Ketika publik mulai jenuh dengan drama politik nasional, PDI-P tiba-tiba mengguncang panggung dengan isu lawas yang diremajakan: "Dokumen Rusia." Isu ini seolah dihidupkan kembali sebagai peluru politik di tengah ketidakpastian arah partai berlambang banteng tersebut. Namun, membaca dinamika yang berkembang, muncul pertanyaan besar: apakah ini gerakan penyelamatan, pengalihan isu, atau sinyal keretakan internal?
Simbolisasi "Dokumen Rusia"
Dokumen ini konon memuat data eksplosif: skandal korupsi pejabat tinggi, kriminalisasi Anies Baswedan, hingga pengkhianatan internal terhadap Megawati. Tidak main-main, bahkan disebut-sebut dokumen ini berisi "rencana penghancuran PDI-P."
Namun, anehnya, sampai kini, isi konkret dokumen tersebut tidak pernah benar-benar dibuka ke publik. Tidak ada bocoran resmi, tidak ada investigasi terbuka. Semua masih bersandar pada narasi verbal para tokoh: Connie Rahakundini, Hasto Kristiyanto, hingga Guntur Romli.
Jika memang sedahsyat itu, mengapa hanya berputar di lingkaran dalam partai? Mengapa tidak segera dipublikasikan dan dijadikan bukti hukum? Sikap tertutup ini justru memperbesar kecurigaan: apakah "Dokumen Rusia" benar-benar tentang kebenaran, atau tentang survival politik?
Hasto Kristiyanto: Dari Korban ke Pejuang?
Menarik mencermati posisi Hasto. Sekjen PDI-P ini tengah dibelit kasus korupsi terkait pergantian antarwaktu anggota DPR. Saat posisinya terpojok, tiba-tiba narasi tentang "Dokumen Rusia" menguat.
Pola ini mengingatkan kita pada strategi klasik dalam dunia politik: ketika menjadi target, ubah posisi menjadi korban konspirasi lebih besar.
Apakah "Dokumen Rusia" adalah tameng Hasto untuk menegosiasikan posisinya dalam partai dan publik? Atau ini bagian dari perang internal, di mana masing-masing faksi di PDI-P mulai saling sandera?
Megawati dan Silent Command
Guntur Romli menyatakan, kader-kader PDI-P kini beroperasi "di bawah komando penuh Megawati." Namun anehnya, Megawati sendiri tetap diam di tengah kegaduhan ini.