Mohon tunggu...
Sarah Nurul Khotimah
Sarah Nurul Khotimah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Unpad Bandung; buku, musik, film, game, dan perjalanan ... http://zohrahs.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Membaca" Film Supernova

27 Desember 2014   13:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jadi, ini bukan tentang perang pemikiran antara film ini dan aturan agama karena sekali lagi tidak ada pembenaran dalam film ini. Perang ini untukmu. Untuk setiap individu yang menonton. Bagaimana kamu menanggapinya? Memahaminya. Menyikapinya.

Untuk kasus perselingkuhan. Ini kembali mengenai hal yang tabu. Tidak ada pembenaran dalam hal ini. Daripada memikirkan mengenai konsep cinta segitiga dalam film ini, saya lebih tertarik berpikir mengenai konsep menentukan pilihan dan bersikap. Jadi, coba lain kali jangan bergumul soal apakah ini benar atau salah jika ternyata dalam keseharian kita, khususnya dalam agama, hal itu sudah jelas. Saya lebih mengusulkan memikirkan sisi lain, misalnya kenapa ketidaknormalan ini bisa terjadi dan bagaimana menghindarinya. Atau jika kita sudah terjebak di dalamnya, bagaimana kita bisa mengontrolnya agar kembali kepada kenormalan.

#6 Apakah Supernova sesat?

Saya membaca novel ini beberapa bulan setelah saya pindah dari Pesantren ke Aliyah. Di halaman-halaman awal saya sudah antipati dengan novel ini karena memunculkan pasangan gay. Hello … jangankan yang gay, orang pacaran saja dicemooh di pesantren. Tapi saya menamatkan buku ini untuk sekedar memenuhi keingintahuan saya. Sama seperti ketika saya membaca-baca injil karena ingin memastikan apakah pasal-pasal dan ayat aneh yang saya dengar benar-benar ada di injil.

Saya harus memberitahu jika kalian masih terbiasa membenarkan sesuatu yang dirasa masuk akal, maka berhati-hatilah membaca buku seperti ini. Islam bukan berdasarkan akal pikiran. Saya sudah terjebak sejak tsanawiyyah (SMP) saat tidak sengaja menemukan buku “Iblis Menggugat Tuhan” di Perpustakaan Daerah Jabar, Soreang. Dan, saya ditegur, tentu saja. Tapi karena sudah terbiasa dengan bacaan seperti itu, saya jadi kebal, apapun yang saya baca maka saya akan mengembalikan semuanya kepada apa yang Islam ajarkan.

Menurut saya, kita jangan bangga ketika mempertanyakan sesuatu yang tidak dpikirkan oleh orang lain dalam hal keyakinan. Saya justru iri kepada mereka yang Allah kuatkan imannya tanpa harus menanyakan hal-hal sepele yang malah merugikan imanmu sendiri. Iman itu mahal, loh. Dibayar dengan kesediaan kita untuk mengerem proses otak kita sendiri yang memilih untuk berhenti mempertanyakan hal yang tidak perlu.

Saya pernah melihat sebuah kaos oblong bertuliskan, “Tuhan, agamamu apa?” Sebagai orang yang hidup di lingkungan santri, saya tidak pernah mempertanyakan hal-hal seperti itu. Tapi melalui mereka saya jadi tahu apa yang mereka rasakan dan pikirkan tanpa harus ikut-ikutan.

Begitulah Supernova. Di novel pertama, maupun selanjutnya. Penulis novelnya terlahir sebagai Nasrani yang banyak mempertanyakan mengenai agamanya. Dia dan suaminya mempelajari banyak agama. Membaca banyak buku tentang agama, Tuhan, keyakinan, dsb. Dalam satu hari dia bisa menghabiskan 2-3 buku saking penasarannya. Akhirnya dia memilih pindah ke agama Buddha bersama suaminya. Kini, suaminya malah menjadi seorang muslim.

Sesatkah mereka? Sesatkah Supernova? Tersesat, mungkin iya. Kacaunya, dia menyebarluaskan kondisi tersesatnya kepada dunia.

Jangan antipati. Ada hal-hal yang bisa kita ambil dari Supernova. Sangat banyak. Hanya saja kita harus mampu mengulitinya. Memikirkannya berulang-ulang dari berbagai cara pikir. Misalnya, ketika Supernova mengatakan: “Saya khawatir kita tidak sedang membicarakan Tuhan dalam persepsi yang sama.” Dalam Supernova - Partikel dimana tokohnya adalah muslim diceritakan bahwa sang tokoh ketika masih kecil merasa heran, kenapa Tuhan begitu pemarah. Dia selalu digambarkan suka menghukum dan menyiksa. Benar, kan, kadang kita mengancam seorang anak kecil dengan … jangan begitu, dosa … nanti masuk neraka.

Saya merespon hal-hal di atas dengan qudsi, “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku.” Jadi, alih-alih ikut berpikir Dia ingin menghukum dan menyiksa karena marah, saya selalu kepedean dengan mencoba berpikir Allah mencintaiku, begitu mencintaiku. Dia tidak mau aku masuk neraka. Dia terlalu mencintaiku sehingga mengingatkanku berkali-kali agar aku tak berbuat kesalahan yang akan aku sesali nantinya. Allah mencintaiku dengan begitu besar sampai rasanya aku malu jika mengabaikan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun