Mohon tunggu...
Zuvika Amoret S.A
Zuvika Amoret S.A Mohon Tunggu... Mahasiswa

Halo, salam kenal. Saya Zuvika Amoret S.A memiliki panggilan dekat yaitu Vika. salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang saat ini berada di semester 3. Saya berasal dari Banten dan saat ini saya tinggal di Bandung. Selamat membaca, ya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Webinar Pembungkaman Pers: Suara-Suara yang Mulai Lirih dalam Demokrasi

23 Juni 2025   09:36 Diperbarui: 23 Juni 2025   09:36 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Powerpoint webinar

Saya mengenali diri saya sendiri, saya tahu saya adalah Zuvika Amoret, seorang mahasiswa Sastra Inggris yang sedang mencari ilmu di sebuah universitas, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, namun saya datang sebagai moderator hari ini dengan kesadaran penuh. Tugas saya sederhana, membuka ruang, mengatur alur, menyisihkan tiap pertanyaan. Tapi sore itu pada hari Senin, saya melihat layar handphone menunjukkan tanggal 26 Mei 2025. "Bersuara di Tengah Ancaman, ya?", saya tahu ini adalah sebuah ruang diskusi, mereka menyebutnya adalah webinar lalu saya merasakan peran saya berubah. Di hadapan saya bukan sekadar para pembicara, mereka adalah saksi hidup dari ruang-ruang kebebasan yang perlahan dikebiri.

Saya membuka acara dengan pengantar yang sudah saya latih sehari sebelumnya. Kalimat-kalimat yang terstruktur: menyebutkan tema, tujuan, dan memperkenalkan para pembicara yang hadir. Saya mengetahui bahwa webinar kali ini banyak pembicara hebat. Saya terkagum saat melihat bahwa pembicara utama adalah seorang profesor, saya mengenali beliau, prof. Mahi M Hikmat. Saya melihat lagi pembicara lain, saya mengenali bahwa teman-teman saya telah menjadi orang hebat di webinar kali ini. "Syabrina Sulistyani.. Syahlafiya Anwar..", saya bergumam bahwa saya memiliki teman-teman hebat. Mereka sama seperti saya, kita menempuh di semester 6 di jurusan yang kurang lebih orang mengenal google translate berjalan. Saya mulai untuk mempersilakan para pembicara untuk menyampaikan kebenaran. Namun, segera setelah narasumber pertama mulai berbicara, saya menyadari bahwa webinar ini bukan sekadar ajang tukar gagasan. Ini adalah ruang pengakuan. Ruang peringatan. Saya mulai berpikir bahwa salah satu momen yang membekas dalam benak saya adalah ketika pembicara memaparkan isi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal demi pasal yang secara tegas menjamin kemerdekaan pers. Saya mendengar kembali bunyi Pasal 4 ayat (2): "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran". Lalu, salah satu narasumber membacakan bunyi Pasal 1 dan Pasal 2 UU Pers No. 40 Tahun 1999. Di atas kertas, Indonesia menjamin kemerdekaan pers sebagai bagian dari hak asasi. Pers seharusnya bebas, independen, dan bertanggung jawab. Namun, setelah paragraf-paragraf hukum itu dibacakan, kalimat berikutnya datang dengan nada kontras: "Namun, jurnalis justru banyak yang diadili karena pekerjaannya."

Di layar saya, ekspresi peserta berubah. Beberapa menunduk, beberapa menatap layar dengan serius. Saya pun ikut diam sejenak. Webinar ini baru dimulai, tapi sudah terasa berat. Namun seiring berjalannya diskusi, saya justru mendengar daftar yang tidak terlihat seperti daftar hadir yang berisikan pelanggaran yang telah dilakukan terhadap bunyi pasal itu. Intimidasi, sensor terselubung, bahkan kriminalisasi. Saya mulai bertanya-tanya, apa arti sebuah undang-undang jika ia tak pernah menjadi pelindung?

Narasumber pun memulai untuk mengangkat dua kasus yang begitu pahitnya untuk ditelan dan dilupakan, teror terhadap redaksi Tempo, ketika kasus tersebut dibahas, saya mendengarkan dengan tegang. Redaksi mereka pernah menerima terror, sebuah kepala babi, bangkai tikus, paket ancaman. Ini bukan cerita film yang biasa saya lihat. Ini adalah kenyataan, dikirim ke ruang kerja wartawan. Saya membayangkan jika itu terjadi pada kantor tempat saya bekerja, bagaimana rasanya masuk kantor dengan rasa takut yang nyata, setiap hari. Saya berpikir bahwa hanya kisah memilukan itu saja yang saya dengar dalam webinar ini, namun, Pemidanaan Jurnalis Muhammad Asrul, seorang jurnalis di Palopo, yang justru dijatuhi hukuman penjara karena memberitakan dugaan korupsi. Saya piker saya salah mendengar dan saya menelan ludah ketika mendengar bahwa ia tidak dilindungi UU Pers, justru terjerat pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE. Saya melihat banyak peserta mengernyitkan dahi, mengangguk pelan, bahkan menuliskan komentar prihatin. Saya ikut tercekat. Di satu sisi, kita punya sistem hukum yang seseorang pernah lontarkan bahwa kebebasan informasi telah terjamin. Saya menyadari di sisi lain, kenyataan justru menunjukkan jurnalis dipenjara hanya karena menjalankan tugasnya. Saya berpikir dan merasakan, pembungkaman bukan hanya soal berita yang tak tayang. Ini adalah serangan terhadap demokrasi, terhadap hak publik untuk tahu, terhadap akal sehat kita sebagai warga.

Waktu terus berjalan, begitu juga dengan diskusi ini, saya semakin menyadari bahwa pembungkaman pers bukan hanya serangan terhadap profesi jurnalistik. Ia adalah gejala dari masalah yang jauh lebih besar yang dampaknya merambat hingga ke sendi-sendi demokrasi dan kehidupan kita sebagai warga negara. Saya mulai menyadarinya perlahan, tidak sekaligus. Mungkin saat salah satu narasumber menyebutkan bahwa ketika seorang jurnalis dibungkam, yang terdampak bukan hanya dia, tapi kita semua. Saya sempat terdiam. Kata-kata itu terus bergema di kepala saya bahkan saat peserta lain masih menyimak. "Kita semua?" Saya mengulangnya pelan dalam hati. Lalu saya mulai benar-benar memperhatikan bahwa ancaman terhadap pers bukan hanya tentang wartawan yang dilarang meliput atau kantor berita yang diteror. Itu memang nyata dan mengerikan, tapi ada sesuatu yang lebih diam-diam, lebih halus, dan justru lebih berbahaya, publik yang perlahan terbiasa tidak tahu.

Saya duduk di depan layar, memperhatikan satu per satu wajah peserta yang menyimak. Saya pun ikut mencatat, bukan hanya untuk merangkum, tapi untuk memahami. Karena semakin lama saya menyimak, semakin saya merasa bahwa kita sedang membicarakan sesuatu yang dekat. Kami membicarakan ketakutan untuk bertanya. Kegelisahan saat mengakses dokumen publik. Perasaan putus asa ketika suatu pemberitaan yang penting justru tak muncul di media mana pun. Dan lebih dari itu, kami sedang bicara tentang sistem, sebuah sistem yang pelan-pelan menciptakan budaya diam. Budaya di mana kita berpikir dua kali sebelum membagikan sesuatu, menulis opini, atau bahkan sekadar menyukai unggahan yang kritis. Saya mulai menyadari, ancaman itu tidak hanya menyasar jurnalis, tapi juga kita sebagai warga. Ancaman itu datang ketika kita mulai percaya bahwa tidak tahu adalah hal yang biasa. Ketika kita berpikir bahwa sensor adalah harga wajar agar tetap "aman". Saat itulah, pembungkaman telah bekerja bukan hanya di luar, tapi juga di dalam diri kita. Salah satu partisipan menuliskan dengan ajuan pertanyaan di kolom chat, "Apakah kebebasan pers itu ada karena murni dari demokrasi atau hanya formalitas kekuasaan?" Saya membaca kalimat itu pelan, lalu mengulangnya dengan suara nyaris tercekat. Bukan karena saya tidak bisa bicara, tapi karena saya merasa kalimat itu mewakili rasa yang sejak tadi tidak bisa saya jelaskan sendiri.

Partisipan Webinar pada Senin (26/05/2025) Sumber. Zoom Meeting
Partisipan Webinar pada Senin (26/05/2025) Sumber. Zoom Meeting
Saya tidak menyangka bahwa menjadi moderator akan membawa saya pada momen refleksi semacam ini. Saya mengira tugas saya hanya menjaga jalannya diskusi, menyampaikan pertanyaan, memastikan semua berjalan sesuai rundown. Namun hari itu, saya ikut tercerahkan sekaligus terguncang. Saya ikut merasa terancam, meski tidak menjadi jurnalis. Dan saya sadar, bahwa saat kebebasan pers dibatasi, suara siapa pun bisa jadi target selanjutnya. Saya melihat bahwa perlawanan terhadap pembungkaman bukan hanya tugas media. Ini juga tentang keberanian publik untuk terus bertanya, terus peduli, terus bersuara. Mungkin tidak dalam bentuk tulisan panjang atau investigasi tajam. Kadang, bentuk perlawanan itu hanya berupa keberanian untuk tidak membisu. Dan hari itu, saya belajar: suara bisa diredam, tapi kesadaran tidak bisa dibungkam. Di ujung acara webinar, saya menyampaikan ringkasan dan ucapan terima kasih. Namun, tidaklah cukup sebuah ringkasan yang mengitari kepala. Saya masih mengulang-ulang beberapa kutipan narasumber, membayangkan kembali ekspresi peserta, dan mencatat hal-hal yang tidak sempat saya ucapkan di forum. Saya datang sebagai moderator, dan kembali dengan tidak sangat sedikit kegelisahan. Tentang kerapuhan hukum, tentang ancaman yang tidak terlihat, tentang pentingnya terus bersuara, meski suara itu terdengar lirih, meski dinding-dinding kekuasaan terasa tebal.

Saya mulai menutup benda persegi panjang ini, namun diskusi itu terus berjalan di kepala saya. Karena ternyata, menjadi moderator bukan sekadar menjaga jalannya acara namun juga menjaga agar percakapan penting tidak berhenti di satu ruang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun