Mohon tunggu...
Zulfa Aulia Nurfaiza
Zulfa Aulia Nurfaiza Mohon Tunggu... Lainnya - Level Pemula

Daripada mumet dan bikin pusing pikiran, aku memilih menuliskan di sini. Sharing is caring, right? Stay safe, stay healthy❤️✨

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Animal On History: Eksistensi Burung Dara dari Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan

2 Juli 2020   17:34 Diperbarui: 2 Juli 2020   18:42 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parikan (bahasa Jawa) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti Pantun menjadi sebuah cara kreatif untuk menyampaikan sebuah pesan maupun sindiran. Pernah dengar pantun "bekupon omahe doro, melok Nippon agawe soro"? 

Ya, pantun khas Suroboyoan oleh Cak Durasim, seniman ludruk legendaris ini terdengar begitu lekat dengan masyarakat Jawa khususnya asli Surabaya yang merupakan tempat bermula budaya adu burung dara sekaligus kota bersejarah pada masa pendudukan Jepang. 

Kalimat melok Nippon agawe soro, akan menarik ingatan kita semua kembali pada zaman penjajahan bagaimana Jepang begitu kejam memperlakukan pribumi.

Meskipun terkesan sederhana, parikan tersebut kental dengan nilai historis apabila kita kaitkan dengan kesejarahan utamanya masa pra kemerdekaan Indonesia. Selain di dalamnya terkandung sebuah gambaran kesengsaraan hidup semasa penjajahan Jepang, penggunaan kata omahe doro memberi sentuhan yang lebih personal di hati warga Kota Pahlawan tersebut. Ciri khas kedaerahan dengan mudah melekat di hati masyarakat saat itu (dan mungkin sampai sekarang). 

Doro alias burung dara atau merpati berperan penting dalam kehidupan sosial budaya warga Surabaya, khususnya generasi lama. Di Ibu Kota Jawa Timur tersebut, terdapat sebuah tradisi turun temurun yang dinamai tren doro alias adu merpati. 

Adu doro sebenarnya tidak lebih dari sekadar lomba balap burung merpati. Tradisi ini semakin menjamur di Surabaya semasa penjajahan Jepang. Warga Surabaya gemar menjadikan satwa unggas tersebut sebagai media hiburan dengan cara dipertandingkan.

Seperti sedang viral-viralnya saat masa pendudukan Jepang, berbagai referensi dan literatur menyebutkan sebenarnya cikal bakal adu doro ini sudah ada sejak era kolonial Belanda. Kurang lebih pada kurun dekade 1920-an, burung dara telah banyak dipelihara oleh orang Surabaya.

Dalam situasi di bawah kendali tirani kompeni, warga Surabaya berinisiatif untuk melatih aves cerdas ini sebagai 'tukang pos' dengan maksud agar dapat menyampaikan pesan kepada rekan secara diam-diam dan jangan sampai terendus oleh musuh.

Burung-burung tersebut dilatih secara berkala untuk menghafalkan rute perjalanan agar bisa kembali ke kandang yang biasa disebut bekupon. Warga Surabaya menyebut kegiatan melatih burung yang menjadi lambang Pos Indonesia tersebut dengan istilah 'tren'.

Cara melatih burung dara yakni dengan mengambil jarak beberapa puluh meter dari bekupon, kemudian burung-burung itu dilepas untuk terbang dan dipanggil lagi untuk kembali ke kandang. Seperti pribahasa "practice make perfect", lambat laun setelah melalui latihan demi latihan, burung-burung dara tersebut mengenali juga mengingat kemana dan pada siapa ia kembali pulang. 

Perlahan, jika sudah mulai mampu menghafalkan rute dengan baik maka jarak terbang yang dilatihkan pun semakin jauh. Saat sudah tiba waktunya, hewan yanag terklasifikasi dalam keluarga aves cerdas tersebut telah siap diterbangkan dan dimanfaatkan sebagai instrumen pengirim pesan rahasia antar pribumi. Bermula dari sini, burung dara dinobatkan sebagai lambang kantor pos Indonesia untuk mengenang perananannya di masa silam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun