Mohon tunggu...
Zida Sinata Milati
Zida Sinata Milati Mohon Tunggu... Content Writer and Dietetic Student

nulis apapun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sudahkah Kita Menjadi Seorang yang Dewasa?

11 Juli 2025   20:17 Diperbarui: 12 Juli 2025   07:57 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjadi dewasa saat mengambil keputusan | www.freepics.ai

Seseorang dikatakan dewasa jika sudah berusia 18 -- 59 tahun menurut pengkategorian kelompok usia Kemenkes RI, definisi lain menganggap dewasa adalah kemampuan mengelola emosi dan mampu bertanggungjawab atas pilihan hidupnya. Dewasa adalah sebuah proses, bukan tujuan, tidak ada titik tetap bernama "dewasa", karena merupakan perjalanan panjang, yang kadang kita ulang dari awal---dan itu tidak apa-apa.

Sejak menjadi mahasiswa rantau yang jauh dari keluarga, saya semakin menyadari bahwa saya bukan anak kecil lagi yang dapat selalu merengek dan meminta bantuan keluarga jika ada masalah, saya dituntut untuk bisa membuat sebuah keputusan, tanpa tahu akhir dari keputusan itu. Saya merasakan fase kedewasaan adalah fase yang cukup menyakitkan karena merupakan masa transisi untuk menjadi pribadi yang lebih bertanggungjawab atas hidupnya sendiri.

Timeline kita berbeda

Hal yang saya sadari pertama kali adalah bahwa hidup kita dengan hidup orang lain tidak lagi memiliki timeline yang sama. Saat SMA kita mungkin masih memiliki timeline yang sama dengan teman-teman yang lain terkait waktu tertentu misalnya ujian sekolah, ujian praktek, ujian nasional dan sebagainya. Tetapi sejak memasuki bangku perkuliahan, rasanya tidak relate jika masih menyamakan timeline kita dengan orang lain. Kita berada pada jalan kita sendiri, dan teman-teman lain juga memiliki jalan dan tujuan hidup masing-masing.

Setelah lulus kuliah pun masih akan terus berlanjut, meskipun lulus dan wisuda bisa dibilang secara bersamaan, tetapi saat mendapat rezeki berupa pekerjaan, satu orang dengan orang lain akan berbeda, ada yang lulus langsung dapat kerja dan ada juga yang harus menunggu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mendapatkan pekerjaan yang ia inginkan.

Bagi seseorang yang sedang menunggu pekerjaan, pasti akan terbesit rasa iri, merasakan bahwa dunia ini tidak adil, Tuhan tidak pernah menjawab doa-doa seorang hamba yang memohon, namun apakah kita tahu apa yang telah seseorang lakukan dan relakan dalam mendapatkan pekerjaannya.

Lalu jika seseorang yang sedang menunggu pekerjaan, akhirnya mendapat pekerjaan yang ia impikan, apakah rasa iri tersebut hilang, tentu tidak, yang ada hanyalah sifat tamak yang ingin mencapai lebih dari teman-teman yang lain. Bagi yang belum bekerja akan iri kepada teman yang sudah mendapat pekerjaan, yang belum menikah akan iri kepada yang sudah menikah, yang sudah menikah dan belum memiliki momongan akan iri kepada teman yang sudah memiliki momongan, yang sudah menikah dan punya momongan akan iri terhadap keluarga kecil yang memiliki rumah sendiri, begitu seterusnya sampai akan di satu titik kita telalu lelah untuk mengejar itu semua.

Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa rasa iri hanya terjadi kepada teman atau kenalan, tetapi tidak terhadap orang asing misalnya aktris atau influencer, hal ini terjadi karena kita merasa setara dengan orang yang kita kenal, kita pernah di titik yang sama dan tumbuh bersama, lalu tiba-tiba mereka memiliki kesuksesan yang melesat, dalam hati kecil kita tentu akan berpikir, "Kenapa dia bisa, sedangkan aku tidak, harusnya aku juga bisa seperti dia".

Pola pikir yang seperti itu, justru akan semakin membuat kita merasa kecil, merasa terus tertinggal, dan akhirnya menjadi tidak fokus akan tujuan utama hidup kita. Detoks media sosial untuk sementara waktu dan mengubah mindset dapat diupayakan untuk mengatasi hal ini, yang terpenting harus yakni bahwa Tuhan telah mengatur rencana indah untuk kita, asalkan tetap berusaha dan tidak menyerah.

Menormalisasi pergi sendiri

Sangat tidak apa-apa jika kita jogging sendiri, lari sendiri, berbelanja sendiri, makan dine in sendiri, bahkan travelling sendiri, asal tidak tertawa sendiri, dikira gangguan jiwa nanti. Dulu saya sangat takut kemana-mana pergi sendiri, takut dikira tidak punya teman atau bahkan pasangan. Namun saat ini, saya cukup tidak tertarik dengan pandangan orang terhadap saya, kecuali jika saya salah dan merugikan orang lain.

Pergi sendiri nyatanya memiliki beberapa kelebihan, pertama, lebih efisien waktu dan tidak perlu menunggu atau mengatur jadwal yang tidak ada titik temunya, bebas pergi ke mana saja dan melakukan apa saja tanpa berdiskusi dengan orang lain, serta sebagai sarana refleksi untuk lebih mengenal diri sendiri melalui sebuah perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun