Semua cucu dan anak Simbah menjadi manja. Tidak mau bekerja, karena setiap hari sudah tersedia uang yang cukup.
Sampai aku menikah pun, tidak punya pekerjaan tetap, karena Simbah masih setia memberikan subsidi dana.
Aku pun menyadari bahwa pengasuhan ini sangat salah. Namun, rasa malas sudah mandarah daging. Bekerja ringan pun enggan dilakukan. Begitu juga, istriku dengan mudah minta jatah uang setiap hari, dari Simbah. Pola pengasuhan yang aneh.
"Man, kowe ki mbok ya nyambut gawe. Mesakke anak bojomu, arep dipakani apa? Kana metua golek gaweyan," kata Simbah suatu hari memintaku untuk bekerja secara wajar. (Man, kamu cari pekerjaan. Kasihan anak istrimu akan diberi makan apa? Sana pergilah cari pekerjaan).
"Mbah, la rasah nyambut gawe lak ya wes teka dewe to rezekine. La Simbah mbegogok we wes entuk duit." (Mbah, nggak usah cari pekerjaan kan uang sudah datang sendiri. Simbah duduk saja sudah dapat uang).
"Ealah, aja njagakke wong tuwa, Man. Wong ki ora ngerti nasibe." (Tidak boleh menumpukan pada orang tua. Nasib orang tidak ada yang tahu).
Benar saja, tidak berapa lama, ternyata Simbah menemui ajalnya. Praktis, uang yang biasa mengalir deras, kini makin menyusut. Kaget dan bingung menjadi satu. Istri dan anakku kini telantar. Â Tidak siap untuk menjadi miskin. Apalagi rintisan usahaku bersama teman yang baru seumur jagung belum berkembang. Nasib buruk benar-benar baru berpihak padaku. Uang patungan usaha bersama teman hilang dibawa lari entah ke mana. Jejaknya sulit dicari.
Sri Wahyuni, perempuan yang kunikahi lima tahun yang lalu karena cantik dan bodinya cukup semampai, kini sering uring-uringan. Kata-kata kotor dan kalimat yang sangat menyakitkan pun sering meluncur dari mulutnya yang manis. Meskipun begitu, cintaku pada Sri Wahyuni tidak luntur sedikit pun.
Sri perempuan yang menjadi rebutan banyak orang. Masih teringat saat itu, banyak laki-laki yang mencoba mendekati Sri, tetapi semua kalah karena modalku cukup besar. Semua itu atas dukungan Simbah. Hampir semua dana saat menikah dari Simbah.
Sri lambat laun berubah. Dia tidak seperti yang dulu saat uang begitu mudah didapatkan. Karakternya menjadi keras kepala, jarang di rumah, dan kalau pun pulang sudah larut malam. Nasihatku tidak mempan di telinganya. Sekali lagi rasa cintaku diuji. Sekali lagi juga cintaku padanya tidak pernah hilang.
Namun, entah bulan yang ke berapa sejak kondisi perekonomianku makin memburuk, Sri menghilang. Keluarganya juga tidak pernah tahu kondisi dan kabarnya.