Mohon tunggu...
Zulfatun Mahmudah
Zulfatun Mahmudah Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UINSK / 24107030030

Menulis dan berkarya adalah cara aku berbicara dengan dunia. Menyuarakan ide lewat seni dan kata, karena setiap ekspresi adalah karya yang tak terbatas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

K-Pop dan Budaya Fandom: Batas Antara Dukungan dan Obsesi

13 Juni 2025   09:42 Diperbarui: 13 Juni 2025   09:42 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
K-Pop Lightstick (Sumber: Pinterest)

Lautan cahaya berpendar di sebuah stadion raksasa, ribuan lightstick terayun seirama seperti bintang-bintang yang menari di gelapnya malam. Teriakan penuh semangat membelah udara, mengiringi setiap nada yang dilantunkan oleh para idola di atas panggung. Di momen seperti ini, batas antara mimpi dan kenyataan terasa mengabur. Itulah pesona K-Pop, sebuah fenomena global yang tak hanya memikat lewat musik, tetapi juga membentuk budaya fandom yang kuat, setia, dan penuh gairah. Namun, di balik gemerlapnya cahaya dan gegap gempita sorak sorai, ada pertanyaan yang seolah berbisik dalam hati, sampai di mana dukungan itu tetap indah, dan kapan ia berubah menjadi obsesi yang membelenggu?

K-Pop, sejak awal kemunculannya, memang tak sekadar alunan lagu dengan irama catchy atau tarian yang memukau. Ia adalah sebuah industri hiburan yang dirancang untuk merengkuh hati, memeluk jiwa, dan membuat siapa pun yang mendengarnya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Lewat layar ponsel dan media sosial, jarak antara penggemar dan idola kian tak terasa. Twitter, Instagram, TikTok, semua menjadi panggung kedua tempat cinta, kekaguman, bahkan fanatisme itu ditumpahkan. Di berbagai belahan dunia, dari Seoul hingga Jakarta, dari New York hingga Paris, nama-nama seperti BTS, BLACKPINK, EXO, NCT, dan Stray Kids menjadi sandaran hati jutaan orang yang mengaku sebagai bagian dari keluarga yaitu ARMY, BLINK, EXO-L, NCTzen, dan banyak lagi.

Ada keindahan dalam budaya fandom ini. Ketika seseorang memilih untuk menjadi bagian dari komunitas penggemar, sering kali itu berarti menemukan rumah kedua. Mereka bertemu orang-orang yang punya passion serupa, saling berbagi cerita, saling menguatkan di tengah kerasnya dunia. Tak sedikit fandom yang justru menyalurkan rasa cinta mereka lewat aksi nyata misalnya menggalang donasi untuk korban bencana, menyumbang ke panti asuhan, atau mendanai proyek sosial atas nama sang idola. Dalam ruang ini, dukungan pada idola bertransformasi menjadi kekuatan kolektif yang nyata dirasakan manfaatnya. Lagu-lagu para idola menginspirasi fans untuk menulis, menari, menggambar, bahkan belajar bahasa Korea. Komunitas ini kadang menjadi tempat tumbuh, tempat seseorang menemukan dirinya sendiri lewat jalan yang tak terduga.

Namun, cinta yang terlalu dalam terkadang menenggelamkan. Ada garis halus yang memisahkan dukungan tulus dengan obsesi yang membutakan. Perlahan, tanpa sadar, sebagian penggemar terseret melewati batas itu. Obsesi ini sering bermula dari hal kecil seperti keinginan untuk menjadi yang paling setia, paling tahu, paling dekat dengan sang idola. Lalu muncullah fanwar yang biasanya berbentuk perang kata-kata di media sosial demi membela idola, seolah kehormatan mereka terletak di ujung jari para penggemarnya. Timeline Twitter penuh dengan caci maki, perdebatan tak berujung, dan kadang, hinaan untuk fandom lain hanya karena beda dukungan.

Fenomena yang kini juga banyak terasa adalah bagaimana dukungan pada idola seolah berubah menjadi kewajiban. Vote untuk ajang penghargaan bukan lagi sekadar bentuk cinta, tapi menjadi semacam tugas harian. Streaming video musik di YouTube harus dilakukan berkali-kali dalam sehari. Ada tekanan terselubung, jika kamu tidak ikut voting, jika kamu tidak menonton MV sampai ratusan kali, jika kamu tidak berkontribusi pada angka views atau chart, maka kamu dianggap tak cukup layak menyebut diri sebagai fans. Rasa cinta pada musik perlahan terkikis; yang tersisa adalah rasa bersalah jika tidak memenuhi ekspektasi komunitas.

Bahkan, tanpa sadar, kita kadang menonton semua konten idola kita seperti variety show, vlog, live di aplikasi khusus, wawancara, hingga iklan bukan lagi karena kita menikmati, tetapi karena merasa harus. Seolah menjadi fans K-Pop bukan lagi soal kecintaan pada musik atau karya, melainkan komitmen personal pada sang idola atau grup. Kita mulai mengukur cinta dengan jumlah jam streaming, jumlah uang untuk merchandise, jumlah voting yang dikirimkan. Musik menjadi latar, sementara angka-angka menjadi pusat perhatian. Dan ketika seseorang dalam fandom tidak mampu atau tidak mau mengikuti ritme "kewajiban" ini, cibiran datang "Fake fan," "malas," "tak layak sebut diri ARMY/BLINK/NCTzen.". Padahal, kita juga berhak mengkritik dan tidak menyukai lagu-lagu mereka sesekali. Bukan karena membenci, tapi karena mungkin tidak selalu musik yang mereka produksi sesuai dengan selera kita.

Di sisi yang lebih ekstrem, lahirlah mereka yang disebut sasaeng fans para penguntit yang tak segan mengorbankan privasi sang idola demi mendekat, demi merasakan ilusi kebersamaan. Mereka membuntuti ke bandara, mengirim hadiah tak pantas, bahkan membobol informasi pribadi. Semua dilakukan atas nama cinta, meski pada kenyataannya itu melukai. Kultur gatekeeping pun menjadi racun di dalam komunitas sendiri, fans baru dianggap tak cukup "pantas," fans yang tak punya uang membeli album dipandang sebelah mata, dan cinta pada idola pun berubah jadi ajang kompetisi tak sehat. Obsesi itu menggerus kebebasan, menekan kesehatan mental, hingga membuat sebagian penggemar terjebak dalam dunia semu yang dibangun di atas puing ekspektasi.

Apa yang membuat kita begitu mudah larut dalam gelombang ini? Barangkali karena musik K-Pop memang dirancang untuk menghubungkan, untuk menyentuh sisi terdalam manusia yaitu kebutuhan untuk dicintai, diterima, menjadi bagian. Di era digital ini, ketika kesepian kadang menyelinap di antara ramainya notifikasi, fandom menawarkan pelarian yang nyaman. Namun, dalam kenyamanan itu, kita sering lupa bercermin. Sejauh mana kita mengenal sang idola? Atau sejauh mana kita mengenal diri kita sendiri? Adakah dukungan ini membuat kita berkembang, atau justru menjauh dari realita?

K-Pop Logos (Sumber: becausekpop.wordpress.com)
K-Pop Logos (Sumber: becausekpop.wordpress.com)

Pada dasarnya, mencintai idola bukanlah hal yang salah. Musik memang punya kekuatan untuk menyembuhkan, menyatukan, dan menginspirasi. Namun, cinta yang sehat adalah cinta yang memberi ruang, bukan cinta yang mengekang. Cinta yang mendorong kita menjadi lebih baik, bukan yang membuat kita kehilangan arah. Ketika dukungan pada idola mengubah kita menjadi sosok yang mudah marah, penuh kebencian pada orang yang berbeda pandangan, atau bahkan kehilangan kendali atas hidup sendiri, barangkali sudah saatnya kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan bertanya "untuk apa semua ini?". Idola kita saja tidak menuntut kita untuk menjadi seperti ini.

Fandom seharusnya menjadi jembatan. Jembatan yang menghubungkan manusia dengan mimpi, dengan sesama, dengan cita-cita. Ia seharusnya menjadi ruang berbagi, bukan medan perang. Menjadi tempat berlindung, bukan sangkar emas yang membatasi gerak. Musik para idola adalah hadiah yang bisa kita nikmati tanpa harus saling menjatuhkan, tanpa harus melukai diri sendiri dalam prosesnya. Karena pada akhirnya, tak ada idola yang ingin penggemarnya saling menyakiti atas nama mereka. Mereka ingin musiknya menjadi cahaya, bukan bara yang membakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun