Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mahkamah Konstitusi dan Akrobat Kata-kata

23 Juni 2019   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2019   11:35 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi | Foto: Kompas.com

Sidang sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melewati tahap pembuktian. Seluruh pihak sudah menghadirkan saksi-saksi. Rakyat Indonesia menyaksikan jalannya persidangan, lengkap dengan komedi terselubung di balik sosok para saksi.

Terkait saksi, tugas Tim Kuasa Hukum (TKH) pemohon cukup sederhana. Tidak rumit. TKH pemohon (baca: TKH Prabowo-Sandi) hanya perlu menghadirkan saksi yang menguatkan gugatan, bukan melemahkan. Dengan demikian, tugas saksi pun sederhana. Cukup bertumpu pada penguatan gugatan, dan penguatan tentu saja tidak menyertakan pelemahan.

Sebagai penonton, rakyat Indonesia sudah menyaksikan kegigihan TKH Prabowo-Sandi dalam menghadirkan saksi. Cukup banyak, tetapi dapat dimaklumi. Biar bagaimanapun, Pak BW dan kolega harus membuktikan 15 petitum gugatan. Dan, gugatan yang paling mereka harapkan untuk dikabulkan oleh Hakim MK adalah memutuskan Prabowo-Sandi selaku pemenang Pilpres 2019.

Apalagi Pak BW sudah sejak awal menyalakan lampu kuning. Pernyataan bahwa MK tidak boleh menjadi Mahkamah Kalkulator yang sekadar menyidangkan selisih suara. Selain itu, Pak BW juga menjanjikan fakta wow dan kejutan demi membuktikan gugatan.

Namun, ada dua fakta menarik sebelum sidang digelar, yakni (1) petitum gugatan yang membengkak, dan (2) alat bukti berupa tautan berita dan cuitan yang terkesan kekinian.

Fakta pertama menunjukkan gelora gairah TKH Prabowo-Sandi. Harus diakui, menyusun delik gugatan dalam rentang tiga hari bukan perkara sepele. Rumit dan ruwet. Jadi, perbaikan permohonan gugatan dapat disebut sebagai upaya keras menyorongkan gugatan dalam bentuk yang paling baik atau in optima forma. Andai tenggat lebih lama, tentu Pak BW dan kolega dapat menyodorkan gugatan yang sempurna.

Fakta kedua memperlihatkan geliat hasrat TKH Prabowo-Sandi untuk menyuguhkan alat bukti berbeda. Ini bukan kasus biasa, alat bukti pun mesti luar biasa. Mau tautan berita atau apa pun, itu lain soal. Yang penting ada usaha memenuhi corpus delicti atau bahan utama untuk pembuktian delik gugatan. Jadi, kerja keras Pak BW dan kolega setidaknya sudah ada.

Kedua fakta tersebut, ditambah maklumat akan menyajikan kejutan, jelas mengundang rasa penasaran. Setidaknya begitulah yang saya alami. Bagi saya, sidang sengketa Pilpres 2019 di MK bukanlah sekadar strategi mengulur-ulur waktu. Lebih dari itu, sidang sengketa tersebut sejatinya adalah pendidikan politik yang penting.

Hanya saja, tampak sekali kecenderungan akrobat kata sejak sebelum sidang pertama digelar. Pernyataan fakta wow dan Mahkamah Kalkulator, bagi otak dangkal saya, masih di kitaran permainan kata. Ada serangan tersirat dari sana, tetapi tidak lebih dari sekadar serangan sporadis. 

Sekalipun gejala pengerdilan MK terselubung di balik tirai "kalkulator", sejatinya dapat juga dianggap sebagai saran bagi para hakim di MK.

Ketika sidang digelar, akrobat kata kian menguat. Perang istilah lebih mencuat dibanding perang bukti. Akrobat kata-kata pertama disuguhkan oleh saksi atas nama Agus Maksum. Pengakuan "merasa diancam" melemahkan kesaksian karena "ancaman yang dipendam sendiri" ternyata terjadi jauh sebelum sidang MK digelar.

Akrobat kata-kata kedua dipertontonkan oleh saksi Idham. Ia menyatakan ada keanehan pada KK di Bogor. Tatkala dicecar soal keanehan nomor KK tersebut, Idham malah kebelet kencing. Suhu ruang sidang ternyata memicu reaksi alamiah di kandung kemih saksi.

Selanjutnya, Beti Kristiani malah menggali kubur sendiri. Alih-alih menguatkan gugatan, ia malah melemahkan. Betapa tidak, bukti yang ia perlihatkan terkait amplop KPU ternyata bukan amplop standar. Artinya, ada kemungkinan amplop palsu. Dengan demikian, Beti bisa saja dituduh memberikan kesaksian palsu. Bahkan, mempermainkan sidang. Ini mengancam dirinya sendiri.

Tri Susanti memantik akrobat kata-kata yang keempat. Ia menyebut ada pemilih siluman di sembilan TPS di sekitar kediamannya. Setelah kesaksian diperiksa dengan saksama, tingkat partisipasi pemilih di TPS tersebut hanya pada kisaran 40 hingga 60%. Tidak jelas alat bukti kesaksiannya, semisal berapa pemilih sesuai DPT dan seberapa banyak pemilih siluman.

Ternyata belum cukup. Risda Mardiana mengaku melihat ada kotak suara yang dibawa ke gereja. Ini mengejutkan. Risda membawa-bawa rumah ibadah. Sayang sekali, ia gelagapan ketika ditanyai soal siapa yang membawa kotak suara, kapan terjadi, dan di mana gerejanya. Lagi-lagi akrobat kata-kata belaka.

Masih belum cukup. Giliran saksi ahli menyanyikan kesaksian yang menggelikan. Adalah Jaswar Koto orangnya. Beliau diajukan selaku saksi ahli, yakni ahli forensik, tetapi tidak punya sertifikat keahlian. Adalah Said Didu orangnya. Beliau mendendangkan pelanggaran Kiai Ma'ruf Amin selaku pejabat BUMN, sementara beliau juga masih ASN di BUMN ketika menjadi juru sorak Prabowo-Sandi.

Masih ada yang lain, tetapi cukuplah lima akrobat itu yang saya suguhkan. Lupakan pengakuan saksi Hermansyah tentang dirinya yang masuk rumah sakit akibat dianiaya pada 2017. Lupakan saja, sebab itu tak lebih dari sekadar "Jaka Sembung main koprol".

Seluruh akrobat kata-kata tersebut justru menguatkan "dagelan sedemikian rupa sehingga tampak tidak masuk akal". Dalam istilah Latin dapat disebut sebagai ad absurdum. Jika diamsalkan menjadi semacam "menggaruk kulit orang padahal ia sendiri yang disiksa gatal".

Bukan hanya TKH Prabowo-Sandi yang mempertontonkan akrobat kata-kata. Pihak terkait, TKH Jokowi-Amin juga melakukan hal serupa. Ambil contoh saksi ahli yang keliru menyajikan kisah. Eddy Hiariej namanya. Beliau gelagapan saat mengisahkan pembanding, yaitu kisah pengadilan Ali bin Abi Thalib. Beliau lugas tatkala menyatakan MK bukan sebagai Mahkamah Koran, tetapi keseleo manakala menyajikan cerita. Terlepas dari paparan beliau yang bernas dan berkelas, bagian "kisah ini" masih akrobat juga.

Hanya saja, TKH Prabowo-Sandi mestinya yang paling wawas diri. Selaku pemohon, seyogianya tidak boleh ada kelemahan dalam kesaksian. Harus diingat, kualitas kesaksian menentukan kebenaran gugatan. Selama masih sebatas akrobat kata-kata, mencari kebenaran agak menjauh dari jangkauan.

Meski begitu, hasil akhir berada di tangan para hakim MK. Kita tinggal menunggu keputusan dan kepastian hukumnya. Bagaimanapun, MK bukanlah Mahkamah Kalkulator ataupun Mahkamah Koran. Apalagi Mahkamah Komedi. MK adalah Mahkamah Konstitusi. Itu saja!

[khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun