Berdirinya kongsi dagang pada abad ke 17 bernama VOC (verenigde oost indiece compeny) menjadi awal cengkraman monopoli perdagangan yang dilakukan oleh belanda di wilayah timur yang sekarang menjadi wilayah Indonesia, tidak memakan waktu lama dengan dimotori oleh heeren zeventien atau  17 dewan, menjadikan Belanda memegang monopoli pedagangan rempah-rempah dunia.
Lebih dari setengah abad sejak tahun 1602, Heeren zaventeen telah membawa VOC kedalam kegemilangan dengan terbentuknya kamar dagang mencapai enam kamar dagang yaitu Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen, menjadikan ekonomi Belanda melejit pesat, namun dalam perjalanannya masalah datang terutama dipicu oleh tanah jajahannya dan para pegawai disana. pada akhirnya di akhir abad ke 18 M keruntuhan menerpa perusahaan dagang besar bernama VOC pada tahun 1800 M.
Banyak faktor yang menjadikan VOC ini runtuh diantaranya adalah praktik pegawai VOC yang korup, pengiriman serdadu yang berkualitas rendah, hingga pejabat di tanah jajahan melakukan bisnis ilegal diluar sepengetahuan Heeren zeventeen, para pejabat disinyalir melakukan ketidak jujuran dalam lapora mereka. dari berbagai faktor tersebut, membuat kerugian besar di tubuh VOC ditambah dengan peperangan yang banyak dihadapi oleh VOC untuk melawan para penguasa lokal di Nusantara. Akibatnya pada 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bangkrut kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda.
1. Munculnya Kebijakan Tanam Paksa di Hindia Belanda
Runtuhnya VOC, lantas kedudukannya diambil alih oleh pemerintah Belanda untuk mengatur wilayah jajahannya yang berada di timur yang selanjutnya bernama Hindia Belanda. Meski begitu, dengan  kondisi ekonomi yang terpuruk, menjadikan hindia belanda sebagai sapi perah untuk mengisi kas negara yang kosong, dari sanalah muncul kebijakan tanam paksa yang resmi diberlakukan pada tahun 1830. kebijakan tersebut juga disebabkan karena adanya perang Jawa yang menguras keuangan Belanda sehingga meninggalkan banyak hutang, dari itu mereka perlu memutuskan kebijakan yang strategis untuk segera mengisi kekosongan kas negara dan tercetuslah sistem tanam paksa.
Sistem tanam paksa atau disebut dengan Culturstelse digagas oleh gubernur jendral Johannes Van den Bosch untuk menggantikan sistem sebelumnya yaitu sistem sewa tanah yang telah berlaku sejak Letnan Jenderal Stamford Raffles yang pada perjalanannya sistem tersebut gagal mendorong peningkatan komoditi ekspor.
Sistem tanam paksa mewajibkan daerah jajahan untuk meningkatkan produktifitas tanaman ekspor yang sebelumnya telah dilakukan dengan cara penetapan sewa tanah dimana setiap desa harus menyisihkan sebagian tanah untuk ditanami kopi, tebu, dan indigo yang kemudian hasilnya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi sistem sewa tanah tak banyak memberikan pemasukan sehingga diberlakukan kebijakan baru yang disebut sebagai culturstelse yang mewajibkan rakyat untuk membayar pajak dari hasil tanaman mereka.
Dalam Staatsblad tahun 1834 nomor 2, poin-poin pelaksanaan cultuurstelsel sebagai berikut :
1. Penduduk desa mnyediakan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor yang kemudian dijual ke Eropa.
2. Tanaman yang disediakan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah yang dimiliki oleh para petani.
3. Pekerjaan untuk menanam tanaman ekspor tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman pangan.
4. Bagian tanah yang ditanami oleh tanaman ekspor tidak dikenakan pajak.
5. Hasilnya wajib dserahkan kepada pemerintah, dan jika hasilnya melebihi nilai pajak maka kelebihan tersebut diserahkan kepada rakyat.
6. Kegagalan panen ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda
7. Pengerjaan tanah akan diawasi oleh para kepala-kepala mereka dan para pegawai Eropa.
Meskipun peraturan dalam sistem tanam paksa cukup baik akan tetapi dalam praktiknya terdapat penyelewengan yang akhirnya memberikan kesengsaraan bagi rakyat.
Sesuai peraturan, tanah-tanah milik rakyat ditanami dengan komuditi ekspor yang terbagi menjadi dua jenis yaitu  skala besar berupa kopi, tebu dan indigo, dan skala kecil berupa lada teh, tembakau, kayu manis. ironisnya rakyat bukan hanya diwajibkan menanam untuk industri, mereka juga diwajibkan untuk memanen atau memproses hasil panen untuk kemudian dikirim ke gudang-gudang pemerintah, sebagai gantinya atas tenaga merek amendapat upah yang disebut plantloon, dari upah tersebut digunakan untuk membayar pajak tanah yang mereka garap, sehingga upah yang didapat tak cukup untuk menghidupi keluarga mereka.
Pelaksanaan tanam paksa tidak berjalan sesuai peraturan yang dibuat, akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat mengeksploitasi rakyat, bagaimana tidak, petani yang seharusnya memiliki hak atas penjualan hasil panen tetapi mereka dipaksa untuk menjualnya hanya kepada pemerintah dengan harga yang sewenang-wenang, belum lagi tanah-tanah yang seharusnya tidak menjadi objek tanam paksa justru dipaksa untuk dijadikan lahan tanam paksa. para petani kehilangan mata pencahariannya, mereka bertransformasi menjadi petani penggarap atas tanah mereka sendiri. selain itu, pajak yang dikenakan kemudian bukan berupa uang, tapi berupa tenaga yang dipresentasikan dengan berbagai macam bentuk kerja wajib.Â
Mengenai pengerahan kerja wajib sebagaimana stadblad tahun 1834 nomor 22, yang pengarahannya diperuntukkan mengerjakan pekerjaan proyek pemerintah selama 66 hari dalam setahun dengan terbagi menjadi tiga katagori yakni kerja wajib umum atau heerendiensten yaitu kerja wajib di sektor umum seperti pembuatan jembatan,pembangunan gedung perkantoran, perbaikan jalan, dll. yang kedua kerja wajib pancen yaitu kerja wajib untuk menggarap pertanian milik penguasa pribumi. ke tiga kerja paksa garap penanaman atau cultuurdiensten untuk menggarap pembukaan lahan, pembuatan irigasi, kegiatan penanaman, pengangkutan hasil panen atau pekerjaan lainnya yang berkaitan dengan perkebunana milik pemerintah.
Penyelewengan terhadap sistem tanam paksa yang terjadi puluhan tahun, menjadikan kesengsaraan rakyat yang amat pedih, kelaparan terjadi dimana mana akibatnya banyak penderitaan dan kematian. penderitaan ini berakhir setelah Belanda mendapat banyak kritik dari para humanis dan partai liberal untuk menghentikan sistem tanam paksa yang berlangsung sejak tahun 1860, dan secara resmi penghentian praktik yang tidak manusiawi secara total di Jawa di syahkan pada tahun 1870 yang sekaligus menjadi kemenangan bagi kelompok liberal di Belanda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI