Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Rokok Mahal, Para Pecandu Tak Kehilangan Akal

22 Agustus 2016   22:04 Diperbarui: 22 Agustus 2016   22:07 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rokok mahal, bagi para pecandu mungkin ini solusinya (sumber; tokopedia)

Sebelum memulai tulisan ini, terlebih dahulu penulis ingin memberikan apresiasi positif kepada pemerintah yang konon kabarnya tengah berencana manaikkan harga rokok hingga berlipat-lipat. Memang belum jelas berapa kenaikannya, tapi bocoran yang beredar menyebutkan harga rokok nantinya akan dipatok mulai 35-50 ribu rupiah per bungkus. 

Kita berharap dengan kenaikan harga rokok yang fantastis akan membawa beberapa berkah manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara lain 1). Pemerintah mendapatkan tambahan pemasukan yang besar dari sektor pajak/cukai, 2). Petani tembakau tambah sejahtera, dan 3). Jumlah perokok terutama dari kalangan anak-anak/remaja akan turun drastis karena mahalnya harga rokok.

Pertama, dengan naiknya harga rokok yang selangit, maka secara otomatis pemasukan negara dari sektor pajak akan bertambah, karena kenaikan harga rokok dipicu oleh naiknya pajak yang diambil melalui cukai tembakau yang disematkan pada rokok-rokok pabrikan. Kedua, selain pajak yang “naik”, pemerintah juga harus ikut memikirkan sekaligus “menaikkan” harga tembakau sehingga para petani tembakau akan bertambah sejahtera, karena pendapatan mereka bertambah dengan harga tembakau yang ikut naik pula.

Ketiga, jujur, meskipun penulis juga termasuk “ahli hisap”, terus-terang sangat risih dan sedih kalau melihat anak-anak berseragam biru/putih (SMP/MTs) dan abu-abu/putih (SMA/MA/SMK) “petantang-petenteng”, berangkat, pulang bahkan di jam-jam istirahat di lingkungan sekolah dari mulutnya mengepul asap rokok, sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Mudah-mudahan dengan naiknya harga rokok, bisa mengurangi jumlah perokok di negeri kita, khususnya para remaja calon generasi penerus bangsa ini bakal berhenti merokok. Munginkah?

Untuk poin ketiga ini, dengan pertanyaan “mungkinkah?”, sepertinya memang sulit untuk memberikan jawaban secara tegas, jawabannya bisa “mungkin bisa” dan “mungkin tidak”. Oleh karena itu tepat sekali artikel yang ditulis rekan Pebrianov, kalau rokok mahal, ya ganti saja produk “lunglat” (digulung lalu dijilat). Kalau di tempat penulis tinggal (Jawa Tengah), namanya “nglinting”. 

Membeli tembakau rajangan di warung atau pasar lengkap dengan bumbu-bumbunya seperti klembak, menyan, cengkih rajangan dan bumbu lain sesuai selera, bahkan ada beberapa jenis tembakau yang sudah mixed dengan aroma khas produk pabrikan. Di rumah tinggal “nglinting”, menggulungnya dengan kertas “papir”, dalam sekejap jadilah rokok “lintingan” disulut lalu dihisap dan pooohhh... asap mengepul dari mulut membubung ke angkasa.

Tradisi “nglinting” pastinya sudah ada sejak sebelum pabrik-pabrik rokok berdiri dimana-mana. “Nglinting” itulah asal muasal merokok, baru setelah rokok pabrikan booming, perlahan-lahan orang mulai beralih dari rokok “lintingan” ke rokok pabrikan yang dianggap lebih keren, lebih berkelas ketimbang rokok "lintingan". Tapi bagi pecandu rokok “lintingan”, rokok pabrik tak ada apa-apanya, hanya bagus kemasan dan wangi aromanya saja, soal rasa, rokok “lintingan” tak ada tandingannya.

Berdasarkan pengamatan sekaligus pengalaman penulis, rokok “lintingan” mulai tergeser oleh rokok pabrikan baru pada dekade tahun 1990-an. Sebelumnya, terutama di pelosok pedesaan, sebelum tahun 1990-an, rokok “lintingan” masih cukup mendominasi, bahkan saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998-an rokok “lintingan” sempat marak kembali, menjadi pilihan masyarakat karena alasan ekonomi.

Penulis sendiri dulu  memulai “belajar” merokok pada tahun 1990-an ketika usia masih belasan tahun. Rokok pertama yang dijadikan “bahan pelatihan” pun rokok “lintingan”. Pada tahun itu di kampung penulis, kebanyakan perokok masih menghisap rokok “lintingan”, hanya ada beberapa kelompok masyarakat yang menghisap rokok pabrikan, yakni kalangan menengah ke atas seperti para pegawai dan juragan. 

Kelompok masyarkat kelas menengah ke bawah seperti petani dan buruh mayoritas menghisap rokok “lintingan”, termasuk penulis kala itu. Mereka sekali waktu membeli rokok pabrikan pas ada event-event tertentu saja, misal pergi kondangan, silaturhami atau acara-acara formal lainnya, pas kembali ke rumah, acara non-formal seperti kerja bakti, mereka kembali “nglinting”.

Kalau pemerintah tidak berencana menaikkan harga rokok selangit, era “nglinting” dalam kurun waktu 20 tahun mungkin sudah akan berakhir. Mengapa demikian? Khusus di daerah penulis tinggal, para perokok “lintingan” rata-rata saat ini sudah berusia di atas 50-an tahun. Untuk generasi di bawah 50-an tahun, rata-rata sudah kurang akrab dengan rokok “lintingan” meskipun awalnya mereka adalah para “pelinting” rokok juga. Rokok pabrikan sekarang sudah menjadi pilihan utama dan rokok “lintingan” sebagai alternatif atau selingan saja ketiak dompet lagi kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun