Pada suatu waktu, seseorang datang padaku.
Ia duduk pada bangku panjang anyaman bambu di depan terasku.
Secangkir teh hangat ku suguhkan lengkap dengan sepiring pisang goreng buatan ibuku.
Pembicaraan kami dimulai, tentang pemilihan RT yang baru.
Ia mulai menceritakan pengalamannya sebagai tim sukses, sebut saja Bapak A.
Awalnya aku mendengarkan dengan tegun setiap kata yang ia sampaikan, tak terasa kepulan asap teh itu semakin memudar.
Dan pisang di piring itu bahkan belum tersentuh.
Sampailah saat mentari semakin menghilang diujung senja.
Menampakkan dan meninggalkan cercahan jingga cahayanya.
" Kau tahu Prabowo? Bagaimana menurutmu?", serunya sebelum aku memindahkan cangkir dan menggantinya dengan susu hangat yang dibeli Ibu.
" Iya, mengapa?" Jawabku seraya beranjak.
" Kau tahu betapa bagusnya visi misinya, tapi mengapa orang mengelukan Jokowi?"
" Kau saja yang ahli politik belum bisa menjawab, apalagi aku yang menghabiskan waktu berkutat dengan dapur dan Samara."
" Ah, kau ini bisa saja." Ia jelaskan panjang lebar kemudian beberapa alasan yang ia dapat dari sesama Tim Sukses tingkat kecamatan.
Dalam kehidupan, kita akan menemui banyak kejutan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saat kau tengah berbicara, seolah mengerti segalanya, kau salahkan pendapat orang lain. Namun ternyata, dibalik diam yang disimpannya, ia jauh lebih memahami apa yang tidak kau ketahui.
Dalam kehidupan pula, kita akan menemui hal yang sebelumnya pernah terjadi dan memaksa kita mengulang kembali hal kurang menyenangkan pada suatu waktu.
Hanya ada satu cara, terbaik bagi kita semua untuk bertahan pada kehidupan. Membangun perspektif yang baik atas apapun itu, segala pencapaian akan terasa pada puncaknya ketika kau mampu bersyukur. Menata hati atas segala hal yang telah dan akan kau capai dalam hidupmu.
Begitu pula sebaiknya saat kita menyikapi keputusan Presiden baru kita, sekalipun keputusan beliau menuai kontroversi, hendaknya berhenti menghujat. Bukankah dulu ia yang kau elukan, kau terbangkan sebagaimana layang-layang di masa kecilmu?
Antara Jokowi dan Prabowo, memiliki kesamaan. Keduanya adalah manusia. Jika ada kelebihan, maka itu bonus, jika terdapat kesalahan baik dalam pola pikir, berbicara hingga pembuatan keputusan, itu wajar dan sangat manusiawi.
Pernahkah terpikirkan oleh kita, ada apa dibalik segalanya? Terdapat rantai kepemimpinan yang seperti apa? Mungkinkah segalanya hanya mengisi kekosongan kepemimpinan di Republik kita tercinta ini? Atau mungkin pelatuk peperangan saudara kembali dielukan?
Jika memang begitu, bisakah kau pikirkan, apa yang selanjutnya menjadi permasalahan utama? Konflik apa yang harus dihindari? Dampak apa yang akan dirasakan?
Pernah suatu waktu saya menikmati cangkir kopi dan terduduk diujung sebuah kedai kopi, aliran hujatan dan sindiran serta nyinyiran mengalir secara dinamis di hadapan saya melalui alur timeline sahabat, kawan, dan lawan. Bahkan tak jarang, mereka saling berbalas sarkasme di media sosial, mereka dengan almamater yang sama dan kepentingan yang sama.
Tidakkah terpikirkan oleh mereka, warga negara paling cerdas se Indonesia, kemungkinan adanya sulutan perang saudara? Pikiran realis dan simpel saya kemudian mengerucut pada satu kesimpulan, jika memang mereka mencintai Indonesia, alangkah baiknya kembali pada bagaimana mereka berkontribusi bagi negara tercintanya. Kritik tanpa solusi, sama saja dengan tong kosong nyaring bunyinya.
Dan kemudian saya kembali pada titik dimana saya berkata pada diri saya, ini hanya masalah perspektif, mungkin kau terlalu memaksakan keadaan berjalan sesuai keinginan dan harapanmu.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak sekalipun melupakan sejarah dan jasa pahlawan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H