Krisis kepemimpinan yang melanda Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Putra Indonesia (UNPI) adalah cerminan dari stagnasi dalam dinamika organisasi mahasiswa. Sebagai wadah strategis yang dirancang untuk mewakili aspirasi mahasiswa, BEM UNPI seharusnya menjadi pusat pengembangan intelektual dan sosial. Namun, kekosongan kepengurusan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan kegagalan dalam menjaga keberlanjutan dan efektivitas organisasi. Situasi ini bukan hanya soal hilangnya struktur formal tetapi juga gejala melemahnya daya kritis dan partisipasi kolektif mahasiswa. Â
Dalam konteks intelektualisme, BEM tidak hanya berfungsi sebagai penyelenggara kegiatan kampus tetapi juga sebagai ruang dialektika untuk mempertanyakan, mengkaji, dan menawarkan solusi terhadap berbagai isu yang dihadapi oleh mahasiswa maupun masyarakat luas. Namun, realitas menunjukkan bahwa BEM UNPI belum mampu memanfaatkan momentum ini secara optimal. Kekosongan kepengurusan telah memperburuk masalah ini, menciptakan ruang hampa yang menghambat pengembangan kapasitas kritis mahasiswa. Akibatnya, BEM gagal menjalankan perannya sebagai aktor perubahan sosial dan politik yang relevan di tengah arus besar globalisasi dan digitalisasi. Â
Reformulasi peran BEM UNPI harus dimulai dengan membangun kembali legitimasi intelektual dan moral organisasi. Langkah pertama adalah memperkuat proses kaderisasi melalui pendidikan kritis dan pelatihan kepemimpinan yang menanamkan nilai-nilai integritas, keberanian, dan kecakapan analitis. Organisasi ini harus menjadi ruang pembentukan pemimpin yang mampu merespons tantangan zaman dengan gagasan segar dan tindakan nyata. Â
Selanjutnya, BEM UNPI harus mengadopsi pendekatan yang lebih strategis dalam menggunakan teknologi. Era digital bukanlah ancaman tetapi peluang untuk menciptakan jaringan yang lebih luas, meningkatkan partisipasi mahasiswa, dan menyebarkan gagasan yang kritis. Teknologi dapat digunakan untuk menyelenggarakan diskusi publik, menyuarakan kritik konstruktif terhadap kebijakan kampus, dan memperkuat solidaritas mahasiswa dalam menghadapi isu-isu penting. Namun, teknologi harus dilihat sebagai alat, bukan tujuan, dalam membangun gerakan intelektual. Â
Tidak kalah penting, BEM UNPI harus meredefinisi relasinya dengan pihak kampus. Sebagai representasi mahasiswa, BEM harus mampu menjaga keseimbangan antara kolaborasi dan independensi. Dialog konstruktif dengan pihak kampus diperlukan untuk menciptakan perubahan yang bermakna tanpa mengorbankan otonomi dan keberpihakan pada mahasiswa. Â
Reformulasi ini hanya akan berhasil jika mahasiswa UNPI secara kolektif terlibat dalam proses transformasi ini. BEM tidak dapat berfungsi tanpa dukungan penuh dari basisnya, yaitu mahasiswa. Krisis yang terjadi saat ini seharusnya menjadi pemantik kesadaran kritis dan motivasi bersama untuk memperbaiki organisasi. Jika langkah ini berhasil, BEM UNPI tidak hanya akan kembali menjadi wadah representasi tetapi juga simbol kebangkitan intelektual dan kepemimpinan mahasiswa. Â
Namun, apakah mahasiswa UNPI siap untuk bangkit dan mengisi kekosongan ini dengan semangat kolektif, atau mereka akan terus membiarkan organisasi ini kehilangan relevansinya dalam dinamika kampus? Inilah saatnya untuk memilih, bergerak, atau menyerah pada apatisme. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI