Mohon tunggu...
Zulfan Ajhari Siregar
Zulfan Ajhari Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Buku

Penulis beberapa buku sastra kontemporer, sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wahai Bangsaku, Jangan Sampai Ada Lagi Kematian demi Kematian seperti Dulu

21 Juli 2020   07:07 Diperbarui: 21 Juli 2020   07:22 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa tahun lalu, sebagai seorang penulis. Aku mulai menulis sebuah naskah buku dengan judul "Musafir Pintu Hukum". Sampai saat ini aku belum menyelesaikannya, belum kutuntaskan. 

Naskah itu ada di antara puluhan naskah yang sedang kugarap. Buku ini berlatar belakang peristiwa G.30.S/PKI. Dalam buku ini aku tidak mengupas permasalahan politik, qausalitet peritsiwa itu, namun aku menitik beratkan tulisanku, untuk ekses dari peristiwanya. 

Tujuanku ingin mengingatkan kembali, terutama buat kalangan muda, kaula muda saat ini. Jangan terlalu berani, jangan terlalu ceroboh beraksi dalam nuansa politik, dalam kancah politik. Konsekwensinya cukup besar.

Sejarah sudah membuktikan, bahwasanya permasalahan politik di negeri ini selalu diwarnai merahnya darah. Dan ketika peristiwa PKI itu terjadi, di kampung saya penulis, Udang Sungai dan Udang Laut, tidak laku dijual, karena Udang suka bergelantungan pada mayat. 

Mayat-mayat manusia yang hanyut di Sungai, atau sengaja dihanyutkan bukanlah pemandangan yang luar biasa. Bahkan Mayat manusia dijadikan, alat mainan. Dihanyutkan di atas Rakit Batang Pisang, didudukan bersandar, dimulut mayat diselipkan rokok. 

Iblis sekalipun tidak berbuat seperti itu, tapi mempengaruhi agar manusia mampu punya kekuatan menggoda manusia agar mampu melakukan perbuatan seperti itu. Seorang Abang Ipar terpaksa ikut berlari bersama-masa, untuk mengejar adik iparnya untuk digorok. Karena sang abang ipar takut akan dituduh terlibat PKI.

Kematian demi kematian, ekses dari peristiwa itu, memang sangat mengerikan untuk diingat. Akan tetapi terlalu berbahaya untuk dilupakan. 

Ketika peristiwa itu berlangsung, penulis masih sangat muda. Masih duduk di Sekolah Dasar, penulis sangat mengingat. Tanpa sengaja ketika dilakukannya penangkapan terhadap gembong-gembong PKI di tempat itu, masih dalam bentuk penangkapan yang sopan dan beretika, penulis menyaksikannya. Dan sejak saat itu, keluarga mereka yang ditinggalkan, tidak tahu akan ke mana menjiarahi pusara mereka. 

Keluarga penulis justru tinggal di kawasan, di mana kawasan tersebut dapat dikatakan basis warga PKI. Kantor PKI, maupun Kantor BTI. Hanya lebih kurang satu Kilometer dari rumah keluarga penulis. 

Ayah penulis sempat dicurigai sebagai orang PKI. Tapi penulis sangat yakin, ayah penulis tidak pernah punya selera, baik sebagai simpatisan, jangankan sebagai stelsel aktif PKI, sejak Masyumi dibubarkan. Tiga bulan ayah saya terpaksa berbaur dengan orang-orang yang ditahan sebagai orang PKI. Demi mendapatkan selembar keterangan dari Tim Pemeriksa, yang disebut Tim Secring, bahwasanya dia bukan PKI. 

Di masa lalunya, ayah saya sempat menjadi anggota Kepolisian, berhenti dan memilih profesi jadi Tukang Kaleng. Menurut ayah saya, ketika di scrining, ada pertanyaan pemeriksa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun