Di sebuah kantor modern yang penuh sticky notes warna-warni, tanaman artifisial, dan kopi sachet gratis, sekelompok karyawan baru duduk manis di ruang orientasi. Sebelum benar-benar mulai kerja, mereka diminta mengisi tes kepribadian MBTI. Hanya butuh beberapa klik, hasilnya pun keluar: ENTJ, INFP, ESTP, ISFJ. Lalu si pembawa acara mulai bilang,
"Kamu INFJ? Wah, cocok banget jadi observer tim. Dan kamu ENFP, pasti jago ngomong di depan."
Kedengarannya seru. Seolah-olah empat huruf itu bisa langsung menebak siapa kita, gimana kita kerja, dan cocoknya kita ngapain. Tapi pertanyaannya, emang MBTI bisa dipercaya buat urusan kerjaan?
MBTI tuh tren apa pencari jati diri?
MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) belakangan makin populer. Bukan cuma di dunia kerja, tapi juga di media sosial, konten TikTok, bahkan buat cari jodoh. Banyak yang pakai MBTI buat tahu kecocokan, termasuk sama rekan kerja. Di beberapa negara kayak Korea Selatan, MBTI udah kayak kitab panduan baru.
Secara garis besar, MBTI itu ngebagi kita ke dalam 16 tipe berdasarkan empat aspek:
Introvert (I) vs Ekstrovert (E) > sumber energi kita.
Sensing (S) vs Intuition (N) > cara kita terima info.
Thinking (T) vs Feeling (F) > cara ambil keputusan.
Judging (J) vs Perceiving (P) > cara ngatur hidup.
Di tempat kerja, tahu teman kita itu ISTJ yang super rapi dan terstruktur, bisa bantu kita ngatur cara komunikasi. Atau tahu kalau bos kita ENTP yang spontan, jadi kita bisa siap-siap sama ide-ide mendadak tiap meeting.
Masalahnya, MBTI Bisa Jadi Label yang Ngejebak!
Masalah mulai muncul ketika hasil MBTI jadi semacam cap tetap.