Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Perang Kerajaan-kerajaan di Nusantara

8 Oktober 2019   04:10 Diperbarui: 8 Oktober 2019   04:39 3015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bukalapak.com 

Di masa pemerintahan Mpu Manuku (versi pertama: 838-855 atau versi kedua: 840-856), terjadilah kudeta yang dilakukan Rakai Walaing Mpu Kombhayoni. Akan tetapi, pemberontakan Mpu Kombhayoni tersebut berhasil dipadamkan oleh putra bungsu Mpu Manuku yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Karena prestasinya itu, Dyah Lokapala dinobatkan sebagai raja Medang (856-880).

Dinobatkannya Dyah Lokapala sebagai raja Medang kiranya membuat cemburu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Karenanya Dyah Saladu yang mendapat dukungan Rakai Limus Dyah Dewendra melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Lokapala. Akibatnya Dyah Lokapala turun dari tahta.

Menangggapi pemberontakan Dyah Saladu, Rakai Watuhumalang Mpu Teguh (putra Mpu Manuku dan selir Mpu Tamer) yang menjadi raja Medang pada tahun 896-899 mengutus Rakai Watukura Dyah Balitung menantunya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Berkat ketangguhan Dyah Balitung, pemberontakan yang dilakukan Dyah Saladu dapat dipadamkan. Dyah Balitung pun kemudian menjadi raja Medang dengan ibukota di Poh Pitu sesudah pemerintahan Mpu Teguh.

Ketika menjadi raja Medang pada tahun 899-910, Dyah Balitung mendapat serangan dari Rakai Hino Mpu Daksa yang mendapatkan dukungan Dyah Saladu. Akibat dari kudeta itu, Dyah Balitung turun tahta. Pasca pemerintahan Dyah Balitung, Mpu Daksa naik tahta (910-919). Pasca pemerintahan Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong yang merupakan putra menantunya naik tahta (919-924).

Baru memerintah lima tahun, kekuasaan Dyah Tulodong mendapat serangan Rakai Sumba Dyah Wawa yang mendapat dukungan Mpu Sindok. Akibat pemberontakan Dyah Wawa tersebut, Dyah Tulodong turun tahta. Di masa pemerintahan Dyah Wawa (924-928) inilah, terjadilah bencana yakni meletusnya Gunung Merapi pada tahun 928. Sejak itu runtuhlah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah.

Pasca runtuhnya Kerajaan Medang periode yang disebabkan bukan karena perang tersebut, Mpu Sindok mendirikan Kerajaan Medang di wilayah Jawa Timur tepatnya di Tamwlang (928) dan berakhir di Watugaluh (929). Sejak pemerintahan Mpu Sindok, Sri Isyanatunggawijaya, Sri Isyanatunggawijaya; Medang periode Jawa Timur tidak mengalami pergolakan. Baru semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh, Medang mengalami kehancuran sesudah mendapatkan serangan Haji Wurawari yang mendapatkan dukungan pasukan Sriwijaya. Peristiwa hancurnya Medang ini dikenal dengan Mahapralaya yang terjadi pada tahun 1007 (versi pertama) atau 1016 (versi kedua).

Sejarah Kerajaan Medang telah berakhir. Tidak lama kemudian, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kekuasaan Airlangga (1009-1042). Sebelum turun tahta untuk menjadi seorang pertapa, Airlangga ingin mewariskan tahta Kahuripan pada Sanggramawijaya Tunggadewi. Karena putra mahkotanya tersebut tidak bersedia menjadi raja, Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi dua bagian yakni Janggala untuk diwariskan pada Mapanji Garaskan dan Kahuripan diwariskan pada Sri Samarawijaya.

Sejak mendapatkan warisan bumi Janggala, Mapanji Garasakan menjadi raja dengan pusat pemerintahan di Kahuripan. Sementara Sri Samarawijaya menjadi raja di Kadiri dengan pusat pemerintahan di Dhaha. Berbeda dengan Kadiri, Janggala mengalami keruntuhannya karena serangan Kadiri yang terus menerus. Sementara Kadiri mengalami keruntuhannya karena serangan Ken Arok dari Singhasari yang mendapatkan dukungan para pendeta Hindu dan Buddha yang tidak mau takluk pada Sri Kertajaya. Raja Kadiri yang memerintah pada tahun 1182-1222.

Sesudah berhasil menaklukkan Sri Kertajaya, Ken Arok menobatkan diri sebagai raja di Singhasari (Tumapel) yang semula dikuasai oleh Akuwu Tunggul Ametung. 

Menurut Serat Pararaton, keberlangsungan Singhasari diwarnai dengan intrik-intrik politik di lingkup keluarga istana sendiri. Ken Arok tewas dibunuh Bathara Anusapati (putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes). 

Anusapati dibunuh Apanji Tohjaja (putra Ken Arok dan Ken Umang). Apanji Tohjaya dibunuh Ranggawuni (putra Mahisa Wongateleng). Pasca pemerintahan Ranggawuni, Singhasari dipimpin oleh putranya yakni Kertanagara. Di masa pemerintahan Kertanagara inilah, Singhasari mengalami kehancurannya sesudah mendapat serangan Jayakatwang (bupati Gelanggelang). Di dalam melakukan serangan tersebut, Jayakatwang mendapat dukungan Arya Wiraraja, Patih Kebo Mundarang, Ardharaja, dan pasukan Jarang Guyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun