Warna menjadi salah satu elemen dasar dalam berkomunikasi. Warna mampu melampaui batas bahasa dan budaya dalam memengaruhi persepsi dan emosi. Dalam politi, warna bukan lagi sebatas elemen estetika, melainkan warna menjadi sebuah simbolis yang mencerminkan ideologi dan identitas kolektif.
Sejak peradaban kuno hingga modern, warna tidak pernah kehilangan perannya dalam membangun hubungan antara kekuasaan dan rakyat. Warna selalu berevolusi sebagai sebuah simbolisme.
“Ungu kerajaan”, sebuah frasa yang muncul pada zaman Romawi. Ungu menjadi tanda-tanda kebesaran kekaisaran Romawi. Mulai dari jubah kaisar, tinta ungu untuk tanda tangan kaisar, tali sutra ungu sebagai segel dokumen resmi, dan pakaian tradisional senat serta para petinggi lainnya. Warna ungu ini berasal dari siput murex sangat sulit didapatkan, sehingga penggunaanya hanya pada jajaran berstatus elit. Warna ungu juga digunakan untuk mengecat jubah Kristus dan selendang Perawan Maria.
Selain ungu, merah juga melambangkan keberanian dan kekuasaan militer Romawi. Tunik/merah yang dikenakan prajurit Romawi mampu menimbulkan ketakukan bagi lawan di medan perang. Selain itu, penggunaan warna biru dan hijau sebagai asosiasi warna yang dimiliki pembalap kereta melambangkan loyalitas yang mampu menumbuhkan identitas komunitas. Warna putih, hitam dan hijau secara berurutan melambangkan kesucian, duka mendalam, dan kesuburan.
Memasuki abad pertengahan, makna warna menjadi lebih kompleks. Penggambaran ksatria dalam warna hitam, merah, dan hijau memiliki makna yang berbeda. Ksatria hitam digambarkan sebagai niat baik dan keberanian. Sedangkan ksatria merah digambarkan sebagai seorang pengkhianat dan ksatria hijau digambarkan sebagai ksatria muda pembuat onar. Sedangkan warna biru berevolusi dalam menggambarkan pakaian Perawan Maria.
Lain hal dengan pengambaran ksatria hijau, umat islam mengartikan hijau sebagai simbolisme yang positif. Simbolisme positif yang dimaksud dikaitkan dengan kebahagian, kekayaan, dan harapan. Warna hijau juga dikaitkan dengan keturunan Muhammad. Putih, hitam dan merah dikaitakan dengan dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Almohad.
Memasuki era modern di abad ke-18, Revolusi Prancis membawa evolusi warna melalui “Tricolore”. Tricolore terdiri atas warna merah, putih dan biru. Merah melambangkan keberanian revolusioner, putih mencerminkan keadilan, dan biru yang menandakan rakyat jelata. Tricolore dipergunakan sebagai alat proganda atas identitas gerakan revolusi. Warna kuning pada era ini juga menjadi ambigu karena diadopsi dari berbagai gerakan. Kuning dianggap sebagai penghianatan dan juga kestiaan dalam konteks lain di beberapa kerajaan Eropa.
Pada abad ke-19, Karl Marx bersama pengikutnya membawa warna merah sebagai simbol gerakan sosialis dan komunis. Sebuah warna yang melambangkan solidaritas pekerja yang melawan penindasan kapitalisme. Eropa Barat menginisiasi warna biru sebagai konservatisme. Sedangkan warna hitam diasosiasikan dengan anarkisme sebagai bentuk penolakan otoritas tradisional.