Mohon tunggu...
Zidan Takalamingan
Zidan Takalamingan Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi itu indah

Solus populi suprema lex

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kaleidoskop 2021 Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan: Produk Hukum Tanpa Kelamin

5 Januari 2022   02:30 Diperbarui: 5 Januari 2022   02:31 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepanjang tahun 2021 kemarin menjadi sebuah catatan penting betapa banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan viral di media sosial dan mengundang banyak orang untuk mengetahui proses terjadi kekerasan dan pelecehan seksual bahkan masyarakat secara umum telah sadar bahwa banyak diluar sana korban tidak berani speakup karena takutnya dijustifikasi sebagai perempuan tidak baik, pun produk hukum yang dikeluarkan masih dianggap diskriminatif dan tidak berkeadilan gender. Padahal hukum seharusnya berkeadilan atau sensitif gender untuk menjamin terpenuhinya hak asasi perempuan. Dengan mengikuti prinsip persamaan hak dalam segala bidang, maka baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak atau kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga apabila terjadi diskriminasi terhadap perempuan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan.

Pelanggaran hak asasi perempuan terjadi karena banyak hal, diantaranya adalah akibat sistem hukum, dimana perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Orde Reformasi merupakan periode paling progresif dalam perlindungan hak asasi manusia. Berbagai peraturan perundangan-undangan keluar pada periode tersebut, termasuk peraturan perundangan-undangan tentang hak perempuan. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan. Moempoeni Martojo, mengatakan bahwa: "Istilah warga negara sudah barang tentu mengandung pengertian baik wanita maupun pria".

Namun sayangnya sepanjang tahun ini kasus kekerasan seksual atau sexual harassment, terus bertambah setiap harinya dan umumnya pelaku memiliki ketimpangan kekuasaan. Pelaku kekerasan seksual bahkan datang dari lingkungan sendiri seperti orang tua kandung maupun tiri, saudara dan kerabat terdekat. Menurut naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.

Pasal 3 UU HAM mengatur bahwa "setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi". Pada intinya rumusan Pasal di atas bertujuan untuk menjamin adanya kesetaraan HAM antar manusia di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding tahun 2020. Melalui siaran pers, Jakarta, Senin, Andy mengatakan kriminalisasi masih terjadi terhadap penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada tahun 2021. "Peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditangani dengan baik karena tidak sebanding dengan kapasitas penanganan," kata Andy dilansir Antara, Senin, 13 Desember.

Kekerasan terhadap perempuan menjadi pelanggaran HAM paling kejam yang di alami perempuan dan menjadi hal yang sangat krusial. Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja, di tempat kerja, di sekolah, di jalan, bahkan di rumah. Serta dapat di lakukan oleh siapa saja, bisa teman, kerabat, keluarga, suami, istri, pacar atau pun orang tua dan dapat di lakukan kapan saja, pagi maupun malam. Bahkan menurut data dari Komnas Perempuan, dari 51 kasus pengaduan tindak kekerasan seksual terbanyak berasal dari lingkungan Universitas yakni 27 persen, pesantren atau Pendidikan berbasis Islam sebanyak 19 persen, di tingkat SMU/SMK sebanyak 15 persen, 7 persen lainnya terjadi di tingkat SMP dan 3 persen di tingkat TK, SD, SLB.

Timbul pertanyaan besar, mengapa para pelaku bisa sampai tega melakukan hal keji itu terhadap orang-orang terdekat, anak didik bahkan keluarga maupun pasangan yang notabennya adalah orang-orang yang mereka kasihi. Seperti kasus yang baru-baru tejadi di Indonesia, terkuaknya pelecehan seksual yang di lakukan oleh dosen terhadap mahasiswi di lingkungan Universitas. Kemudian di susul dengan kasus Randy seorang anggota kepolisian yang melakukan tindak kekerasan seksual terhadap kekasihnya, hingga korban memilih mengakhiri hidupnya dengan racun sianida karena merasa depresi dengan tekanan dari berbagai pihak dan telah terjadi pula kejanggalan dalam kasus mengenai seorang istri yang di tuntut 1 tahun oleh suami-nya dengan berdalih bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga perihal psikis oleh terdakwa istri-nya hanya berdasarkan dia memarahi suami-nya pulang dalam keadaan mabuk, bahkan sampai guru pesantren hamili santri di Bandung mengundang geram publik karena telah tega memperkosa dan hamili belasan santriwati hingga melahirkan, terlebih korban merupakan anak dibawah umur.

Jika kita menilik dari beberapa kasus yang viral dimedia sosial bisa kita memberikan sebuah kesimpulan singkat, bahwa masih telah terjadi permasalahan dalam penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual entah terhadap perempuan maupun anak, kita pun bisa melihat sistem pembuktian yang masih berdalil terhadap positivistik entah dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan bahkan sekarang menjadi trending sebuah hastagh (#NoViralNoJustice), ketika ada sebuah kasus kekerasan dan pelecehan seksual, akan ditangani jika sudah viral baru akan mendapatkan keadilan untuk korban

Maka sepanjang tahun 2021 produk hukum apa saja yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjamin perlindungan hukum dan efek jera terhadap pelaku, mungkin kita sudah mendengar adanya RUU TPKS dari tanggal 26 januari 2016 sampai sekarang belum disahkan, kemudian adanya PERMENDIKBUDRISETDIKTI No.30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilingkungan perguruan tinggi. Produk hukum tersebut menimbulkan polemik karena adanya frasa kata "tanpa adanya persetujuan" atau sexual consent dengan sebuah intrepetasi bahwa hukum tersebut akan melegalalkan perzinahan.

Dalam hukum positif Indonesia ialah KUHPidana sekarang ini yang masuk delik kekerasan dan pelecehan seksual hanya dalam Pasal 289 tentang pencabulan dan Pasal 285 tentang pemerkosaan, dan dalam Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 Kejaksaan Republik Indonesia tentang keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun