Catatan 3: Etika Digital dalam Kasus Researsch Integrity Index (RI2)
PERNYATAAN ini akan saya pertanggungjawabkan, "Studi global berisiko merusak reputasi universitas di negara berkembang secara tidak adil." Terutama terkait publikasi hasil riset Profesor Lokman I Meho, kolega saya di pengindeks ilmiah ResearchGate (RG). Adalah platform jejaring sosial ilmiah, yang memungkinkan para peneliti dunia berbagi, mengakses, dan mendiskusikan karya ilmiah mereka, serta terhubung satu sama lain. RG bukan penerbit jurnal, melainkan sebuah platform untuk distribusi publikasi dan kolaborasi penelitian, sejak 2017 saya mulai terbiasa menjelajahi dinding RG, dan mulai mencari Profesor Meho, saat hasil penelitiannya 'memukul' banyak kampus ternama di Indonesia, termasuk Universitas Hasanuddin, institusi yang melahirkan saya sebagai sarjana.
Sebagai mahasiswa kelas akhir program Doktor, saya dan banyak mahasiswa lainnya diperhadapkan pada konsekwensi penelitian dan penerbitan manuskrip di jurnal nasional terakreditasi SINTA dan internasional bereputasi Scopus. Sedikit banyak dalam proses jalannya kewajiban penelitian disertasi, para promotor dan ko promotor, memberlakukan standar ketat. Kena marah dan 'dicueki' sudah jadi hal biasa yang harus kami terima dengan ikhlas. Belum lagi penguji pada tahap awal seminar proposal. Saya mengalami problem asam lambung, hanya karena cemas menghadapi seminar proposal. Maka saat dinyatakan lolos, dan boleh melanjutkan penelitian, 70 naskah ilmiah nasional dari buku hingga jurnal, 30 naskah ilmiah internasional buku dan jurnal, keluaran 3-5 tahun terakhir sudah harus dikoleksi.
Saya ingin 'lancang' menyoroti Profesor Lokman I. Meho, University Librarian & Professor, Department of Internal Medicine, American University of Beirut,, toh kalau salah saya hanya seorang mahasiswa dan bisa saja salah. Terdapat kelemahan metodologis (tandingan ilmiah), dari Research Integrity Index (RI). Pertama: tampaknya RI menyalahartikan keterbatasan basis data sebagai kecurangan institusional. Kedua: Bias jeda waktu (Time-Lag Bias): Studi ini menggunakan jendela pencabutan 2 tahun (2022-2023), mengabaikan bahwa 68% pencabutan terjadi setelah 3+ tahun (Fang et al.,2012). Universitas dengan proses pencabutan yang ketat dan lebih lambat terlihat secara artifisial 'berisiko tinggi'. Ketiga: Pengait data: bagan yang membandingkan jadwal pencabutan di berbagai bidang, misalnya, ilmu biomedis vs humaniora. Keempat: Pengecualian Scopus, dengan menolak Scopus-pangkalan data abstrak terbesar di dunia-RI mengecualikan 12% artikel yang dicabut.
Hal ini secara tidak proporsional merugikan lembaga-lembaga, bisa dilihat pada negara-negara Selatan yang menerbitkan di jurnal-jurnal terindeks regional. Sebagai bukti bisa dilihat pada Cortegiani dkk. (2020) tentang liputan Scopus di negara berkembang. Tidak kalah seriusnya yakni titik-titik buta disiplin ilmu, dengan kata lain memberi label 'risiko tinggi' pada jurusan matematika dengan tingkat pencabutan 0,93% (dibandingkan humaniora 0,02%) membingungkan norma lapangan dengan penipuan. Ini seperti membandingkan angka kematian akibat kanker dengan kecelakaan sepeda. Visualnya terlihat pada infografik yang menunjukkan tingkat pencabutan 465x lebih tinggi di bidang matematika vs seni. Tetapi secara lebih kritis tentu dapat ditelaah oleh para pakar statistik juga peneliti senior.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI