Mohon tunggu...
Abyandra Zya
Abyandra Zya Mohon Tunggu... -

scientist, tapi juga menekuni segala hal tentang sepakbola modern. twitter: @abytabligh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Strategi Politik Pelihara Konflik ala Anies-Sandi

21 Oktober 2017   17:59 Diperbarui: 21 Oktober 2017   18:34 2792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari yang lalu, Jakarta secara resmi memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang baru. Pasangan yang terpilih melalui sebuah Pilkada yang menyajikan sederet drama di balik penyelenggaraannya. Mungkin tercatat sebagai Pilkada "terpanas" sepanjang sejarah demokrasi di negeri ini.

Mungkin bagi sebagian besar orang, dengan resmi diangkatnya Bapak Anies Baswedan dan Bapak Sandiaga Uno menjadi pasangan pemimpin Jakarta yang baru, menandakan semua perjuangan maupun drama yang terjadi sudah berakhir. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi pasangan terpilih, Bapak Anies-Sandi. Bagi mereka, ini justru titik awal perjuangan politik mereka.

Mengapa demikian? kita harus lihat kembali ke masa Pilkada yang baru saja berlalu. Harus diakui, di awal masa menjelang Pilkada, pasangan Bapak Anies-Sandi hanya seperti penggembira, bila kita melihat fakta tentang tingginya tingkat elektabilitas pasangan Bapak Ahok-Djarot dan juga tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pasangan tersebut.

Bila dilihat dari sisi dukungan politik, pasangan Bapak Anies-Sandi juga bisa disebut hanya pasangan "kurcaci" bila dibandingkan dengan dukungan politik "raksasa" milik pasangan Bapak Ahok-Djarot. Pasangan Bapak Anies-Sandi hanya didukung oleh 2 Partai dengan total kursi di DPRD DKI sebanyak 22 kursi. Sangat jauh  berbeda dengan dukungan politik yang dimiliki oleh pasangan Bapak Ahok-Djarot yang didukung oleh 4 Partai dengan total kursi di DPRD DKI sebanyak 52 kursi.

Bila ditinjau dari rekam jejak, pasangan Bapak Anies-Sandi juga sangat tidak diuntungkan, karena persepsi di masyarakat yang terbangun bahwa Bapak Anies Baswedan adalah seorang menteri gagal, yang baru saja "dipecat".

Kemenangan yang didapatkan pasangan ini "hanya" seperti "hadiah" dari Bapak Ahok karena peristiwa penistaan agama yang tiba-tiba muncul di tengah kontestasi menuju kursi DKI 1. Peristiwa penistaan agama tersebut membelah peta politik Pilkada saat itu menjadi hanya 2 kubu, yaitu kubu pemilih Bapak Ahok dan kubu pemilih "yang penting bukan Bapak Ahok". Seolah mendapatkan durian runtuh, si pasangan "penggembira" dengan dukungan politik "kurcaci" ini mendapat limpahan suara kubu "yang penting bukan Bapak Ahok". Harus disadari dan diakui bahwa mayoritas pemilih yang berhasil membawa kemenangan pada pasangan ini bukanlah pemilih yang memilih karena Bapak Anies Baswedan-nya, atau Bapak Sandiaga Uno-nya, atau bukan pula karena partai pendukungnya, serta bukan pula karena program kerjanya. Meskipun sudah menang, secara politik, pasangan ini masih sangat lemah.

Pertanyaannya, lalu bagaimana cara pasangan ini bisa bertahan hingga masa baktinya selesai dan bisa terpilih kembali di Pilkada selanjutnya?. Dengan segala bentuk drama dan kejadian yang terjadi pada masa Pilkada kemarin, tentu saja mustahil bagi pasangan ini bisa membelokan suara kubu pendukung Bapak Ahok untuk berubah menjadi mendukung mereka. Yang paling rasional mereka lakukan adalah mempertahankan suara dukungan dari kubu "yang penting bukan Bapak Ahok", dan mengkonversinya menjadi kubu pendukung Bapak Anies-Sandi. Karena bila hal tersebut tidak dilakukan, maka pasangan ini akan mengakhiri mimpinya dan kembali menjadi hanya pasangan "penggembira" dengan dukungan politik "kurcaci". Contohnya, misalkan saja di Pilkada mendatang Ibu Risma masuk ke dalam kontestasi dengan didukung oleh para partai pendukung pasangan Bapak Ahok-Djarot, maka habislah nasib pasangan Bapak Anies-Sandi.

Pasangan ini tentunya sudah sangat menyadari hal tersebut, sehingga dengan sangat sigap strategi pun dijalankan di detik pertama mereka resmi menjadi Pemimpin DKI. Pidato pertama sebagai seorang Gubernur tentu saja bukan sesuatu yang bisa disampaikan secara spontan. Semua yang disampaikan pastinya sudah melalui perancangan yang matang, dan bisa dipastikan kalimat yang menggunakan istilah "pribumi" bukanlah sebuah kecelakaan. Itu merupakan bagian dari sebuah strategi politik bagi pasangan ini untuk kembali mempertegas posisi mereka sebagai "pahlawan" dan harapan bagi kubu "yang penting bukan Bapak Ahok". Memang sudah direncanakan bahwa pidato tersebut akan menyulut kembali konflik antara kubu kubu pendukung Bapak Ahok dan kubu "yang penting bukan Bapak Ahok". Pastinya pasangan ini juga sudah memiliki berbagai strategi lanjutan untuk mengelak dari dan berkelit bila ada yang memepermasalahkan isi pidato tersebut. Karena memang isi pidato tersebut sudah dirancang sedemikian rupa agak bisa hit and run. Bagi pasangan ini, memelihara konflik yang memecah DKI menjadi dua kubu pendukung Bapak Ahok dan kubu "yang penting bukan Bapak Ahok" adalah sebuah kebutuhan dan keharusan. Dengan tetap terpelihaanya konflik antara kedua kubu tersebut, maka pasangan ini hanya tinggal melakukan langkah-langkah strategis lain untuk mengkonversi kubu "yang penting bukan Bapak Ahok" menjadi kubu pendukung Bapak Anies-Sandi.

Kita ikuti saja bagaimana kelanjutan drama yang akan terjadi di DKI, ke mana arahnya? tidak ada yang tahu, namun yang pasti drama itu akan terasa "panas" dan seru. Apapun itu, semoga masyarakat DKI dan tentunya masyarakat Indonesia bisa tetap mendapatkan yang terbaik. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun