Mohon tunggu...
zulfi Banurea
zulfi Banurea Mohon Tunggu... Mahasiswa di Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

jadilah tuan atas diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paus Fransiskus: Kepemimpinan Yang Inklusif Membangun Jembatan Di Tengah Perpecahan

10 Juni 2025   19:46 Diperbarui: 10 Juni 2025   19:41 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PAUS FRANSISKUS: KEPEMIMPINAN YANG INKLUSIF MEMBANGUN JEMBATAN DI TENGAH PERPECAHAN

Di tengah dunia yang diliputi oleh ketegangan, prasangka, dan polarisasi yang semakin dalam, peran seorang pemimpin menjadi sangat krusial dalam menentukan arah peradaban. Kepemimpinan bukan lagi sekadar soal kekuasaan dan kontrol, melainkan tentang kemampuan untuk menghadirkan harapan, menyatukan yang tercerai-berai, serta merangkul yang tersisih. Sosok Paus Fransiskus muncul sebagai contoh nyata dari kepemimpinan yang inklusif kepemimpinan yang membangun jembatan, bukan tembok. Melalui gestur sederhana, sikap terbuka, dan suara kenabian, ia menunjukkan bahwa agama dapat dan harus menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah. Tulisan ini menggali bagaimana Paus Fransiskus mempraktikkan inklusivitas melalui dialog antaragama dan pembelaannya terhadap martabat manusia, serta mengapa kepemimpinan semacam ini sangat dibutuhkan di zaman kita.

Paus Fransiskus: Simbol Harapan Baru

Ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus pada 13 Maret 2013 dan memilih nama Fransiskus, ia menyatakan bahwa ia terinspirasi oleh Santo Fransiskus dari Asisi santo damai, kesederhanaan, dan persaudaraan dengan semua ciptaan. Nama itu menjadi simbol dari orientasi pastoral yang ingin ia bawa: Gereja yang dekat dengan mereka yang terluka dan tersisih. Paus Fransiskus tidak hanya berkhotbah tentang kasih dan belas kasih, tetapi menjalaninya dalam tindakan nyata. Ia sering terlihat mencium kaki para migran, mengunjungi penjara, dan berbicara secara terbuka tentang penderitaan orang miskin. Ia menyebut Gereja seharusnya menjadi “rumah sakit lapangan”, yaitu tempat yang pertama-tama hadir untuk menyembuhkan luka. Dalam dokumen apostolik Evangelii Gaudium, Paus menegaskan: “Saya lebih suka Gereja yang memar, terluka dan kotor karena telah keluar ke jalanan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan terikat pada kenyamanan sendiri” (Evangelii Gaudium [EG] 49). Gereja tidak boleh bersikap eksklusif dan terisolasi. Sebaliknya, ia harus menjadi komunitas yang menyambut, menyertai, dan terbuka terhadap semua orang, terutama yang paling lemah.

Dialog Antaragama: Jalan Menuju Persaudaraan Sejati

Paus Fransiskus memandang dialog antaragama sebagai jalan menuju perdamaian dunia yang lebih nyata. Dalam dunia yang rentan terhadap ekstremisme, fanatisme, dan konflik atas nama Tuhan, ia menegaskan bahwa semua agama harus menjadi sumber perdamaian, bukan alat kekerasan. Langkah konkret yang luar biasa adalah ketika ia menandatangani Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama bersama Imam Besar Al-Azhar di Abu Dhabi pada 2019. Dalam dokumen tersebut tertulis: “Iman membawa orang beriman untuk melihat dalam diri orang lain seorang saudara atau saudari yang harus didukung dan dicintai.” (Dokumen Abu Dhabi, 2019) Dalam ensiklik Fratelli Tutti yang diterbitkan pada 2020, Paus menegaskan kembali peran agama dalam menciptakan perdamaian: “Agama-agama yang berbeda, berdasarkan penghormatan terhadap martabat manusia, dapat memberikan kontribusi penting untuk membangun persaudaraan dan membela keadilan dalam masyarakat” (Fratelli Tutti [FT] 271). Dengan berani, Paus juga mengunjungi negara-negara berpenduduk mayoritas non-Kristen, seperti Irak dan Uni Emirat Arab, menegaskan bahwa kehadiran seorang pemimpin agama seharusnya melintasi batas-batas tradisional demi membangun perdamaian universal.

Inklusivitas: Kasih Tanpa Batas

Inklusivitas bukan hanya strategi sosial dalam kepemimpinan Paus Fransiskus, tetapi merupakan bagian dari spiritualitas Injil. Ia selalu mengedepankan cinta yang merangkul semua orang, terutama mereka yang paling mudah disingkirkan. Dalam Fratelli Tutti, Paus menulis: “Kita diciptakan untuk menjadi komunitas, bukan individu yang terisolasi. Semua orang memiliki hak yang sama karena martabatnya sebagai manusia” (FT 106). Dan lebih lanjut: “Beberapa orang dilahirkan di negara-negara atau situasi yang menawarkan sedikit kemungkinan untuk berkembang, di mana ketidakadilan sosial begitu dalam. Kita tidak boleh merasa lebih unggul karena asal atau budaya kita” (FT 118). Inklusivitas berarti merobohkan tembok diskriminasi dan membuka ruang dialog. Dalam Amoris Laetitia, Paus menyatakan bahwa: “Gereja adalah rumah ayah di mana ada tempat bagi semua orang, dengan segala masalah hidup mereka” (Amoris Laetitia 310). Ia menyentuh isu-isu sensitif seperti penerimaan terhadap umat LGBT, pasangan yang bercerai, dan kaum muda yang merasa terasing dari iman. Alih-alih menghakimi, Paus mengajak untuk menyertai dengan kelembutan dan pengertian.

Kepemimpinan di Tengah Dunia yang Retak 

Di tengah dunia yang terpecah karena ideologi, media sosial yang penuh kebencian, dan politik identitas, suara Paus Fransiskus menjadi oase penyegar. Ia mengajak kita menjadi “artis perdamaian”, yakni orang-orang yang membangun perjumpaan dan persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Fratelli Tutti, Paus menulis: “Dialog sosial yang sejati melibatkan kemampuan untuk menghormati sudut pandang orang lain, menerima bahwa mereka memiliki legitimasi sebagai ekspresi pengalaman pribadi atau kolektif” (FT 203). Ia juga memperingatkan bahaya sikap tertutup: “Sering kali kita tergoda untuk menjadi kelompok kecil, tertutup, mengabaikan orang lain dan memperlakukan mereka sebagai tidak penting” (FT 87). Kepemimpinan yang inklusif tidak berarti kehilangan jati diri, tetapi justru memperluas cakrawala kasih. Dunia tidak akan menjadi lebih damai hanya karena satu tokoh berbicara, tetapi karena jutaan orang mengikuti teladan kasih dan dialog itu dalam hidup sehari-hari.

Kepemimpinan yang inklusif, seperti yang diteladankan oleh Paus Fransiskus, adalah suara kenabian yang menembus zaman. Ia bukan hanya relevan bagi umat Katolik, tetapi bagi siapa pun yang mencintai perdamaian dan keadilan. Dengan menjadikan dialog, cinta, dan solidaritas sebagai prinsip utama, Paus Fransiskus membuktikan bahwa kepemimpinan yang sejati tidak membangun tembok, tetapi jembatan. Maka kini, pertanyaannya berpindah kepada kita: Apakah kita bersedia menjadi jembatan bagi dunia yang terpecah? Apakah kita siap menjadi wajah kasih di tengah bisingnya kebencian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun