Mohon tunggu...
Aisyah Nawangsari Putri
Aisyah Nawangsari Putri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Small town girl. Took the midnight train, going anywhere.

Freelance writer Email: zonaisyah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini dan Keistimewaannya

21 April 2016   13:47 Diperbarui: 21 April 2016   13:59 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kartini tahu dia istimewa. Namun tidak semua orang dari generasi kita menyadarinya. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan apa yang membuat Kartini layak menjadi pahlawan nasional dan hari lahirnya dijadikan salah satu hari yang istimewa. "Bagaimana dengan pahlawan lainnya seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, dan lainnya yang juga berjuang demi rakyatnya? Mengapa hanya Kartini yang diistimewakan, padahal yang ia lakukan hanyalah curhat kepada kaum penjajah?"

Bahasan ini akan selalu muncul di setiap bulan April, ketika kita memasuki bulan Kartini.

Saya kagum dengan semua pahlawan perempuan di Indonesia, khususnya yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan bahkan membuat sekolah untuk perempuan seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Namun saya memiliki ruang khusus untuk Kartini karena saya bisa merasakan apa yang ia alami sejak kecil. Dewi Sartika dan Rohana Kudus sama-sama berjuang untuk perempuan, namun setahu saya(silakan dikoreksi jika saya salah), pihak keluarga tidak menentang perjuangan mereka. Bahkan orang tua Dewi Sartika menyekolahkan beliau ke Belanda. Sementara Rohana Kudus, meski tidak mengenyam pendidikan formal, ia mendapat dukungan dari ayahnya.

Saya juga kagum dengan Martha Christina Tiahahu yang hanya berumur tujuh belas tahun saat ia bersama ayahnya berusaha mengusir penjajah. Juga pada Cut Nyak Dhien yang rela tidak menikah daripada tidak diijinkan berperang oleh suaminya.

Kartini, memiliki semangat yang sama besar dengan pahlawan lainnya. Namun terdapat tembok penghalang besar di depannya, yaitu adat dan ayahnya. Ia bisa saja menghancurkan tembok-tembok itu seandainya ia tidak mencintai ayahnya. Tapi tentu saja, ia tidak bisa mengecewakan ayahnya sendiri karena beliau adalah sosok yang paling dihormati oleh Kartini.

Ayahku begitu cintanya kepadaku! Aku akan sangat berdukacita sekiranya Ayah menentang cita-cita kebebasanku, tapi akan lebih bersedih hati lagi, pabil ahasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku. Ah tidak, aku tak akan kehilangan cintanya, tapi aku dapat menyebabkan hatinya luka. Dari orang lain mungkin ia dapat menderitakan kekecewaan-kekecewaan itu, tapi kekecewaan dari aku tentulah akan sangat menyiksanya, mungkin karena ia lebih sedikit mencintai aku daripada yang lain-lain. Dan ia begitu aku cintai!

Demikian isi salah satu surat Kartini pada Estella Zeehandelaar yang saya kutip dari buku Pramoedya Ananta Toer. Kartini sangat mencintai ayahnya sehingga lebih memilih untuk menunda cita-citanya demi sang ayah. Dan untuk sementara waktu itu, ia menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya di Belanda. Pemikiran yang sangat maju, bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh perempuan sekarang, khususnya perempuan generasi galau atau ababil atau apapun itu namanya. Termasuk saya sendiri.

Saat kecil, ia sudah digalaukan dengan apa jadinya ia kelak saat sudah dewasa. Kini, perempuan dengan mudahnya mengatakan "Saya ingin jadi dokter", "saya ingin jadi guru", "saya ingin jadi teknisi", dan sebagainya. Namun Kartini kecil hanya terdiam karena sebelumnya tidak pernah ada yang bertanya padanya. Menjawab pertanyaan sederhana itu, rupanya sangat sulit sekali di masa itu. Ayah dan kakak-kakaknya pun menolak membantunya menjawab pertanyaan itu.

Perempuan, mau jadi apa kamu kelak? Kodratmu itu ya cuma 3M. Macak, masak, manak. Berdandan, memasak, dan melahirkan. Tidak perlu bersekolah, karena itu tidak berguna. Bersekolah tidak akan membantu perempuan melayani suaminya dengan lebih baik, memasak makanan lebih enak, dan berdandan lebih cantik.

Dalam hati Kartini, ia ingin lebih dari itu. Meski ia sudah dipastikan akan menjadi Raden Ayu (istri bupati) seperti kakak-kakaknya, ia ingin lebih dari itu. Ia ingin mengenyam pendidikan hingga ke Eropa. Ia ingin mendirikan sekolah. Ia ingin menjadi manusia yang berguna. Namun sayang seribu sayang, ia menghembuskan nafas terakhir sebelum sempat mewujudkan cita-citanya.

Kartini memang belum sempat mendirikan sekolah, namun bukan berarti apa yang ia lakukan tidak ada apa-apanya dibanding pahlawan perempuan lainnya. Kartini memang tidak menumpahkan darahnya, namun bukan berarti ia tidak berjuang untuk rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun