Pagi di kampung dulu selalu dimulai dengan bunyi bro'o, sikat ijuk dari pelepah daun lontar. Brok, brok, brok, suara yang menggema pelan di antara kabut tipis, seperti doa pendek yang hanya bisa didengar orang-orang yang bangun lebih awal dari ayam. Ama Dalu berdiri di pangkal pohon, tubuhnya tegap meski usia menua. Di punggungnya tergantung nawing; tabung-tabung bambu, yang siap menampung nira. Dari sela irisan tangkai mayang (muri), menetes cairan bening yang disebut mara; manis, segar, seperti air yang baru saja melewati langit doa sebelum jatuh ke bumi.
Ama Dalu bisa menyadap hingga sepuluh pohon sehari, pagi dan sore. Setiap pohon baginya bukan sekadar batang kayu, melainkan sahabat yang memberi kehidupan lewat mara. Pohon itu sendiri pun disebut mara, sebab dari tubuhnya mengalir penghidupan. "Mara itu darah tanah kita, dia menetes dari luka," katanya, "tak ada yang boleh haus selama mara masih menetes."
Sebelum mara diminum, Ama Dalu selalu membersihkan nawing dengan bro'o, sikat yang sederhana tapi setia. Bibir bambu tak pernah disentuh mere', sebab pisau hanya untuk mengiris tangkai mayang. Hanya bro'o yang boleh menyapu dasar nawing, menjaga rasa tetap murni; seakan membersihkan hati sebelum menerima berkat. Kami, anak-anak, sering berebut memutar bro'o, menghirup wangi bambu basah yang menempel di telapak tangan.
Satu teguk untuk sebelah rumah
Mara segar boleh diminum siapa saja. Ama Dalu selalu berkata, "Sisakan satu teguk untuk sebelah rumah." Setiap kali nawing penuh, ia bawa melintasi jalan setapak yang melewati rumah-rumah. Orang-orang datang menyambutnya, menempelkan bibir pada bambu yang sama. Tidak ada jijik, tidak ada curiga. Satu atau dua teguk sudah cukup, karena kita tahu giliran orang lain akan tiba. Dan tiap kali mara berpindah bibir, kami seperti diikat dalam keluarga besar tanpa dinding.
Tiap penyadap dikenal dari rasa mara. Mara Ama Dalu manisnya lembut, seakan ada doa yang ikut menetes. Mara Ama Keledo lebih kental, sementara mara Ama Sedu cepat kecut, penuh kumbang dan lebah mati. Kami bisa menebak dari tegukan pertama, tanpa salah. Rasa mara adalah tanda tangan, jejak batin yang menetes bersama nira.
Dari mara ke welane, gula kora, dan arak
Di rumah, mara yang berlebih dimasak menjadi welane, gula merah cair yang lengket pada sendok kayu, meninggalkan wangi karamel di rambut ibu-ibu dapur. Bila welane terus diaduk, ia mengeras menjadi gula kora, sebab dicetak dalam tempurung kelapa (kora). Gula kora bulat-bulat itu jadi bekal ke ladang, jadi alat tukar untuk garam atau sabun, juga hadiah kecil saat pesta. Setiap gigitan pada gula kora adalah gigitan pada kenangan: tawa di sekitar tungku, asap yang pedih di mata, dan lagu-lagu lama yang dinyanyikan sambil mengaduk.
Mara yang cepat kecut diolah menjadi tuak, lalu disuling perlahan hingga menjadi arak bening. Proses panjang itu melelahkan: api kecil dijaga, uap diarahkan, tetes-tetes ditampung sabar. Tetapi hasilnya jadi kebanggaan. Pada pesta kawin, pemilik hajatan akan menawarkan arak dalam wadah tempurung kelapa dengan penuh hormat. Peneguk arak, setelah meneguk sekali saja, menjura hormat sembari merapal sebuah mantra pujian: "Sang Arak yang hebat!", ucapan senada dengan memuliakan karunia yang memberi minuman terhormat itu, yang konon dikirim oleh Dewa Langit melalui embun-embun bening kepada Dewi Bumi.
Kenangan di bibir nawing
Saya masih ingat saat Ama Dalu mengajak saya ikut ke pohon mara paling tinggi. Ia memeluk batang, naik perlahan, lalu mengiris tangkai mayang dengan mere'. "Dengar," katanya dari atas, "angin ini sama dengan angin ketika kakekmu masih muda. Mara yang menetes sekarang akan menetes juga pada cucumu nanti, kalau kau mau menjaganya."