Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan isu yang cukup mengganggu kenyamanan konsumen bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. Dugaan adanya praktik pengoplosan Pertamax dengan Pertalite di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mencuat ke permukaan. Awalnya terdengar seperti isu liar yang tidak berdasar, namun perhatian publik meningkat ketika Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta turut bersuara dan menyatakan bahwa jika terbukti benar, maka masyarakat berhak menuntut kompensasi.
Dugaan ini bukan hanya menyangkut kualitas BBM, tetapi menyentuh dua hal yang lebih mendasar: kejujuran dalam pelayanan publik dan hak-hak konsumen. Ini bukan soal remeh. Ini menyangkut kepercayaan terhadap perusahaan negara seperti Pertamina dan integritas sistem distribusi energi nasional.
Laporan awal datang dari pengguna kendaraan yang mengeluhkan performa Pertamax yang mereka beli di SPBU tertentu. Mereka menyebutkan gejala seperti mesin kendaraan terasa lebih berat, tarikan gas tidak mulus, hingga penggunaan bahan bakar yang menjadi lebih boros dari biasanya. Kecurigaan pun muncul, dan setelah ditelusuri, muncul dugaan bahwa Pertamax telah dicampur dengan Pertalite---BBM dengan nilai oktan lebih rendah dan harga yang lebih murah.
Bayangkan betapa meruginya konsumen yang sudah membayar mahal untuk Pertamax demi menjaga mesin kendaraannya, namun justru mendapat produk campuran yang berisiko menurunkan kinerja mesin. Rugi waktu, tenaga, uang, dan---yang tak kalah penting---rugi kepercayaan. Ini bukan sekadar keluhan, tapi potensi pelanggaran terhadap hak konsumen.
LBH Jakarta menegaskan bahwa praktik semacam ini, jika benar terjadi, bisa dikategorikan sebagai bentuk penipuan. Mereka menyerukan agar Pertamina segera melakukan audit menyeluruh dan transparan terhadap jalur distribusi BBM. Tidak cukup hanya menyalahkan 'oknum'. Yang perlu dikritisi adalah sistem. Siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan? Mengapa kualitas BBM yang keluar dari SPBU tidak dikontrol dengan ketat?
Sebagai konsumen, kita dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini menyatakan bahwa setiap konsumen berhak mendapatkan barang atau jasa yang sesuai dengan standar dan klaim yang ditawarkan. Jadi, jika kita membayar untuk Pertamax, maka yang seharusnya kita dapatkan adalah Pertamax dengan kualitas dan spesifikasi sebagaimana mestinya.
Sayangnya, di Indonesia, hal-hal seperti ini sering kali dianggap biasa. Padahal di negara lain, isu seperti ini bisa menjadi krisis nasional, bahkan berujung pada gugatan hukum besar dan pencopotan pejabat. Mengapa kita masih santai menghadapi hal sebesar ini?
Satu hal yang membuat publik semakin jengah adalah kebiasaan menyalahkan "oknum". Seolah-olah sistem dan manajemen besar tidak perlu bertanggung jawab selama bisa menunjuk satu-dua individu yang menjadi kambing hitam. Padahal, ini adalah persoalan sistemik. Jika ada celah bagi oknum untuk bermain, itu berarti sistem pengawasan dan distribusi kita sedang bermasalah.
Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memegang peran vital dalam penyediaan energi nasional. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas bukan hanya harapan, tapi kewajiban. Jika ada distribusi BBM yang tidak sesuai standar, maka perbaikannya harus dilakukan dari hulu ke hilir: mulai dari depot, transportasi, hingga SPBU.
Solusi yang diharapkan masyarakat sangat sederhana: kejujuran dan kompensasi. Pertamina perlu berbicara terbuka kepada publik, menyampaikan hasil audit, menjelaskan temuan di lapangan, dan memberikan kompensasi kepada konsumen yang dirugikan. Tidak ada ruang untuk saling lempar tanggung jawab. Ini menyangkut hajat hidup masyarakat luas, dan harus ditangani dengan serius.
Langkah berikutnya adalah memperbaiki sistem pengawasan dan kontrol kualitas BBM secara menyeluruh. Pemeriksaan acak, keterlibatan lembaga independen, serta transparansi data distribusi adalah langkah-langkah minimal yang harus segera dilakukan. Tanpa itu semua, kasus serupa bisa terus terulang dan memperburuk kepercayaan publik terhadap pelayanan negara.