Mohon tunggu...
Zikri Tiftajani
Zikri Tiftajani Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Assalamualaikum sobat literasi, perkenalkan saya pelajar jenjang s1 di UNIDA. Saya seorang pemula dalam menulis. Saya mulai tertarik di dunia literasi ketika saya duduk di kelas 12 SMA. Saya tertarik pada pembahasan yang berkaitan dengan religi khususnya di agama islam. Saya ikut berpartisipasi di kompasiana sebagai unjuk rasa untuk berdakwah dan menyebarkan nilai-nilai islami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terhubung Secara Digital, Terputus Secara Moral

22 September 2025   20:16 Diperbarui: 22 September 2025   20:16 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Era digital menghadirkan paradoks besar bagi manusia modern: semakin kita merasa terhubung, justru semakin kita terasing. Di satu sisi, teknologi membuka ruang pengetahuan tanpa batas, mempercepat arus informasi, dan memudahkan komunikasi lintas benua. Hanya dengan satu sentuhan layar, dunia seolah berada di genggaman. Namun di sisi lain, setiap getaran notifikasi yang berdentang kerap menenggelamkan suara hati, mengalihkan perhatian dari percakapan nyata, bahkan memutus kehangatan hubungan yang ada di depan mata. Media sosial kini mampu merekayasa citra diri menjadi serba indah, tetapi di balik layar, sendi-sendi kejujuran, empati, dan adab pelan-pelan runtuh tanpa terasa.

Fenomena ini nyata, bukan sekadar asumsi. Mari kita lihat sekeliling: seorang remaja yang duduk di ruang kelas, matanya tertuju pada layar, sementara guru di depan hanya menjadi bayangan samar. Di meja makan keluarga, obrolan hangat berganti dengan tatapan hampa pada gawai, membuat rumah kehilangan denyut kebersamaan. Di ruang publik, dua sahabat bisa duduk berdampingan selama berjam-jam tanpa saling bertukar kata, sebab dunia maya telah mencuri perhatian mereka. Gambaran ini diperkuat oleh data keras dari laporan UNESCO dan Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 47% pelajar di Indonesia mengalami kecanduan gadget tingkat sedang hingga berat, dengan rata-rata penggunaan hampir tujuh jam per hari---waktu yang sejatinya cukup untuk satu hari penuh pembelajaran.

Lebih dari itu, penelitian UCLA menegaskan bahwa paparan layar berlebihan melemahkan kemampuan remaja membaca ekspresi wajah dan memahami emosi orang lain,sebuah keterampilan sederhana namun mendasar dalam kehidupan sosial. Tak heran jika semakin banyak generasi muda merasa canggung berhadapan langsung, meski begitu luwes di balik layar. WHO (2023) pun mengingatkan bahwa tekanan media sosial kini menjadi salah satu pemicu utama gangguan mental remaja: fear of missing out (FOMO) yang menyesakkan, obsesi pencitraan demi validasi semu, hingga perundungan siber yang tega merenggut masa depan bahkan nyawa mereka.

Inilah wajah paradoks zaman ini: kita dikelilingi ribuan teman virtual, tetapi hati semakin kesepian. Kita sibuk memoles citra di layar, tetapi lupa merawat jiwa di dalam dada. Dan bila dibiarkan, generasi ini mungkin akan tumbuh cerdas secara digital, tetapi rapuh secara moral dan spiritual. Krisis ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan sekadar kecanduan teknologi, melainkan degradasi karakter. Budaya phubbing (mengabaikan orang demi layar) menjadi normal, sopan santun terkikis, dan interaksi sosial melemah. Lebih jauh lagi, globalisasi digital mulai mereduksi kecintaan pada budaya serta kearifan lokal. Di titik ini, jelas bahwa pendidikan karakter tidak cukup hanya bertumpu pada literasi digital atau etika pragmatis. Harus ada basis yang lebih dalam, yakni unsur spiritual sebagai inti pembentukan moral dan adab.

Islam sejak lama menegaskan bahwa qalbu adalah pusat kepribadian manusia. Al-Ghazali menyebut qalbu sebagai sumber akhlak; jika ia baik, maka baiklah seluruh laku manusia. Ibn Sina pun menegaskan pentingnya mendidik jiwa sebelum ilmu pengetahuan dicurahkan. Namun, dunia digital kerap menjerumuskan manusia dalam ghaflah (kelalaian hati) yang membuat qalbu redup oleh impuls-impuls layar. Tanpa kesadaran spiritual, teknologi hanya akan menjadi medan tempur yang mengalahkan penggunanya.

Karena itu, solusi harus dimulai dari integrasi nilai spiritual ke dalam literasi digital. Pendidikan berbasis adab Islami, tasawuf, dan kearifan lokal dapat menjadi benteng menghadapi derasnya arus globalisasi digital. OECD (2020) sendiri menekankan pentingnya penyatuan literasi teknologi dengan pendidikan moral, sehingga generasi muda tidak sekadar melek digital, tetapi juga berjiwa etis. Implementasi praktisnya dapat berupa:

  1. Program adab digital di sekolah, pesantren, dan komunitas keagamaan untuk membentuk kesadaran etika bermedia.
  2. Digital parenting yang menuntun anak menggunakan teknologi dengan batasan jelas.
  3. Kolaborasi lintas Lembaga pemerintah, organisasi pemuda, dan lembaga pendidikan---untuk membangun kurikulum digital yang menekankan nilai spiritual.
  4. Gerakan sosial seperti puasa digital atau kampanye literasi berbasis Qur'an untuk mengembalikan manusia pada keseimbangan diri.

Maka, terhubung secara digital seharusnya tidak pernah bermakna terputus secara moral. Justru sebaliknya, teknologi dapat menjadi jembatan yang mulia bila diarahkan dengan cahaya spiritualitas yang menuntun manusia keluar dari gelapnya kelalaian. Ia hanyalah alat, sekadar wasilah, bukan tujuan itu sendiri. Sebab yang sejati menuntun langkah bukanlah algoritma, melainkan qalbu yang tercerahkan. Karakter yang lahir dari qalbu inilah yang akan menjaga manusia agar tetap beradab meski dunia semakin diselimuti layar.

Di sinilah kita memerlukan inisiatif baru: menyerukan dengan lantang pentingnya membangun peradaban digital yang tetap berakar pada adab. Peradaban yang tidak menuhankan teknologi, melainkan menundukkannya di bawah nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Peradaban yang menjadikan etika, sopan santun, dan kasih sayang sebagai fondasi, bukan sekadar kecanggihan fitur atau kecepatan koneksi.

Pada akhirnya, pilihan ada pada setiap diri. Teknologi memang takdir zaman, tetapi moral adalah keputusan nurani. Kita boleh hidup di tengah gelombang digital yang deras, tetapi jangan biarkan hati kita hanyut tanpa arah. Hanya dengan menyatukan literasi digital dengan dimensi spiritual, kita dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga luhur dalam budi pekerti, teguh dalam moral, dan mulia dalam adab. Inilah saatnya menyadari bahwa kemajuan sejati bukanlah ketika manusia semakin sibuk dengan gawai, tetapi ketika manusia semakin dekat dengan Tuhannya melalui segala aktivitas digital yang ia jalani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun