Mohon tunggu...
Jong Celebes
Jong Celebes Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bambang si paling ketua

23 Agustus 2025   23:35 Diperbarui: 24 Agustus 2025   10:13 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas, Bambang sebenarnya belum cukup siap. Menurutnya, kecakapan dalam berargumentasi saja tidak cukup. Mengambil keputusan yang cepat dan tepat menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Bambang saat ini. Setiap kali mengambil keputusan, pertimbangannya masih berpatokan pada suara yang lebih dominan. Padahal, suara dominan belum tentu benar dan bijak; bisa saja mengandung kepentingan tertentu.

Ketepatan dalam kebijakan tentu diperoleh dari pengalaman yang matang, sedangkan Bambang hanya bermodal keberanian dan kecakapan. Di beberapa momen, tindakan yang diambilnya terlihat ambigu, bahkan Bambang sendiri sebenarnya belum begitu yakin dengan hal itu.

Terkadang, Bambang berpikir mengapa ia mengambil jabatan ini. Ia sebenarnya tipe orang yang hanya ingin tidur seharian, bangun, mandi, lalu membaca buku---rutinitas yang teramat menyenangkan baginya.

Namun, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Meski begitu, ada banyak hal baru yang ia pelajari, salah satunya membangun relasi dengan birokrasi kampus. "Kata Bambang dengan sedikit senyum, tapi terluka."

Bambang baru menyadari bahwa semua penuh dengan intrik politik. Menurutnya, para birokrat sering berbicara dengan intervensi norma dan jabatan. Hal ini ia rasakan sendiri ketika berbicara dengan beberapa pihak birokrasi; aura pembungkamannya begitu terasa.

Mereka juga sering bersandiwara---perilaku dan tindakan disesuaikan dengan keadaan yang dibutuhkan. Bambang menyadarinya ketika salah satu birokrat bertemu dengan mahasiswa yang sering protes dan mahasiswa yang patuh; sikap yang diambil berbeda, padahal keduanya sama-sama membayar UKT.

Belum lama ini, Bambang juga mendengar salah satu birokrat berkata, "Adab di atas ilmu. Perbanyak proses, bukan protes." Bambang pun merenung sejenak: adab seperti apa sebenarnya yang dimaksud? Apakah adab yang membatasi pikiran, atau cara baru untuk menciptakan kepatuhan? Kalimat itu juga sering dipakai untuk membungkam pemikiran yang tidak sepaham. Dalam hal ini, otoritas digunakan untuk melemahkan lawan bicara yang berada pada posisi hierarkis lebih rendah.

Bagi Bambang, hal ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Dalam dunia akademik, model "feodal" semacam ini sudah tidak relevan, bahkan seharusnya dihilangkan. Di dunia akademik, kebebasan berpikir dan bersuara dijamin dan dilestarikan. Karena pada dasarnya, pikiran tidak bisa disopan-santunkan. Bambang juga melihat bahwa batas antara sopan santun dan feodalisme setipis kertas; tak heran banyak orang sering menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan dominasi atas lawan bicaranya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun