Mohon tunggu...
Mohammad Aniq
Mohammad Aniq Mohon Tunggu... -

Esais: Pegiat Budaya dan Linguistik tinggal di PATI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teriak "Demi Tuhan"

18 Mei 2013   11:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:23 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah dua pekan ini video parodi unggahan ala Arya Wiguna heboh diperbincangkan. Bahkan, slogannya “Demi Tuhan” kini banyak menjadi ringback tone bagi para pengguna ponsel. Sikap kekesalan dan kejenuhan tampak sekali dalam perseteruannya dengan Eyang Subur, sehingga teriakan Demi Tuhan pun menggaung.

Terlepas dari perseteruan Arya Wiguna dengan Eyang Subur, frase Demi Tuhan menarik untuk dicermati. Ternyata begitu mudah seseorang mengucapkan kata yang dianggap sakral itu. Kesakralan yang dimaksud adalah melekatkan kata Tuhan dan kata Demi itu sendiri sebagai upaya meyakinkan orang lain.

Konstituensi kata ‘Demi’ dengan kata ‘Tuhan’ adalah bentuk sighat qasam yang bermakna sumpah. Seperti dalam bahasa arab yang menempatkan huruf qasam, yaitu wa, bi, atau ta diikuti kata Allah, sehingga berarti sumpah mengatasnamakan Tuhan.

Namun, dengan hadirnya Tuhan dalam aspek posisi itu, tentu menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Apakah dominasi makna Tuhan masih tetap kuat seperti kuasa makna biasanya atau jangan-jangan makna Tuhan sudah tidak lagi kuat karena potensi kebohongan pengguna yang tinggi pula.

Bisa dipastikan sumpah selalu diekspresikan dalam bentuk Demi Tuhan. Sebagaimana dikatakan dalam KBBI bahwa kata sumpah bermakna ikrar yang disampaikan dengan sungguh-sungguh; pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi atas nama Tuhan. Sangat tidak mungkin jika sumpah itu melibatkan iblis, setan atau sejenisnya.

Dalam hal ini, kita seringkali mendengar ekspresi Demi Tuhan itu dalam acara pelantikan sumpah jabatan atau dalam kasus jurisprudensi di pengadilan, seperti kasus-kasus hukum yang terjadi sekarang ini. Misalnya, bagaimana tersangka tindak pidana korupsi secara cerdik memaparkan di pengadilan yang tidak lepas dari sumpah untuk memastikan sebuah kebenaran yang haq kepada hakim. Dengan dalih apapun jika diperkuat dengan sumpah seakan kuat dan cukup dipercaya.

Apalagi frase “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan di pengadilan oleh ‘Wakil Tuhan’. Seolah mendapatkan mandat langsung dari Tuhan yang berarti apa yang diputuskan oleh hakim adalah representasi putusan Tuhan juga.

Kepastian makna yang disampaikan oleh penutur memang belum tentu dapat dijumpai secara jelas. Masing-masing pendengar atau mitra tutur setidaknya memastikan diri dengan apa yang didengar dari penutur.

Ada dua diskursus yang dapat ditelaah dalam wilayah teologis semacam itu. Pertama, bahwa kata ‘Tuhan’ secara eksplisit memiliki unsur teologis yang harus dikupas secara jelas. Dalam hal ini pemaknaannya memang memakan waktu berpikir secara mendalam. Artinya, memaknai posisi Tuhan yang diyakini setiap orang pun sebenarnya berbeda-beda. Tidak sedikit orang yang mengklaim bahwa Tuhan yang diyakininya adalah Tuhan yang paling benar.

Teolog islam, Kautsar Azhari Noer, dalam artikelnya yang berjudul “Tuhan yang diciptakan dan Tuhan sebenarnya” (1998) membahas tentang sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolute itu. Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan. Jika Tuhan tidak dapat dimaknai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya.

Substansi yang menarik dari artikel tersebut adalah bagaimana orang memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya adalah Tuhan yang sebenarnya, sementara Tuhan yang dipercayai oleh orang lain adalah salah. Dengan kata lain, jika seseorang mengungkapkan, membicarakan Tuhan tanpa mengenal Tuhan itu sendiri, sama halnya dia melontarkan kebohongan.

Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Ibnu al-‘Arabi yang menyebut Tuhan yang dipercayai manusia “Tuhan kepercayaan” (ilah al-mu’taqod), “Tuhan yang dipercayai” (al-ilah al-mu’taqod), “Tuhan dalam kepercayaan” (al-ilah fi al-I’tiqod).

Karen Amstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan” (2001) mengungkapkan bahwa Tuhan adalah produk imajinasi manusia yang kuat. Kalau demikian, bisa jadi keyakinan terhadap Tuhan menurut orang awam dan orang akademik adalah bentuk dan hasil keyakinan ke-awaman-nya dan ke-akademikan-nya. Sehingga posisi Tuhan yang digembar-gemborkan akan jauh berbeda dengan apa yang dibatinkan.

Kedua, kata Tuhan seolah terjadi degradasi nilai kesakralannya. Dengan adanya realita yang selalu mengatasnamakan Tuhan, cukup memahamkan kita bagaimana Tuhan tidak lagi tersakralkan. Kita sering menjumpai tayangan sinetron di televisi yang hampir semua mencantumkan sejenis kata Tuhan. Misalnya, alhamdulillah, astaghfirullahal’adhim, subhanallah, yang kadangkala kefasihan bacaannya patut dipertanyakan. Hal itu tentu saja mengundang para pemirsa lebih menilik pada ke-religious-an sinetron itu.

Padahal, sebenarnya kejelian pemirsa terhadap tayangan tersebut dapat menimbulkan variasi interpretasi juga. Apa yang dianggap orang agamis belum tentu menurut orang lain agamis walaupun melekatkan Tuhan dalam pembicaraannya. Dengan kata lain, boleh jadi menurut sebagian orang lafal-lafal tersebut memiliki makna ‘primordial vertikal’ antara manusia dengan Tuhan. Namun, sebagian lain mengartikan desakan horizontal sebagai sebuah ‘umpatan’ karena dominasi ma’nawiyah-nya lari dari wujud kalimatnya.

Inilah yang saya sebut dengan degradasi kesakralan. Bahwa sejenak memperhatikan kata Tuhan yang begitu sakralnya, bisa menjadi tidak sakral dalam implementasinya. Pada akhirnya, perlu disayangkan jika kata Tuhan tidak lagi menarik untuk diucapkan. Akan tetapi, sebagai mediasi teologis kita perlu hati-hati mengucapkan kata Tuhan dalam membidik sesuatu. Tuhan tidak perlu diteriakkan dan tidak harus dilekatkan untuk meyakinkan dan menganggap sesuatu sehingga tampak nilai keagamannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun