Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Antara Kita, Sebenarnya Siapa yang Pelit?

15 November 2018   07:48 Diperbarui: 16 November 2018   13:12 2350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita semua sepakat bahwa pelit adalah salah satu sifat yang tidak disukai banyak orang. Bahkan orang pelit sendiri pun, ibarat maling, kebanyakan tidak sudi mengakui bahwa dirinya pelit. Ngomong-ngomong soal pelit, di antara kita, sebenarnya yang pelit siapa?

Mungkin kita sudah sering mendengar bahwa orang pelit banyak didominasi oleh orang kaya. Jika pelit disinonimkan dengan hemat atau irit, maka memang betul sahih lah peribahasa 'Hemat pangkal kaya' itu. 

Sederet orang kaya terkenal seperti mendiang Hetty Green, Gerry Harvey, dan Warren Buffett, sudah diketahui luas sifat pelitnya. Bahkan, calon wakil presiden kita, Bang Sandiaga Uno, kabarnya juga tergolong orang yang pelit--mungkin itu sebabnya beliau sering ribut soal harga makanan, mulai dari tempe setipis ATM, sampai makan nasi di Jakarta lebih mahal dibanding di Singapura.

Di Sumatera, ada stereotipe yang mengatakan bahwa orang Padang--lebih spesifik mengarah kepada Suku Minang--itu pelit. Stereotipe tersebut membentang dari Aceh sampai Lampung--dan malah mungkin juga sampai Papua dan mancanegara. 

Pevita Pearce saja pun ikut terpapar stereotipe ini. Masih ingat, kan, ketika tahun lalu aktris cantik yang agak mirip Maria Ozawa itu dicerca habis-habisan gara-gara berguyon ngatain orang Padang pelit?

Saking meluasnya stigma tersebut, orang-orang akan langsung maklum ketika mendapat perlakuan pelit dari orang-orang Padang. "Namanya juga orang Padang. Cem nggak tahu aja," begitu kalimat sinis yang sering diucapkan orang-orang di daerah tempat saya tinggal, di Medan, semisal ketika membeli nasi di warung Padang, yang porsinya tidak bisa ditambah kecuali jika rupiahnya juga kita tambah. 

Sebagai penekanan rasa dongkol atas sifat pelit tersebut, ada istilah 'Padang bedangkik', atau, yang lebih nyelekit lagi, 'Padang bodangkik'.

Di samping Padang, orang-orang Mandailing (Batak Mandailing) juga menjadi sasaran stereotipe pelit di Sumatera. 'Yah, Mendeleng pula nya! Polit!" celetuk orang-orang setiap kali kesal karena kepelitan orang-orang bermarga Lubis, Nasution, Siregar, Hasibuan, Harahap, dan lainnya.

Untuk menghindari serangan stereotipe itu, sebagian kawan saya yang orang Mandailing, terpaksa menyembunyikan marga mereka. 

Berbeda dari orang-orang Batak Toba yang sangat bangga dengan marganya--sampai-sampai kerap menyingkat nama depan dan memanjangkan hanya marga mereka, misalnya D.L Sitorus, O.S Pangaribuan, W.S Sinaga, dsb.--kawan-kawan saya yang orang Mandailing justru malu-malu menuliskan marga mereka.

Contohnya dulu ada kawan kuliah saya, namanya Ratna Soraya. Di KTP, SIM, dan beberapa kartu identitasnya yang lain, tidak ada tercantum borunya (sebutan marga untuk perempuan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun