Dalam waktu singkat setelah dilantik, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka langsung dihadapkan dengan berbagai macam bentuk ekspresi kekecewaan publik yang luas dan intens, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu bentuk protes terbesar dalam sejarah politik di Indonesia. Salah satu wujud paling mencolok dari kekecewaan tersebut adalah munculnya gerakan dengan tagar #IndonesiaGelap. Gerakan ini bukan hanya menjadi fenomena sesaat di media sosial, melainkan berkembang menjadi simbol perlawanan yang kuat dari masyarakat sipil, terutama generasi muda. Mereka menilai sejumlah kebijakan awal pemerintahan baru ini menyimpang dari nilai-nilai demokrasi dan prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi dasar pijakan negara.
Ketidaksiapan dan Kegagapan Kebijakan
Munculnya Gerakan “Indonesia Gelap” ini berawal dari media sosial, khususnya platform X, sebagai bentuk respons terhadap berbagai kebijakan yang diluncurkan selama 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Salah satu contoh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan dianggap “fenomenal” di kalangan masyarakat yaitu Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dinilai sebagai kebijakan yang belum siap dijalankan. Banyak pihak menyebutnya “proyek ambisius tanpa cetak biru,” karena belum ada kejelasan teknis dan penganggaran yang memadai. Kebijakan lainnya seperti pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga demi mendanai program ini juga berdampak pada sektor lain seperti pendidikan tinggi, riset, dan kesejahteraan ASN dan dosen, yang kini mulai bersuara menuntut kejelasan. Selain itu, distribusi LPG 3kg yang umumnya menjadi kebutuhan dasar masyarakat bawah, pun tidak luput dari masalah. Kenaikan harga dan langkanya distribusi di beberapa daerah menambah panjang daftar keresahan masyarakat, khususnya di lapisan ekonomi bawah.
Kemunculan ini dapat dikatakan sebagai bentuk manifestasi dari kekecewaan kolektif yang tidak bisa lagi dibendung. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) misalnya, meski berniat mulia, tetapi akhirnya menjadi contoh nyata bagaimana ambisi politik yang tidak dibarengi kesiapan teknis justru menimbulkan masalah baru. Jika dalam 100 hari saja sudah begini, publik tentu berhak mempertanyakan: Apakah ini benar kepemimpinan atau sekadar pertunjukan belaka?
Narasi di Dua Kutub: Gelap dan Terang
Gerakan dengan tagar #IndonesiaGelap pertama kali mencuat melalui platform X dan mulai menyebar ke berbagai kanal media sosial. Postingan rilis tuntutan yang beredar lewat akun-akun seperti @txtfrom_ir dan @beritamahasiswa direpost bahkan hingga ratusan ribu kali. Dalam kurun waktu satu hari (20 Februari 2025), tagar ini menjadi trending dengan lebih dari 345 ribu repost dan retweet.
Menariknya, tidak lama setelah muncul tagar tersebut, muncul pula narasi tandingan dari kelompok yang mendukung pemerintah dengan nama “Indonesia Terang”. Meski tidak seviral “Indonesia Gelap”, narasi ini diangkat oleh pejabat publik, politisi, dan influencer pro-pemerintah. Berdasarkan data dari BrandMentions (20/2/2025), narasi ini menjangkau sekitar 123.800 akun di berbagai media sosial, dan 31.185 unggahannya berasal dari platform X. Dari data tersebut menunjukkan bahwa hanya 1.978 akun unik yang benar-benar aktif menyuarakan tagar ini, dan banyak di antaranya adalah akun buzzer yang tidak menyumbangkan narasi baru, hanya sekadar me-retweet atau menyebarkan ulang konten yang sudah ada. Ini memperlihatkan bahwa “Indonesia Terang” lebih bersifat reaktif dan top-down, bukan murni aspirasi rakyat.
Beberapa cuitan dari tagar #IndonesiaTerang isinya lebih banyak berupa promosi dan dukungan sepihak, bukan diskusi yang mendalam atau kritis. Jika dilihat dari sisi kontennya, narasi Indonesia Terang menekankan pentingnya memberi waktu pada pemerintahan baru untuk bekerja dan mengingatkan bahwa pesimisme berlebihan akan melemahkan bangsa sendiri nantinya. Narasi ini memang terdengar bijak di permukaan, namun sudah terlalu sering dijadikan tameng untuk meredam kritik yang sah.
Dari Maya ke Jalan: Aksi Mahasiswa Menyuarakan Ketidakadilan
Gerakan digital tersebut kemudian bermuara ke dunia nyata. Pada 17 Februari 2025, unjuk rasa besar-besaran digelar serentak di berbagai kota di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Samarinda dan Aceh. Aksi puncak terjadi pada 20 Februari 2025, bertepatan dengan pelantikan kepala daerah terpilih, sebagai bentuk “peringatan” dan tekanan publik terhadap penguasa (kompas.com, 17/2/2025). BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) menjadi motor utama dari aksi ini. Mereka menuntut banyak hal, antara lain transparansi dan evaluasi program MBG, penolakan revisi UU Minerba dan dwifungsi militer, serta tuntutan hukum terhadap mantan Presiden Jokowi. Ironisnya, pemerintah justru terlihat gagap dan responsif secara reaktif, bukan solutif. Alih-alih membuka ruang dialog, yang terjadi justru pelabelan aksi sebagai “gerakan politis yang ditunggangi.” Klaim semacam ini bukan hanya merendahkan intelektualitas mahasiswa, tetapi juga mencerminkan ketakutan terhadap kekuatan rakyat yang terorganisir.