker di peredaran, dan terdongkraklah harga yang membuat geleng-geleng kepala.

"Daripada beli masker Rp. 300.000 mending buat bayar BPJS buat 1 KK," kata si Udin warga kelas III dalam hieraki keraton BPJS.

"Pah, besok temenin mama belanja kebutuhan rumah satu tahun. Persiapan kalau lockdown nih."

Akhirnya banyak orang-orang mampu, menimbun kebutuhan pokok. Rakyat kelas UMR (Upah Minimal Regional) hanya bisa gigit jari. Persediaan bahan pangan sulit, dan tentu ujung-ujungnya harga terkerek bak bendera Merah Putih. Tambah susahlah si Budi kecil berjualan di Tugu Pancoran.

Sifat semacam ini bukanlah budaya bangsa yang perlu dipupuk dan dipelihara. Baik saling curiga maupun latah ataupun panik, tidak dapat menyelesaikan wabah. Bukannya memberikan solusi malah saling menghabisi dalam diam.

Si miskin tambah sulit di tengah wabah dan si kaya menikmati penghidupan dari slogan, "kamu di rumah aja, biar kami yang bla bla bla".

Pemerintah juga melarang kegiatan menimbun barang-barang yang dibutuhkan di tengah wabah. Langkah-langkah penindakan telah dilakukan, tapi apa daya itu semua terlambat. Barang terlanjur lenyap di pasar lokal dan hanya ada di dunia maya.

Konon barang semacam masker diekspor ke negeri China di saat awal wabah. Keuntungan yang besar, membuat eksportir dadakan beralih komoditas. Menjadi berlipat-lipatlah kekayaan kaum oportunis kapitalis di tengah wabah. 

Si miskin mendapat perintah WFH (Work From Home), bingunglah mereka. "Masak ngojol dari rumah," ucap pak Ojol.\

Diburu kredit yang tak kenal wabah, Pak Ojol membulatkan tekad untuk keluar rumah. Ajal urusan Tuhan, dapur urusan ikhtiar, begitulah keadaan kaum proletar.

Di lain sisi pemerintah sudah mengimbau dengan memberikan beberapa instruksi untuk pencegahan. Masyarakat hanya perlu mengikuti imbauan-imbauan yang telah diperintahkan agar dapat terhindar dari Covid-19. 

Dalam sisi ekonomi yang sulit ketika WFH, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan pro-rakyat. Stimulus ini diharapkan dapat segera diaplikasikan agar tidak memberatkan masyarakat lapis bawah di tengah berkurangnya pendapatan.

Diperlukan kerja sama yang baik dari pemerintah dan masyarakat untuk melewati masa-masa saat ini. Bukan saling curiga apalagi mengambil keuntungan pribadi, sebaliknya saling bergotong-royong demi menciptakan kondisi yang kondusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun