Mohon tunggu...
Cerpen

Dukungan Istri pada Suami, Kobaran Semangat Suami

21 Februari 2016   22:32 Diperbarui: 21 Februari 2016   23:11 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerdipan bola surya yang masih tertutup awan pagi. Sinarnaya berpadu dengan semburan air yang terpancar dari mulut singa yang berekorkan ikan. Patung berwarna putih ini berdiri tegar di area Merlion Park. Mengalir sungai yang tenang dibawahnya. Menambah idah hasil jepretan poto para pengunjung. Seorang cewek yang berpoto ala model di samping itu. Di tambah beckround kapal diatas gedung yang berjejer tiga. Di bawah samping kiri bangunan berjejer itu ada bangunan mirip bunga yang mekar keatas berwarna putih.

Disampingnya kirinya lagi terlihat kincir yang melingkar besar. Tak mau ketinggalan gedung mirip durian menyakinkan daerah ini mempunyai seni yang tinggi. Sangat mencolok ketika memandang bangunan yang berusaha menampakkan gagahnya. Tertulis THE FULLERTON HOTEL di sebuah bangunan arsitektur tua. Bangunan tua dan bangunan berbentuk durian ini di pisahkan oleh sungai di depanku.


Bersihnya area dan bangunan yang tertata rapi membuat sedap mata mata memandang. Kapan negaraku bisa kayak begini? Bisiku dalam hati.
“Thanks, karena kamu mau menemaniku ke sini” Ucapan terima kasihku kepada Fasha setelah sampai di pinggir patung Marlion. Dia telah menemaniku ke taman Marlion. Ke sini pun aku juga di anter oleh sopir pribadinya. Wah..., kalau udah di takdirin ke sini ya kesini. Apapun itu caranya itu terserah Allah.
“Oh, tak apa. Sudah lama aku tak kesini. Kurang abdol, to Singapur if not to here.....” Kata wanita Malaysia denagn bahasa campuaran melayu dan iggris.
“Oh, ya....?”
“Yes, icon of Singapur” Sambil menunjuk ke patung Singa.
“O, klau begitu tlong poto aku ya, Fasha.” Sambil kuambil kamera dari tas disampingku.
“Ok...”
Segera aku berpose ala model dadakan. Kutunjukan kecantikanku di depan kamera. Dengan beckround Singa yang memancarkan semburan air. Kapal di puncak gedung dan kincir raksasa. Cepret-cepret hingga aku merasa puas. Ku ajak Fasha nerpose bareng. Dengan bantuan orang di sekitar akirnya kejepret juga gaya kami. HP di tasku berbunyi. Kuangkat. Suara suamiku yang meanyakan akan kabarku. Dimana posisiku sekarang. Dan kujawab dengan kejujuran supaya nantinya tidak menyulitkan pertanyaan pertanyaan berikutnya. Dan perbincangan kami ditutup dengan salam.
“Sorry. Ya...? Tadi samiku”
“Oh, udah nikah...?
“Yah baru, beberapa minggu.”
“Selamat, ya....”
Aku dan Fasha berjalaln mengelilingi pinggiran bibir sungai. Kurasakan seperti dalam dua dunia. Dunia masa depan dan dunia masa lalu. Dunia masa depan ketika melihat Marina Bay Sand dengan kapalnya yang terliat unik. Merasakan dunia masa lalu ketika mendekati hotel Fullerton yang bangunanya masih terpelihara keaslianya. Terasa masuk pada masa jamanya ketika di jembatan berwarna putih. Tak lupa juga jepretan poto yang terisi berbagai model hasilnya.
“Sorry, ya jadi tukang poto aku...hehe.”
“O, tak apa...”
Sambil memandangi pesona sekitar. Aku bidik obyek-obyek yang sesuai keinginanku. Setelah puas mengambil gambar. Aku dekati Fasha di dekat pembatas jembatas berwarna putih. Sambil berjalan meuju samping Fasha aku lihat gambar kamera hasil bidikanku. Wah..... keren. Seandainya ada poto bersama suamiku. Pastinya melengkapi kenangan bahagia dalam cerita hidupku. Lain kali lah. Aku igin kesini bersama suamiku atau bersama anaku juga. Lagian kan aku kan belu bulan madu.
Sampai di dekat Fasha yang sedang berdiri aku melihat dia sedang meneteskan air mata.
“Fasha,kamu,... kamu.....kenapa? Tanyaku dengan sedikit ragu.
“Aku teringat suamiku. Dulu aku pernah ke sini denganya.”
“Fas,...” Ku berikan tisu padanya.
“Makasih,... Aku teringat pada mantan suamiku. Orang yang tak pernah terhapuskan dalam memori otakku.”
“Sabar ya, Fas....” Kuucappka dengan sedikit pelan.
Aku lihat dia semakin banyak meneteskan air mata. Aku yang tak tau apa yang terjadi menimpanya jadi ikut kasian.
“Bila waktu bisa diulang lagi aku tak menyia-nyiakanya. Aku akan rajut cinta dengan kebahagiaan cinta. Aku menyesal. Aku menyesal...! Dulu aku tinggal di Johor Malaysia bersama suamiku. Orang yang sekarang paling kucintai. Kehidupan kami dulu biasa-biasa saja. Tapi dalam kesederhanaan aku tidak merasa kurang atau kelebihan. Karena suamiku memberikan kasih sayang padaku. Ditambah setelah kehadiran putriku kasih sayangnya makin menaburi hatiku. Kehancuran bermula pada saat aku bersama-sama yang sedang asyik ngobrol. Mereka pada membicarkan perhiasan-perhiasa yang mereka pakai. Aku pun akirnya ingin memilikinya. Tapi aku melihat kondisi suami yang kerja di perusahaan dengan gaji setandar tidak berani untuk dibelikanya. Sampai akirnya aku beranikan untuk di berikan. Akirnya aku diberlikan Tapi dia membelikanya hanya kalung. Dan beratnya pun hanya tiga setengah gram.” Dia menyapup air mata dengan tisu yang telah kuberikan tadi.
“Maaf Fas, sudah mulai panas. Kita ke di dekat pohon sana yuk”
Kami pun berjalan menuju tempat yang teduh. Tapi tetesan air mata Fasha masih menyisakan bercakya.
“Ketia itu aku merasa ingin mempunyai barang-barang mewah seperti ibu-ibu lainya. Aku melamar di sebuah perusahaa debgan ijzah sarjana yang pernah kuraih. Temapat kerjaku merupakan perusahaan yang memang cukuk besar dibandig tempat kerja suamiku. Dalam beberapa bulan hasilnya pun sudah kelihatan. Aku sudah bisa membeli seperti apa yang kuinginkan. Tapi namanya manusia tidak cepat puas begitu saja. Aku bekerja sungguh-sungguh hingga akirnya tergila-gila dengan karir. Pekerjaan kantor membuat pertemuan dengan suamiku anaku semakin renggang. Bahkan ketika sudah naik jabatan aku mulai jarang pulang rumah. Meghadiri pertemuan di luar kota. Saran suamiku kadang kuabaikan. Malah kadang ku tentang dengan alasan-alasan bahwa ku juga cari uang. Kasih sayang kepada anak juga mulai berkurang. Biasanya pulang sekolah aku dulu menjemputnya tapi tidak menjemput. Kecelakaan menimpa anakku hingga akirnya dirawat di rumah sakit. Dalam keadaan dirawat aku pun tidak hadir di sampingnya. Aku kira hal itu biasa-biasa saja. Ternyata empat ahri kemudian meninggal. Aku sempat kaget. Suamiku tidak berkata apa-apa dan meninggalkanku sampai sekarang.” Dia mengusap air matanya yang keluar tadi.
“Sabar Fas,... semoga kamu menemukan penggati yang lebih meerima kondisi sekarang”
“Aku sekarang sadar. Bahwa hidup ini yang dicari adalah kebahagian. Sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang entah bagaimana caranya. Bila kebahagiaan hidup terletak pada harta, kenapa hartaku tidak bisa membuat bahagia tapi kerinduan yang semakin mendalam untuk anak dan mantan suamiku. Dan apabila terletak pada kedudukan kenapa aku malah mendapatkan tugas yang semakin memusingkan. Aku sempat berfikir mencari pengganti suamiku. Aku menikah dengan orang di Singapur. Kami hidup dalam kemewahan. Tapi kami jarang bertemu. Karena suami baruku mempunyai bisnis di mana-mana. Dan di setiap tempat bisnisya itu dia mempunyai simpanan atau juga istri. Aku merasa disakiti, dihianati. Aku bingung dan akirnya aku memilih meyendiri. Kalaupun tau begini jadiya aku mendig hidup sederhana. Walaupun sederhana tapi bisa measaka kebahagiaan.”
Setelah di hujani air mata, tapi Fasha berkata bahwa dia merasa bahagia walaupun sekarang suamiya etah kemana. Bahagia karena pernah merasakan cinta. Sisa-sisa kasih sayang masih terasa, yang merupakan bagian untuk satu, sebuah kebahagiaan. Masih kurasakan belaian tanganya walaupu cuma bayangan. Dan senyumanya yang kadang masih terbayang juga di angan-angan.
Air mata rupanya sudah terkuras dari dua bola mata Fasha tapi senyuman juga teruntai dari bibir manisnya.
“Maaf ya, jadi merusak acara liburanmu.”
“Oh tenang aja Fas,.... Justru aku malah bisa mengambil hikmah dari ceritamu”
“Yah, syukurlah...., Eh kalau begitu ke sana yuk ke dekat Esplanade. Sambil isi perut sebentar. Saya traktir lah.... sebagai tanda selamat bahwa kamu pengantin baru.....” Smbil menunjuk pada bangunan yang berbentuk durian.
“Makasih ya.... atas jamuanya. Hehe. Nanti gantianlah kalau mampir ke Jakarta saya traktir”
“Makasih...., Syafira. Eh... kamu sekarang tinggal rumah sendiri atau masih numpang degan orang tua”
“Ya, Alhamdulillah. Udah ada rumah untuk tempat tiggal bersama suamiku.”
“Ya baguslah. Bisa saling belajar mandiri. Walaupun rumahnya kecil kalaupun berdua rasanya bisa kaya istana. Tapi saya pesan. Besar kecil nafkah yang diberikan suami untuk kamu tolong hargailah. Bersyukurlah.... Karena seorang suami yang mencintaimu pasti berusaha agar keluarganya selalu bahagia. Usaha kerasnya pun juga luar biasa. Dukungan istri pada suami adalah kobaran semangat suami”

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun