Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Perlu Diketahui Nasabah Kartu Kredit

2 April 2011   17:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:11 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_99735" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

"Cermatlah memakai kartu kredit. Belanja barang-barang sekunder demi gaya hidup bukanlah cara yang tepat kalau menggunakan kartu kredit. Jangan pernah tergiur dengan iming-iming "Cicilan 0% atau "Lebih murah dengan kartu kredit daripada bayar tunai". Pihak bank tak pernah rugi, mereka tetap meraup untung dari program-program semacam itu."

Tewasnya Irzen Octa (56) di tangan debt collector rekanan Citibank membuat citra bank menjadi tercoreng di mata nasabah. Meski ketiga pelaku sudah dijadikan tersangka namun itu tak cukup memperbaiki citra bank yang sudah terlanjur tercoreng. Apalagi terbunuhnya nasabah kartu kredit itu terjadi di ruang negosiasi bank yang bersangkutan. Awalnya niat Irzen datang ke kantor bank asing itu untuk menyelesaikan hutang kartu kreditnya. Tindakan Irzen sudah benar karena dia berniat menyelesaikan hutangnya, langsung berhadapan dengan pihak bank. Namun apa mau dikata, niat baik Irzen itu justru membawa maut baginya. Peristiwa terbunuhnya Irzen tersebut pun membuat nasabah kartu kredit lain ketar ketir. Terutama nasabah-nasabah yang memiliki masalah dengan kartu kreditnya. Mereka tentu khawatir andai diminta mendatangi kantor bank penerbit kartu kredit untuk menyelesaikan hutang kartu kreditnya akan mengalami nasib yang sama seperti Irzen. Hal ini tentu menjadi preseden yang buruk bagi pihak bank. Namun sesungguhnya tak semua berakhir seperti itu. Ini saya alami sendiri sebagai nasabah kartu kredit yang cukup punya masalah. Kebetulan saya punya beberapa kartu kredit yang semuanya bermasalah alias macet. Para debt collector sudah hilir mudik bertamu ke kantor dan rumah saya. Mulai dari yang berwajah Ambon, berwajah Batak, hingga berwajah Jawa yang ramah tamah. Mereka tak datang sendiri, kadang mereka berdua, bahkan pernah bertiga dan berempat. Waktu itu betapa takutnya saya pada mereka. Bentuk-bentuk intimidasi sudah tentu ada tapi tak sampai kelewat batas. Namun lambat laun entah karena terlalu sering para debt collector itu mengunjungi saya, rasa takut dan cemas itu pun sirna. Apalagi beberapa teman saya pernah berkata, "Jangan khawatir dengan para debt collector, mereka bakal tak membunuh". Akhirnya, saya pun bisa melakukan negosiasi pada para debt collector. Beberapa di antara kartu kredit itu sudah beres dan dinyatakan lunas dengan sistem pembayaran yang cukup ringan. Namun beberapa kartu kredit lainnya masih belum ada kata sepakat. Saya pun pernah mendatangi kantor penerbit kartu kredit yag bersangkutan, diantaranya GE Finance dan Citibank. Syukurnya, saya tak mendapat masalah seperti yang dialami oleh Bapak Irzen. Saat mendatangi kantor pusat GE Finance di Gedung BRI Sudirman Jakarta, saya disambut dengan ramah oleh bagian debt collection bank tersebut. Kami berbincang dengan penuh kehangatan, dan saya pun mengutarakan kesulitan keuangan yang saya alami hingga menyebabkan macetnya pembayaran kartu kredit saya tersebut. Setelah mendengar itu, bagian debt collection memberi saya surat permohonan keringanan. Saya pun diharuskan membayar setengah dari total tagihan saya tanpa bunga. Demikian pula saat mendatangi kantor Citibank yang di Pondok Indah. Saya pun tak menemukan banyak masalah. Saya diterima dengan ramah oleh bagian collection. Pertemuan dilakukan dalam ruang khusus. Saya pun diberi keringanan pembayaran oleh pihak Citibank dengan cicilan. Meski akhirnya cicilan keringanan ini tetap bermasalah, saya masih bisa nego dengan pihak bank melalui telepon. Satu kartu beres dengan pembayaran yang sangat ringan, sedang satu kartu lagi masih dalam tahap cicilan ringan. Saat membaca berita tentang tewasnya Irzen di tangan debt collector buat saya kaget juga, kok bisa sampai separah itu. Tentu ini kesalahan oknum debt collector yang tak mematuhi rambu yang telah ditetapkan oleh pihak bank. Sialnya, pihak bank pun harus ikut bertanggung jawab karena kematian Irzen terjadi dalam kantor bank bersangkutan. Berdasarkan pengalaman yang pernah saya alami, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan pada nasabah kartu kredit, terutama bagi mereka yang sudah masuk kategori macet. Pertama, yang namanya tagihan kartu kredit tetaplah hutang yang harus Anda bayarkan, dan itu wajib dibayar. Anda tak bisa lari dari hutang. Saya pun sempat lari dari hutang, namun itu bukan jalan yang terbaik. Bukan saja kondite Anda yang jadi jelek, nama Anda pun masuk blacklist Bank Indonesia. Kalau sudah di-blacklist jangan harap Anda bisa dapat pinjaman dari bank lagi, tak bisa kredit rumah, apalagi kredit kendaraan bermotor. Yang lebih tak enak lagi kalau sudah diteror lewat telepon, lewat debt collector, surat, dan sebagainya. Saya pun pernah mengalami hal demikian. Bayangkan, dalam sehari saya bisa dapat puluhan telepon dari berbagai bank. Meski tak sampai dibunuh tapi buat malu teman sekantor, tetangga, keluarga, dan tak bisa tidur nyenyak. Soalnya, para debt collector itu juga datang malam hari. Kedua, yakinlah, hutang kartu kredit itu secara hukum masih masuk ranah hukum perdata, jadi Anda tak perlu khawatir dijebloskan ke penjara cuma gara-gara tak mampu bayar atau gagal bayar tagihan kartu kredit Anda, kecuali kalau Anda memang niat tak bayar dan melarikan diri, bisa-bisa Anda dipidana. Wong konglomerat yang ngemplang kredit bank sampai ratusan milyar bisa dapat keringanan, masak Anda tak bisa. Bank juga tak akan sembarangan menggugat Anda ke pengadilan gara-gara hutang kartu kredit Anda yang tak sampai sepuluh juta. Bukan apa-apa, kalau sudah masuk urusan pengadilan atau hukum, pihak bank akan lebih banyak lagi mengeluarkan uang, buat bayar pengacara, waktu, tenaga, dan sebagainya. Bahkan untuk mendapatkan kepastian hukum yang tetap, bank harus menunggu sampai tujuh tahun. Itu pun bank belum tentu menang. Pengadilan biasanya lebih berpihak pada nasabah, yang penting Anda masih punya niat untuk bayar. Ketiga, kalau Anda masih khawatir digugat bank, atau tak mampu menghadapi teror debt collector, sewalah pengacara yang terdaftar. Pengacara-pengacara ini banyak mengiklankan diri di surat kabar. Biarkan mereka yang menghadapi para debt collector itu, karena secara hukum segala urusan yang menyangkut tagihan kartu kredit termasuk negosiasi dengan pihak bank sudah Anda serahkan pada pengacara sebagai kuasa hukum Anda. Biasanya mereka dibayar sekitar 10% dari total tagihan kartu. Syukur-syukur kalau pengacara itu teman Anda jadi bisa bayar gratis. Paling tidak, secara perdata Anda sudah benar dan berada di jalur hukum. Jadi, pihak bank dan debt collector tak bisa sewenang-wenang terhadap Anda. Biasanya lagi, pihak bank dan debt collector akan sebel pada Anda karena mereka harus berhadapan dengan kuasa hukum Anda, bukan pada Anda lagi. Dan ini makin merepotkan mereka. Akhirnya, Anda pun akan dibujuk untuk melakukan negosiasi sendiri. Kalau sudah begini, Andalah yang memegang kartu truf. Tapi tak selamanya cara ini ampuh, namun secara hukum Anda sudah terlindungi dan terhindar dari kesewenang-wenangan. Keempat, cermatlah memakai kartu kredit. Belanja barang-barang sekunder demi gaya hidup bukanlah cara yang tepat kalau menggunakan kartu kredit. Jangan pernah tergiur dengan iming-iming "Cicilan 0% atau "Lebih murah dengan kartu kredit daripada bayar tunai". Pihak bank tak pernah rugi, mereka tetap meraup untung dari program-program semacam itu. Niatkanlah diri Anda untuk menabung kalau ingin beli sesuatu. Anda harus bayangkan andai suatu saat karena sesuatu hal Anda tak mampu bayar cicilan kartu lagi. Punya kartu kredit penuh risiko kalau tak digunakan secara bijak. Dan terakhir, saran saya pada Anda sekalian, lebih aman tak punya kartu kredit sama sekali. Hidup lebih tenang dan damai. Sungguh tak enak punya hutang apalagi kalau tak mampu bayar. Semua itu sudah saya alami dan itu sebagai pembelajaran buat hidup. Piiis. Sumber gambar: www.abc.net.au

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun